blazer korea murah

Kidang



Ada bocah berseragam sekolah keluar dari balik bukit. Merayakan pagi bersama daun-daun yang dikotori debu siang. Di pagi itu daun-daun kembali suci berkat tetes embun sedari malam membasuh wajah kusam daun.


Di sudut yang lain, datang seorang gadis yang baru saja bangun tidur. Mereka membasuh wajah polosnya. Seorang kawan yang berasal dari sana berbisik, “mereka janda”, betapa saya terkejut mendengar itu. Bagaimana tidak, seorang gadis belia yang kira-kira baru menginjak umur 18-20 tahun telah mengakhiri masa lajangnya. Mirisnya riwayat keluarganya patah sebelum masanya. Mereka ditinggalkan suami, sebagaian lagi meninggalkan suami. Memang, perempuan, di mana-mana selalu membingungkan.


Di sana, sebenarnya saya ingin menulis puisi. Tapi puisi tak hadir ketika saya menyaksikan beragam peristiwa yang saya anggap terlalu luar biasa. Barangkali karena puisi adalah sesuatu hal kecil yang punya impact besar terhadap perenungan yang bisa menghubungkan saya dengan alam dan penciptanya. Lewat puisi, hadirlah diri paling pribadi lewat ungkapan rasa dalam memandang peristiwa dengan “aku lirik”. Saya lebih senang memotret peristiwa dari jarak terdekat.


Ketika menulis puisi saya biasanya terinsipirasi dari sebuah frasa yang kira-kira mampu menggambarkan keseluruhan isi puisi. Berkat intuisi, puisi lahir seperti wangsit yang tiba-tiba bisa muncul. Tapi barangkali karena saya memandang setiap detail peristiwa, struktur sosial, dan letak geografis sebuah wilayah dengan sudut pandang yang persentuhannya paling dekat dengan saya.


Peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya hanya selintas. Dan saya akhirnya memotret peristiwa tersebut dari jarak jauh dengan melihat kondisi masyarakat secara sosio-religius. Puisi-puisi yang saya tulis pun lebih menarik kalau dijadikan sebagai essai. Lalu lahirlah tulisan ini. Untuk merekam diri dan kondisi masyarakat.


Menyesuaikan diri dengan masyarakat desa tersebut rasanya tak mudah. Aktivitas hidup masyarakat tak sepenuhnya sama seperti kawasan-kawasan desa lain. Setiap pagi pergi ke sawah, berladang. Wanita mulai menggendong anaknya ke gang-gang pemukiman. Ketika bertemu tetangga ia sejanak berhenti memperbincangkan peristiwa-peristiwa sederhana: perihal tetangga sebelah yang tak mau mengalah, strategi supaya si anak berhenti menyusui misalnya.


Meski saya tak selamanya harus bangun pagi demi melihat aktivitas masyarakat desa untuk menyejukkan hati. Nuansa pagi yang begitu lembut menyemburkan aromanya ke setiap benda. Termasuk bagaimana seorang menjalankan aktivitas pagi orang-orang desa itu –meski agak angkuh dan congkak ketika berhadapan dengan orang dari desa lain. Tapi saya hadir di sana bukan sebagai seseorang yang harus tahu tentng segala hal. Atau lebih tepatnya “sok tahu” terhadap semua hal.


Individual


Di sana, kebersamaan tampak pucat. Tak ada sumur yang dipakai bersama, gontong royong dalam setiap acara-acara desa tampak ganjil, banyak rumah dengan pintu gerbang masing-masing. Halaman rumah bukan milik bersama. Toilet tersimpan di sudut-sudut rumah warga.


Fenomena di atas bisa menjadi indikasi bahwa mereka hidup dalam kesendirian masing-masing. Padahal nuansa yang terlihat jauh dari fanorama urban, tak ada keramaian apalagi aktivitas malam yang janggal. Secara geografis desa tersebut berada di antara laut dan jalan ralan raya kabupaten yang berselang dengan suatu desa di sebelah utara.


Saya tak tahu apa latar belakang struktur masyarakat desa tersebut sehingga demikian adanya. Memang semua itu bukan lahir dengan keniscayaan. Dan saya memang tak ingin tahu terhadap itu. Karena latar belakang atau sebab munculnya akibat kadang ditanggapi secara mistis oleh masyarakat, bukan dengan fakta-fakta sejarah yang kira-kira bisa dijadikan pijakan logis akan adanya sebuah kejadian yang menjadi latar belakang munculnya fenomena-fenomena menarik di kawasan itu.


Masyarakat di sana—yang sebagian besar terdidik—masih merasa nyaman pada hal-hal itu meski mungkin mereka tak percaya dan tak ingin mengubahnya. Mereka merasa bahwa semua tradisi di kampungnya setidaknya harus diapresiasi dalam wujud mengikuti prosesinya secara maksimal. Tak ada dalih sedikit pun untuk menentang atau mengubah tradisi dalam prosesi yang kira-kira lebih menguatkan kebersamaan masyarakat.


Atau barangkali pemuda di sana tak memahami struktur dan keganjilan masyarakat di desanya. Masih seberapa kuat ikatan sosial dan menjadi ancamankah baginya ketika ikatan sosial itu luntur dalam sebuah desa? Desa apa namanya jika struktur masyarakatnya terkesan individual seperti di kawasan urban.


Saya tak tahu kawasan apa namanya bila tetesan embun masih bisa membasuh hijau daun di sekujur jalan membentang. Sementara masyarakat yang ada tak memahaminya, tak mampu merayakan keindahan bersama masyarakat yang lain. Tentu dengan kebersamaan yang terjalin. Saling-mengisi kelemahan dan kekurangan sehari-hari seperti embun dan daun itu. Seperti kehangatan malam yang terjalin begitu akrab dengan masyarakat.


Saya curiga, jangan-jangan di desa itu kebersamaan sudah menjadi suatu kondisi yang tak menenteramkan?


2013





sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/03/kidang-607381.html

Kidang | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar