“Sedia payung sebelum hujan” begitulah bunyi peribahasa lama yang dipopulerkan lewat pelajaran Bahasa Indonesia. Peribahasa paling kuingat sepanjang masa, terutama di kala musim hujan datang menyapa. Alih-alih mengingat maknanya “selalu waspada dalam segala hal” atau “mengantisipasi masalah sebelum terjadi”, saya cenderung menjadikannya sebagai pengingat diri untuk selalu menyediakan payung dalam tas meskipun hari cerah. Alhasil perjalanan saya relatif jarang terkendala kendati hujan tiba-tiba mengguyur.
Kecuali kaum Adam yang memang (maaf) sepertinya merasa gengsi jika harus membawa payung ke mana-mana, rupanya banyak juga kaum Hawa yang enggan menjalankan peribahasa “sedia payung sebelum hujan” ala saya itu. Ada banyak alasan, seperti: paying menambah beban tas, ukuran tas terlalu kecil, merasa sering kecewa (karena sudah membawa paying ternyata hujan tidak turun); dan sebagainya. Tapi ada satu lagi alasan yang terasa semakin jamak dalam dekade terakhir ini. Mungkin Anda pernah mendengar seloroh ini: “Ah, santai saja… kalau tiba-tiba hujan di jalanan pasti akan segera bermunculan ojek payung!”
Ojek Payung! Ya, penyedia jasa yang satu ini marak dijumpai sepanjang musim hujan terutama di jalanan kota besar. Sebagaimana hukum ekonomi, penyedia jasa ojek payung muncul karena adanya pemakai jasa (a.k.a. orang-orang yang lupa atau sengaja tidak membawa payung). Berbeda dengan ojek sepeda motor yang pelakunya (umumnya) adalah lelaki remaja/dewasa, penyedia jasa ojek payung ini kebanyakan adalah anak-anak. Umumnya mereka adalah anak-anak usia SD hingga SMP, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun ada juga di antaranya yang datang dari usia remaja. Bagi pengojek payung hujan adalah berkah lewat para penyewa payung. Kebanyakan mereka bahkan berdoa supaya hujan datang setiap hari dan dalam waktu lama. Dari hasil menyewakan payung mereka bisa membantu orang tua mendukung kebutuhan finansial keluarga mereka. Sebaliknya, bagi orang-orang berduit yang tidak membawa payung dan ogah kehujanan, keberadaan para pengojek payung adalah berkah. Perjalanan mereka dapat berlanjut tanpa takut kehujananan. Jadi, hubungan pengojek dan penyewa payung tergolong simbiosis mutualisme.
Demi rupiah anak-anak pengojek payung dengan ceria berlarian ke sana kemari untuk menawarkan payungnya dengan bayaran sukarela. Tampilan mereka biasanya basah kuyub dan bertelanjang kaki. Jika mendapat pelanggan, mereka akan rela berjalan diguyur hujan sembari menguntit sang pelanggan berpayung hingga tempat tujuan. Sekilas terkesan mereka melakukan “profesinya” itu dengan gembira. Saya pun sering menyaksikan mereka tertawa riang seraya berkejaran berlomba menangkap pelanggan dalam nuansa warna-warni payung lebar di tangan mereka. Memang tidak ada pihak yang berniat merugikan dalam aktivitas sewa-menyewa payung tersebut. Namun, jika kita mau sedikit berempati, sesungguhnya pengojek payung adalah pekerjaan berbahaya yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak-anak. Menurut saya, risiko “profesi” tersebut sama tingginya dengan pekerja anak atau pekerja di bawah umur dalam industri manufaktur. Saat kita masih anak-anak, sesekali bermain hujan tentulah sangat menyenangkan. Bahkan banyak pakar anak menganjurkan orang tua untuk sesekali membiarkan anaknya mengakrabi hujan. Tetapi ini berbeda! Anak-anak pengojek payung itu berada di bawah guyuran hujan selama berjam-jam. Kaki telanjang dan baju tipis mereka jelas mengijinkan curahan air dingin dari langit bebas membasahi seluruh tubuh mereka.
Pernahkah terbayang risiko akibat kehujanan yang dihindari banyak orang yang harus diterima oleh anak-anak pengojek payung tersebut? Semua orang paham jenis penyakit apa yang mengancam jika terlalu lama di bawah guyuran hujan tanpa pelindung: flu, demam, pilek, sakit kepala, dan bermacam penyakit susulan yang mungkin menyerang, seperti pneumonia (radang paru-paru). Mereka pun berisiko terkena penyakit kulit akibat bertelanjang kaki dalam genangan air kotor yang menyimpan beragam bibit penyakit. Masih banyak risiko lain yang mengintai di balik keceriaan mereka mengejar rupiah. Dengan badan kecil dan payung berukuran sangat besar melebihi tubuh mereka, mereka berisiko “terbang” saat angin kencang bertiup, atau mungkin tersambar petir atau tersengat listrik—seperti terjadi pada seorang pengojek payung di wilayah Jakarta Timur beberapa waktu lalu. Saat di jalanan berlarian kejar-mengejar dan berebut penyewa mereka juga berisiko jatuh terpeleset, bahkan tertabrak kendaraan bermotor.
Banyak orang salut dengan kreativitas para pengojek payung anak. Meskipun masih belia anak-anak itu dianggap mampu menciptakan lapangan kerja; ada yang menganggapnya sebagai bibit-bibit wirausahawan; dan sebagainya. Tapi adakah di antara kita, orang biasa ataupun para pemerhati/pecinta anak, juga aktivis di lembaga perlindungan anak yang berupaya mencermati lebih teliti profesi “pengojek payung” yang dilakukan oleh anak-anak tersebut? Apakah memang sudah sepantasnya bila “anak-anak miskin” itu berada di jalanan—atas kemauan sendiri ataupun perintah orang tuanya—untuk menjajakan payung demi mengais rupiah? Jika ya, apa beda mereka dengan anak-anak jalanan yang mengamen yang notabene tengah diupayakan untuk diselamatkan dan dikembalikan ke rumah? Layakkah “profesi pengojek payung oleh anak-anak” itu dilestarikan? Salahkah jika lewat tulisan ini saya ingin mengklaim bahwa kalaupun profesi itu ada/diakui, tidak seharusnya dilakukan oleh anak-anak? Bagaimana jika menyambut musim hujan kali ini kita mengampanyekan pelarangan ojek payung oleh anak-anak di bawah umur? (@dwiklarasari)
0 komentar:
Posting Komentar