blazer korea murah

Bicara itu Gampang



Diikuti sebanyak 50 orang mahasiswa, Upgrading Dai Jurusan Dakwah bertempat di Ruang Pasca Sarjana, STAIN Sorong dilaksanakan selama dua hari (1-2 November, 2013). Penyelenggaraan kegiatan sebagai upaya untuk membekali mahasiswa. Selama ini, mahasiswa sudah mendapatkan teori bagaimana menjadi seorang dai, dengan adanya pelatihan ini akan memberikan penguatan kemampuan bagi mahasiswa sebagai bekal dalam lapangan kerja.


Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin, merupakan program tahunan Jurusan Dakwah. Tahun ini, sudah kali ketiga kegiatan yang sama diselenggarakan. Pelaksanaan pelatihan didasari adanya keinginan bagaimana Jurusan Dakwah menghadirkan alumni yang dapat berkiprah untuk menjadi tenaga yang kompeten sesuai dengan kepentingan umat.


Pelatihan menghadirkan Mukhlis Anwar, praktisi public speaking dari Jakarta. Dengan fasilitator yang didatangkan dari Jakarta untuk memberikan stimulasi dan informasi mutakhir. Perkembangan terkini dari tren yang berlangsung di Jakarta akan menjadi sebuah pembelajaran bagi mahasiswa.


Pelatihan tidak hanya memberikan materi secara teoritis, tetapi juga memberikan analisis dalam bentuk studi kasus. Berikutnya di hari kedua, peserta diberikan tugas untuk menyampaikan presentasi selama tiga menit. Setelah itu, dievaluasi bagaimana presentasi itu, begitu juga selama praktik, secara simultan untuk memenuhi syarat sebuah presentasi yang diterima audience.


***



Mukhlis Anwar mempopulerkan istilah “Stop jadi Orang Kebanyakan”. Semua dari kita paling tidak selalu mengikuti pelatihan. Tetapi setelah pelatihan, kembali lagi seperti biasa. Tidak ada perbedaan antara sebelum pelatihan dan setelahnya. Seolah-olah pasca pelatihan hanya berlalu. Padahal ada kesempatan untuk memperbaiki diri seusai mendapatkan sebuah pelatihan.


Demikian pulalah pelatihan Upgrading Dai. Jikalau saja, pelatihan ini hanya diikuti lalu kemudian dilupakan, maka akan seperti pelatihan yang lain. Maka, peningkatan kemampuan diri secara berkelanjutan merupakan tuntutan yang harus dilakukan. Jangan sampai, usai pelatihan, maka usai jugalah semua kemampuan yang didapatkan selama berlangsungnya kegiatan.


***


Berikut ini, beberapa catatan selama pelaksanaan pelatihan berlangsung. Sebuah pembicara yang baik, harus sebelumnya menjadi pendengar yang baik. Untuk itu, jikalau seseorang ingin didengarkan, maka harus mendengarkan juga orang lain. Siapapun itu, termasuk anak kecil sekalipun. Imam Ali RA memberikan pesan “lihatlah kepada pesannya, bukan siapa pembawa pesan itu”. Ini dapat dimaknai sekalipun itu keluar dari mulut anjing, tetapi kalau yang dikeluarkan adalah mutiara, tetap saja mutiara. Sementara kalaupun itu kotoran, dihasilkan dari presiden atau maharaja sekalipun tetap saja kotoran. Bukan tentang siapa yang menghasilkan, tetapi apa yang dihasilkan.


Kunci lain pembicaraan adalah berkenaan dengan intonasi, pilihan kata, dan jeda (pause). Obama dinilai sebagai orator ulung, dimana kemampuannya untuk memberikan irama dalam setiap pidatonya. Ini juga ditunjang karena kemampuan Obama menunjukkan karakter yang berintegritas. Ini berarti bahwa apa yang dikatakannya sudah dilaksanakan sebelumnya.


Seorang pembicara sebagus apapun, kalau apa yang disampaikan dalam sambutan ataupun pidato tidak sejalan antara perkataan dengan perbuatan. Pembicara akan menuai kepercayaan dari komunitasnya jikalau selama ini dapat membuktikan tidak sekadar “omong doang”. Perlu sebuah ikhtiar dan tindak lanjut dari sebuah kata.


Kita mengenal orator ulung seperti Soekarno, mampu memberikan stimulus kepada pendengar. Bahkan pada zaman revolusi, rakyat Indonesia senantiasa menantikan tampilnya Pemimpin Besar Revolusi untuk memberikan semangat kepada rakyat. Kemampuan Soekarno ini tidak diterima langsung saat lahir. Tetapi semata-mata proses dari latihan. Maka, menjadi seorang pembicara sesungguhnya berkaitan dengan semata-mata berkaitan dengan keterampilan yang dilatih.


Sebuah contoh yang baik berasal dari Rasulullah SAW. Sudah ribuan tahun berlalu tetapi pengaruh dari ajarannya tetap saja bergaung ke pelosok dunia. ini tentu juga berkaitan kemampuan Muhammad SAW untuk mempengaruhi orang lain melalui sebuah proses dakwah. Ada sebuah proses yang panjang, bahkan beliau terusir dari kampung halamannya sendiri, Mekkah. Hijrah ke Madinah, disinilah perkembangan dakwah mulai menampakkan hasil. Penduduk Madinah yang kala itu bernama Yastrib memberikan dukungan dalam pengembangan Islam.


Kunci pembicaraan yang lain adalah memahami pendengar. Setiap kesempatan akan mendapatkan profil hadirin yang berbeda sehingga perlu juga memiliki diksi yang berbeda dalam setiap kesempatan itu. Memilih intonasi, ritme dan kata yang tepat pada sebuah sebuah kesempatan akan menentukan dampak bagi pembicaraan.


***


Bicara itu gampang, hanya saja bagaimana mewujudkan soal bicara itu dalam kehidupan nyata dan tidak menjadi omong kosong belaka. Kepercayaan orang lain terhadap pembicara selalu saja meragukan karena apa yang disampaikan semata-mata pepesan kosong. Politisi dari partai tertentu sudah mengiklan “katakan tidak pada korupsi” tetapi justru para bintang iklan itu sendiri sudah masuk ke penjara satu persatu.


Ini pulalah yang membuat pidato para politisi yang tidak berintegritas menjadi sebuah seremoni belaka. Tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan menginspirasi rakyat untuk mencapai tujuan bersama.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/02/bicara-itu-gampang-604617.html

Bicara itu Gampang | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar