Diakui atau tidak, hujan seringkali menginspirasi terciptanya karya fiksi bernuansa romantis. Pengalaman, penyelaman, ataupun khayalan di antaranya membuat hujan terpilih untuk dijadikan bingkai kisah serta penguat kesan. Kenapa demikian? Tentu, tak ada jawaban pasti untuk ini. Namun, bisa diperkirakan bahwa hujan yang identik dengan sifat-sifat air yang dingin, sejuk serta basah, hingga serasa menyentuh sanubari-sanubari terdalam. Apalagi, datangnya air itu melalui proses unik yang cukup mewakili peristiwa keajaiban indah dan menjadi bagian dari ritme kehidupan. Mungkin.
Begitu banyak lagu, puisi, ataupun prosa yang terlahir karena penciptanya terhanyut dalam suasana hujan itu. Peristiwa yang sepertinya tak habis untuk digali. Penggambaran tentang hujan dan pernak-pernik detailnya seperti gerimis, payung, dingin, musim, basah, mendung dan sejenisnya, meskipun berulangkali dijadikan unsur-unsur dalam menghidupkan karya fiksi itu sendiri, seolah tak tersentuh rasa bosan.
Sifat dingin ataupun basah (serupa tangis) dalam nuansa hujan itu memang cenderung membawa pada dominasi ranah sedih ataupun sendu dalam karya fiksi, apalagi cerita tentang asmara. Meskipun tak menutup kemungkinan bagi pengarangnya untuk mencoba mengambil sisi bahagianya (hujan di malam pengantin, misalnya…, hahaha).
Baik ketika Obbie Mesakh dengan lirik lagu :
” Yang, hujan turun lagi,
di bawah payung hitam kita berlindung.
Yang ingatkah kepadaku?”
yang dulu sering dikesankan sebagai lagu “cengeng” tapi banyak yang suka. Lalu lirik lagu dari Koes Plus yang legendaris, yang dinyanyikan ulang Chrisye:
” Waktu hujan turun, di malam itu
Di bawah payung kuberlindung
Sederas hujannya air mataku
Sejak cintamu tlah berlalu..”
kemudian sedikit beranjak pada masa Kla Project dengan lirik lagu “Gerimis”nya :
” Musim penghujan datang tanpa pesan
Bawa kenangan lama tlah menghilang
Saat yang indah dikau di pelukan..”
juga sampai pada puisi “ Hujan Bulan Juni” dari Sapardi Djoko Damono yang menurut saya bikin “oh..” banget:
“ tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
.
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
.
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu “
.
kesemuanya membingkai karyanya dengan mengambil inspirasi dari apa yang di rasakan, bayangkan, resapkan ataupun kenangkan dari peristiwa hujan. Bagaimanapun subyektifitas penilaian akan apapun hasil karya fiksi yang menggunakan unsur hujan di dalamnya, sisi romantis inilah yang terlihat demikian kental untuk diungkapkannya.
Tak berlebihan kalau dikatakan (dalam karya fiksi) hujan identik dengan sebuah keromantisan. Hampir di setiap detailnya bisa digunakan sebagai wakil pengungkapan “ruh” romantis itu. Bagaimana menurut Anda? Apakah banjir bisa juga dijadikan bagiannya?
Salam hujan.
.
.
C.S.
hujan? ah…oh..
0 komentar:
Posting Komentar