“Di antara agama-agama besar di dunia, tak diragukan bahwa Islam merupakan agama yang kurang dikenal, diapresiasi bahkan sering disalahpahami oleh kalangan non muslim…..Hal ini menyebabkan kebanyakan orang awam dan pemikir-pemikir Barat bertanya-tanya, “Apa yang diinginkan oleh Islam?” Demikian kutipan dari Annemarie Schimmel dalam pengantarnya terhadap buku karya sufi Srilanka, M.R. Bawa Muhayyadin, “Islam & World Peace: Explanition Of A Sufi”.
Annemarie benar dan juga salah. Ia benar mengenai kesalahpahaman Barat terhadap Islam, terutama pasca peristiwa “Black September”. Sehingga muncul anggapan bahwa Islam adalah agama teror. Namun, di sisi lain, ia salah. Sebab, Islam tidak identik dengan muslim, demikian pula sebaliknya.
Kesalahpahaman non muslim terhadap Islam bisa digambarkan oleh ucapan Ali Sina, penulis asal Kanada keturunan Iran. Dalam bukunya, “Understanding Muhammad”, Ali menulis, “Setelah aku membaca Alquran, aku terkejut. Aku terkejut karena aku melihat kekerasan dan kebencian. Setelah merasa depresi dan pusing, aku akhirnya menerima kesimpulan bahwa Alquran bukanlah kitab Allah, melainkan ayat-ayat setan, cerita bohong, dan produk pikiran yang sakit.”
Ali adalah satu dari sekian banyak non muslim yang membaca Alquran namun tanpa disertai niat yang tulus dan pengetahuan yang memadai. Selain Ali, masih banyak kalangan orientalis, yang nota bene non muslim, memberi pandangan yang negatif terhadap Alquran karena tanpa dibarengi dua hal tersebut.
Sebut saja Petrus Venerabilis (1092-1156), sebagai orientalis pertama yang memiliki gagasan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Latin. Ketika mengunjungi Spanyol, Petrus terpedona dengan Katolik “Musta’birin”, yakni kalangan Kristen Katolik yang berbahasa Arab.
Kemudian Petrus memanfaatkan mereka untuk menterjemahkan Alquran, yang berbahasa Arab, ke dalam bahasa Latin. Berbekal terjemahan itu pula, Petrus pada akhirnya menyusun buku yang diproyeksikan untuk menghantam Islam. Uniknya, Petrus sendiri tidak mengerti bahasa Arab.
Namun, tidak semua orientalis bersikap subjektif terhadap Islam. Banyak pula di antara mereka yang bersikap netral dan objektif terhadap ajaran Islam. Mereka menyelami bahasa Arab, mempelelajari sastra-sastra Arab kuno, dan basah-kuyup akan sejarah Islam. Mereka menyusun buku tidak berdasarkan pendapat pribadi mereka, namun dilandaskan kepada kutipan-kutipan dari para sarjana muslim terkemuka.
Hal ini senada dengan wasiat Arthur John Arbery (1905-1969), orientalis asal Inggris, yang menganjurkan kalangan-kalangan orientalis Barat non muslim agar tidak serampangan dalam menilai Islam. Arbery menyarankan, “Sebelum memberikan penilaian terhadap dunia Timur dan masyarakatnya, bagi para pakar Barat hendaknya menyingkirkan ketakutan, kesalahpahaman, dan kebohongan-kebohongan yang telah membatu.”
Berdasarkan wasiat itu pula, maka seorang pendeta bernama Richard Bonney menulis buku tentang jihad dalam Islam. Ia tidak hanya membela Islam dari para pencacinya, tetapi juga meluruskan pandangan negatif sebagian non muslim terhadap jihad di dalam ajaran Islam. Meski seorang pendeta, Booney bak berada di garda terdepan dalam membentengi Islam dari para penghujatnya. (Baca buku “Jihad”, karya Richard Booney).
Hal yang sama juga dilakukan oleh John L. Esposito. Setelah ia mengumpulkan dan meneliti ayat-ayat tentang jihad, maka ia menyimpulkan bahwa jihad dalam Islam bersifat defensif, dan bukan ofensif. Esposito melandaskan pada kontekstual ayat, dan bukan terpaku pada tekstualnya belaka. Secara kontekstua, menurut Esposito, ayat-ayat jihad berbicara mengenai pembelaan diri dari agresifitas para musyrikin Arab ketika itu.
Pandangan Esposito ini sejalan dengan penjelasan Syamsudin as-Sarakhi (w 482 H/1090 M), salah seorang fakih klasik, tentang jihad. Ia membagi ayat-ayat jihad menjadi empat tahap, seiring dengan kondisi dan situasi yang terjadi pada masa Nabi Saww.
Pertama, Nabi Saww menghindari konfrontasi dengan kaum musyrikin. Alquran menganjurkan untuk memaafkan mereka, sebagaimana tercantum dalam QS: Al-Hijr: 85 dan 94.
Kedua, ketika resistensi terus saja bermunculan, maka Allah menganjurkan Nabi Saww untuk melakukan konfrontasi terhadap mereka dengan argumentasi yang sopan dan cara-cara yang baik, seperti disebutkan dalam QS: An-Nahl: 125.
Ketiga, ketika kaum muslimin mulai menerima perlakuan diskriminatif dan penganiayaan, maka Allah menganjurkan agar berhijrah.
Keempat, ketika persekusi dan agresi kaum musyrikin kian meningkat, maka Allah mengizinkan Nabi dan para pengikutnya untuk memerangi mereka dengan tidak melampaui batas, seperi yang tercantum pada QS: Al-Baqarah: 193 dan QS: Al-Hajj: 39.
Dengan klasifikasi ayat-ayat jihad layaknya di atas, maka kita akan dengan mudah memahami tentang maksud jihad dalam Alquran secara keseluruhan. Sehingga, baik bagi non muslim ataupun muslim, tidak ada satu pun yang “mengkorupsi” makna dari jihad, dengan memaknai jihad sebagai perang terbuka menghadapi Barat secara agresif dan serampangan.
Gitu aja koq repot!
Selamat menikmati pentungan.
0 komentar:
Posting Komentar