Akhir-akhir ini banyak peristiwa, kejadian yang mencerminkan sikap arogansi yang dipertontonkan oleh para penguasa dihadapan rakyatnya. Mulai dari mantan Ketua MK dan tersangka kasus suap, menampar wartawan karena tersinggung saat diwawancarai. Ada juga, ibu negara yang gara-gara salah memilih kata yang tepat sehingga marahnya kelihatan fulgar di akun jejaring sosial.
Ada yang sangat memprihatinkan adalah cara seorang pimpinan tinggi negara (Presiden), menunjukan kekuasaannya dengan cara-cara yang kurang santun. Yaitu, saat presiden memperbesar / memperkuat nilai jual isu “Bundha Putri”. Dalam kasus ini secara sempurna Presiden SBY memperagakan amarahnya. Mulai dari pilihan kata-kata – diksinya, “Seribu persen”, “Dua Ribu Persen”. Juga bahasa tubuhnya, mulai cara menatap dan sorot matanya. Cara menunjuk-nunjukan jari telunjuknya. Hingga Ipad-nya yang seoleh menjadi pelengkap citra seorang yang metodis, modern dan seakan mewakili kecerdasan.
Peristiwa kedua yang melibatkan Presiden SBY, baik langsung maupun tidak langsung adalah tentang isu penculikan mantan tokoh PD yang melibatkan BIN. Sikap grusah-grusuh orang-orang di sekitar Presiden yang sekaligus Ketua Umum PD, menunjukan sebuah arogansi kolektif. Ironisnya segala sikap yang terkesan arogan tersebut, tidak satupun yang mampu menjawab atau menyelesaikan pokok permasalahanya. Setidaknya sikap-sikap tersebut semakin menjauhkan dari salah kerangka acuan perilaku seorang kesatria, yakni “Ngluruk tanpa bala” (secara jantan menghadapi permasalahan tapa melibatkan orang lain/ penggikut/ anak buah/ prajurit) dan “Menang Tanpa Ngasorake” (Menang tanpa merendahkan martabat lawan / mencibir lawan).
Seluruh mahluk terutama dalam kontek ini adalah manusia, baik itu manusia waras maupun orang gila, orang baik maupun orang jahat, baik orang kaya maupun orang miskin, baik rakyat jelata maupun para penguasa, adalah seorang Kalifah — Citra Allah dengan Tupoksi masing-masing, dengan tugas hidup, menunaikan kodrati masing-masing. Berarti segala fenomena dari manusia lain adalah sasmita (kata / fakta tersandikan - red) dari Sang Penyelenggara Hidup (SPH), kesimpulan ini hanya berlaku jika kita mengimani SPH secara murni dan konsekuen atau setidaknya seutuhnya tunduk dalam kedaulatan SPH.
Artinya ketika lebih mengedepankan amarah dan tersinggung, berarti kita tersinggung terhadap hikmat sapaan Illahiah. Mengedepankan amarah bukan sikap keinsafan jiwa, kesatria. Hal ini hanya akan mengaburkan substansi – substansi teguran. Akibatnya justru semakin merendahkan martabat diri sendiri, dan memperkeruh batin, jauh dari mawas diri. Kondisi batin seperti ini tidak baik bagi seorang ksatria bangsa.
Sebab, seorang laki-laki (baca : satria) lebih mementingkan isinya dari pada kulitnya. Artinya selalu mementingkan/melihat subtasinya dari pada pecitraan. Seorang ksatria, tidak boleh mudah terkejut, terpana dan terpesona. Seorang Satria “Ngluruk tanpa bala, Menang Tanpa Ngasorake”. Setidaknya perbawa, dan wibawa seorang kesatria tidak pernah dibangun hanya berdasarkan ligitimasi konstitusional semata. Lebih utama ligitimasi seorang satria dibangun diatas ligitimasi etis. Sampai di sini baru akan terjadilah kondisi idhu deni, esem ratu.
0 komentar:
Posting Komentar