Hubungan Teologis Antar-Agama
Dalam ranah teologi agama-agama (theology of religions), dikenal tiga posisi teologis menyangkut hubungan antar-agama, yaitu: eksklusivisme (partikularisme), inklusivisme, dan (pluralisme). Sebenarnya, masih ada variasi lain. Misalnya, saat mengikuti mata kuliah theology of religions, profesor saya menamai posisi teologis yang dianutnya dalam konteks ini dengan sebutan “open particularism” (partikularisme terbuka). Menurut beliau, posisi partikularisme terbuka berada di antara partikularisme/eksklusivisme dan inklusivisme. Demikian pula di antara inklusivisme dan pluralisme, ada sebuah posisi “tengah” yang disebut “inklusivisme-pluralisme” (inclusivism-pluralism).
Adapun klaim ringkas dari ketiga posisi teologis di atas akan dikemukakan sebagai berikut:
- Eksklusivisme: Hanya ada satu agama yang benar.
- Inklusivisme: Hanya ada satu agama yang benar, sementara agama-agama lain berpartisipasi di dalamnya.
- Pluralisme: Semua agama sama-sama sah dan benar.
Gambarannya bisa dilihat dalam sketsa berikut ini:
Dalam tulisan pendek ini, saya hanya akan fokus membahas tentang pluralisme agama dalam kaitan dengan toleransi beragama. Jadi, ini bukanlah sebuah pembahasan yang menyeluruh mengenai pluralisme agama.
Pluralisme Agama
Ada beberapa faktor lain yang menstimulasi munculnya pluralisme agama, namun salah satunya yang paling mendasar adalah akomodasi atau penerimaannya terhadap the spirit of post-modernism (spirit post-modernisme) yang fitur utamanya adalah Relativisme (paham bahwa tidak ada kebenaran mutlak sama sekali).
Sedikit lebih jauh menggambarkan tentang posisi pluralisme agama, saya perlu mencantumkan pengamatan dari profesor D.A. Carson mengenai macam-macam pluralisme dalam bukunya: The Gagging of God: Christianity Confronts Pluralism. Carson membagi pluralisme ke dalam tiga kategori, yaitu:
- Pluralisme empiris: Fakta bahwa kita hidup dalam masyarakat yang beraneka ragam budaya, adat-istiadat, dan agama.
- Pluralisme yang dihargai: Sikap menghargai dan menghormati fakta pluralisme.
- Pluralisme filsafati atau pluralisme agama: paham atau ideologi bahwa fakta pluralitas yang ada harus dipayungi dengan gagasan bahwa tak ada satu pun agama yang boleh mengklaim adanya kebenaran mutlak dalam agamanya sendiri.
Jadi, pluralisme agama atau pluralisme filsafati bukan sekadar mengakui fakta pluralisme dan sikap penghargaan terhadapnya. Lebih dari itu, ia menuntutnya menjadi sebuah ideologi atau paham tetap.
Dalam rangka perumusan ideologinya, demi memangkas klaim-klaim kemutlakan dalam setiap agama, pluralisme agama “meminjam” semangat relativisme yang dipopularkan dalam filsafat post-modernisme seperti yang sudah dikemukakan di atas.
Redefinisi Toleransi Beragama
Mengikuti ketiga kategori dari Carson di atas, sebelumnya definisi “toleransi” berada dalam cakupan poin yang pertama dan kedua, yaitu fakta dan sikap menghormati fakta pluralisme. Itulah sebabnya, toleransi dimaknai sebagai “paham bahwa setiap orang berhak dan sah menganut agama atau paham tertentu, terlepas dari masalah benar atau tidaknya agama atau keyakinan tersebut“. Artinya, toleransi tidak mengharuskan adanya penerimaan terhadap klaim-klaim kebenaran dari agama-agama yang ada. Toleransi berbicara sebatas sikap mengijinkan dan menghormati orang lain untuk memeluk atau meyakini ajaran sebuah agama. Pengertian ini tercermin juga dalam Webster’s Dictionary yang mendefinisikan toleransi sebagai:
“Sikap adil dan objektif terhadap orang-orang dengan pendapat, adat-istiadat, ras, agama, kebangsaan, yang berbeda dari kita.”
Tetapi, karena dimotori oleh relativisme, pluralisme agama mempopularkan pengertian toleransi yang mencakup penerimaan terhadap kebenaran dari setiap agama pada level yang setara.
Josh McDowell menggambarkan bahwa bagi pluralisme agama,
“Benar-benar toleran…artinya Anda harus sepakat bahwa posisi orang lain sama kuatnya dengan Anda sendiri… Anda harus memberikan persetujuan Anda, peneguhan Anda, dukungan Anda yang tulus pada kepercayaan dan tingkah laku mereka” (The New Tolerance, 22).
Inilah model hasil redefinisi toleransi atas asas relativisme yang ditawarkan oleh pluralisme agama atau pluralisme filsafati.
Implikasinya, menurut pluralisme agama, Anda adalah orang yang intoleran jika Anda mengklaim bahwa keyakinan teologis Anda adalah keyakinan teologis yang paling benar, paling baik, dst. Jika Anda mengklaim demikian, Anda adalah “musuh” toleransi ala pluralisme Agama.
Dengan kata lain, pluralisme agama menawarkan sebuah definisi toleransi yang menabuh genderang perang terhadap “kebenaran mutlak”. Menerima pluralisme agama dan definisi baru mengenai toleransi yang diusungnya, berarti kematian bagi klaim kebenaran mutlak dalam setiap agama-agama dunia.
Ketidakmungkinan Logis
Pandangan saya mengenai toleransi sudah sudah saya tuangkan dalam dua artikel terdahulu (lih. linknya di akhir tulisan ini). Gagasan dasar saya dalam kedua artikel tersebut berada pada kategori pertama dan kedua berdasarkan pembagian pluralisme menurut Carson di atas. Saya mengakui fakta pluralisme dan saya juga mendorong sikap menghargai atau menghormati fakta tersebut. Tetapi, saya menolak model toleransi yang diusulkan pluralisme agama, termasuk pluralisme agama itu sendiri.
Berikut ini, saya akan mengajukan tiga proposisi sebagai argumentasi bahwa toleransi agama ala pluralisme agama merupakan suatu ketidakmungkinan logis.
1. Relativisme yang diusung pluralisme agama dari semangat post-modernisme merupakan sebuah paham yang “menolak dirinya sendiri” (self-refuting). Apa maksudnya? Paham bahwa semua kebenaran itu relatif adalah paham yang sebenarnya “tidak relatif”. Untuk menolak bahwa “semua kebenaran itu relatif”, seseorang harus mengasumsikan bahwa penolakan itu adalah sesuatu yang mutlak. Jika tidak, maka ia tidak dapat menolak apa-apa sama sekali, apalagi menjadikannya sebagai sebuah ideologi atau paradigma. Dengan kata lain, relativisme melawan kemutlakan dengan menggunakan semangat kemutlakan itu sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai paham yang “menolak dirinya sendiri”.
2. Toleransi beragama ala pluralisme agama secara logis tidak akan mungkin bisa menjadi sebuah paham yang konsisten dalam penerapannya. Perhatikan dialog imajiner berikut ini:
Nararya: “Saya percaya bahwa saya boleh membunuh siapa saja yang tidak sejalan dengan keyakinan saya.”
Pluralisme: “Silakan. Itu hak Anda. Saya sih tidak percaya bahwa saya boleh membunuh siapa saja yang tidak sekeyakinan dengan saya. Tetapi saya harus mengakui keyakinan Anda demi toleransi.”
Nararya: “Okay. Terima kasih atas paham toleransi Anda. Dengan demikian, saya tidak perlu meminta maaf kepada Anda kalau sekarang juga saya harus memenggal kepala Anda.”
Pluralisme: “What?!!!!!!!!!!!!”
3. Pluralisme agama mengecoh agama-agama dunia dengan iming-iming kesetaraan. Hal yang paling substansial adalah bahwa kebenaran, by defintion, adalah sesuatu yang mutlak. Menolak kemutlakan kebenaran yang diklaim dalam agama-agama dunia, secara logis berarti mengusulkan sebuah kemutlakan yang baru. Jadi sebenarnya, pluralisme agama hanya sekadar menggeser klaim kemutalakan pada level “satu agama” kepada level yang lebih luas yang diberi nama “pluralisme agama”. Hal itu berarti, pluralisme agama tidak benar-benar menghormati, menerima, dan menghargai kebenaran setiap agama. Pluralisme agama mengecoh setiap agama untuk menyerahkan klaim kemutlakannya lalu menempatkannya di bawah payung kemutlakan yang baru yaitu pluralisme agama.
Jadi, visi pluralisme agama mengenai toleransi merupakan sebuah ketidakmungkinan logis. Dan atas dasar beberapa proposisi di atas, saya kira pluralisme menetapkan harga yang terlalu mahal untuk visinya. Kebenaran terlalu mahal untuk ditukar dengan satu panci toleransi ala pluralisme agama!
Tulisan-tulisan Terkait:
Sekali Lagi Mengenai Toleransi Agama: Via Postiva dan Via Negativa
Bersama Menyebarluaskan Paradigma Toleransi
0 komentar:
Posting Komentar