Setelah kehancuran Partai Komunis Indonesia (”PKI”Y menyusul penghianatan dan kekejaman yang mereka lakukan selama periode pemberontakan tahun 1948, sebenarnya secara efektif PKI sudah sulit bangkit kembali, sebab trauma kekejaman dan penghianatan mereka akan terus diingat oleh rakyat Indonesia.
Oleh karena itulah para petinggi PKI yang kembali dari pengasingan seperti DN Aidit, Njoto, Sudisman, Sakirman dna Lukman memikirkan strategi untuk membuat rakyat Indonesia melupakan kekejaman dan tangan berdarah PKI pada umumnya dan komunis internasional pada khususnya dengan menyebarkan komunisme melalui jalur kesenian, sebab mereka menyadari cara tercepat mengambil hati rakyat jelata Indonesia adalah melalui kesenian.
Ujung tombak penyebaran komunisme dan memulihkan nama baik diserahkan kepada Njoto, yang diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI. Untuk memuluskan rencana mereka menyebar komunisme melalui kesenian, tiga petinggi PKI, yaitu Njoto, DN Aidit dan AS Dharta pada tahun 1950 mendirikan Lembaga Kesenian Rakyat untuk menghimpun seniman-seniman Indonesia yang nantinya akan didoktrin untuk menyebarluaskan marxisme-leninisme di Indonesia. Untuk menyebarkan tulisan-tulisan para seniman Lekra, pada awal tahun 1953, Njoto merebut koran Harian Rakyat dari Siaw Giok Tjan dan Baperki yang sebenarnya tidak berhaluan kiri, sehingga Harian Rakyat tidak ubahnya seperti pamflet yang berisi propaganda PKI yang ditulis oleh seniman-seniman Lekra, yang sebagaimana diakui oleh penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian Rakjat, ciri khas Harian Rakyat adalah bahasa yang “hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka Marxisme/Leninisme.”
Lebih jauh lagi, dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan pidato Njoto saat ulang tahun Harian Rakjat 1956-1958, Njoto mengakui bahwa surat kabar Harian Rakyat adalah edisi Indonesia dari Pravda, koran partai komunis Uni Soviet.
Untuk memuluskan rencana menyebarkan komunisme dan mendulang anggota-anggota PKI yang baru, PKI mendapat bantuan dari Cekoslovakia, yang juga terlibat dalam merencanakan pemberontakan Musso dan PKI pada tahun 1948 yang berhasil dihancurkan Siliwangi itu.
Bila pada pemberontakan 1948, Cekoslovakia hanya mengirim dukungan melalui ketua Partai Komunis Belanda, Paul de Groot dan uang dalam jumlah besar, kali ini pemerintah komunis Cekoslovakia mengirim salah satu agen intelijen ahli propaganda mereka, seorang komunis berkewarganegaraan Inggris bernama Carmel Brickman. Untuk menghilangkan kecurigaan otoritas Indonesia karena ada “bule di tengah PKI”, maka PKI dan Cekoslovakia menikahkan Carmel Brickman dengan salah seorang petinggi di Politburo PKI yang bernama Suswondo Budiardjo, sehingga selanjutnya hingga hari ini Carmel Brickman yang selama menjalankan operasi penyebaran komunisme di Indonesia menjajakan diri kepada pejabat-pejabat di Indonesia itu dikenal dengan nama Carmel Budiardjo. Di kalangan internal PKI waktu itu, Carmel Budiardjo diberi nama rahasia sebagai “Kasman” dan di Indonesia ditempatkan sebagai asisten Njoto.
Harian Rakyat adalah sepenuhnya diakui sebagai koran propaganda PKI dan komunisme, akan tetapi PKI bersikap lebih hati-hati dalam membungkus Lekra, sebab tujuan mereka adalah mengkomuniskan seniman dan budayawan untuk selanjutnya mendoktrin mereka menyebarkan komunisme, marxisme dan leninisme ke masyarakat melalui hasil karya mereka, dan hal ini sulit dilakukan bila sejak awal Lekra sudah memproklamirkan diri sebagai underbouw PKI dan ekslusif memperjuangkan komunisme. Sehingga dari awal Njoto dan PKI membuat skenario bahwa Lekra yang dibiayai sepenuhnya oleh PKI tersebut memperbolehkan non-komunis menjadi anggota Lekra, akan tetapi secara diam-diam anggota non-komunis itu akan dimerahkan.
Usaha PKI memerahkan seniman dan budayawan Indonesia melalui Lekra sangat berhasil, sebab Njoto memiliki kharisma besar di kalangan seniman dan budaya, sebagaimana dicatat oleh seniman anti komunis, Iwan Simatupang bahwa seniman, budayawan, dan sastrawan seperti Pramudya Ananta Toer, Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi komunis militan karena pengaruh Njoto.
Dengan kata lain, bila PKI memiliki Biro Chusus yang dibentuk DN Aidit dan dipimpin Sjam untuk menggarap anggota-anggota militer untuk bersedia menerima marxisme dan leninisme, maka untuk menggarap rakyat sipil, petani, buruh bagi kepentingan PKI adalah tugas Lekra yang dipimpin Njoto dan asisten bayangannya, Carmel Budiardjo.
Bukti paling jelas bahwa Lekra memang underbouw PKI terlepas dari klaim sebaliknya dari majalah-majalah berhaluan komunis dan kiri seperti Tempo, tentu saja bagaimana organisasi ini dan anggota-anggotanya giat menghajar dengan keras semua organisasi atau perkumpulan seniman/budayawan/sastrawan tandingan Lekra akan tetapi menganut prinsip jelas anti komunis, misalnya Manifes Kebudayaan yang sering diledek anggota Lekra sebagai Manikebu. Seorang Pramudya Ananta Toer
0 komentar:
Posting Komentar