Mulai hari ini, jamaah Majlis Tafsir Alquran (MTA) Sidoarjo di Jalan Lingkar Timur Siwalan Panji Buduran, yang biasa mengadakan jamaah pengajian rutinan tiap Sabtu, tidak diperbolehkan ada.
Larangan itu tercetus setelah Pemkab Sidoarjo bersama TNI, Polri, para kyai NU, MUI, Ansor, Bakesbangpol dan lainnya di Pendopo Kabupaten Delta Wibawa, yang menyatakan MTA tidak boleh beraktifitas di Sidoarjo.
“Larangan ini dilakukan demi keamanan dan menciptakan kondisi yang kondusif di wilayah Sidoarjo,” ucap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, Sabtu (2/11/2013).
Ditambahkan Saiful Ilah, dalam kegiatan MTA, juga tidak ada ijin yang dikeluarkan dari Bakesbangpol. Kegiatan MTA selama ini juga belum mendapatkan ijin dari warga sekitar. “Makanya untuk kegiatan MTA, tidak diperkenankan ada di Sidoarjo,” tukasnya.
(beritajatim.com)
Pembubaran pengajian MTA yang dilakukan oleh orang –orang yang mengatasnamakan warga di berbagai daerah menunjukkan gejala yang sakit pada demokratisasi dan hak asasi manusia di negeri ini. Bukankah dalam pasal 29 UUD 1945 sudah dengan jelas memjamin kebebasan beragama dan mengekpresikan kepercayaan itu. Ironisnya itu dilakukan warga NU, dan diorganisir oleh elite-elite kaum sarungan yang selama ini gembar-gembor tentang perlindungan kaum minoritas, pembealan keyakinan yang berbeda-beda ( sampai-sampai ahmadiyah dan saudara Nasrani dilindungi kepentingannya). Namun begitu MTA mulai berkembang, justru keberadaannya dihambat di mana-mana secara terorganisir, mereka takut MTA akan menyedot pengaruh yang besar sehingga lama-lama mereka kehilangan pengikut.
Ya, kejadian yang sering menimpa warga MTA di berbagai daerah jika disimpulkan merupakan wujud MTA-Phobia dari kalangan kaum sarungan. Sebagaimana terjadi di Sidoarjo Jatim beberapa hari lalu yang dianiaya bak maling ketangkap. Ya… mengaji di rumah sendiri dan tak mengganggu kok dianggap maling. Bahkan Marzuki Mustamar yang katanya kyai karismatik harus melacurkan kata-katanya demi memfitnah MTA yang katanya menghalalkan anjing, menganggap tahillan dosanya ebih besar dari berzina. Padahal yang demikian itu tidak benar, MTA tak pernah menghalalkan anjing, tapi isu ini terus dihembuskan ke warga sehingga mereka terprovokasi dan menyerang pengajian MTA.
MTA adalah lembaga resmi yang boleh tumbuh di seluruh Indonesia. Jika ada aparat desa yang ikut-ikutan mengusir, maka Ia tak paham peraturan, utamanya UUD 1945. Presiden dan Wapres serta MUI pusat telah mempersilahkan MTA untuk melakukan aktivitasnya secara bebas di Indonesia. Dan Negara meyakini, MTA tidak akan melakukan anarkhisme sejauh ini. MTA juga tidak pernah memaksa orang lain untuk ikut mengaji. MTA juga tak pernah melarang warga yg lain untuk menjalankan aktivitas keyakinannya.
Namun nyatanya ada ormas Islam yang khawatir jika MTA besar, pengaruhnya masyarakat makin realistis dan meninggalkan segala ritual yang sudah mentradisi, karena mengikuti Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sehingga munculah gejala MTA-Phobia di kalnagan kaum sarungan. Difitnahlah Ia sebagai wahabi, difitnah menghalalkan anjing, difitnah membubarkan tahlilan dan sebagainya. Tujuannya agar dibenci masyarakat dan ditolak sebelum masyarakat mengerti apa itu MTA.
Oleh sebab itu, agar MTA itu nggak bisa besar, justru jangan anda dzalimi terus….., kan sayang kalau nama NU sudah besar harus menyeret nama MTA menjadi besar. Selain itu jangan lacurkan kebesaran NU hanya untuk mengobati penyakit MTA-Phobia ini. Biarkan masyarakat menentukan jalan dan keyakinan sendiri.
MTA tidak pernah melarang orang lain tahlillan, maka biarkan pengajian yang digelar MTA berjalan dengan sendirinya. Mari sama-sama membangun kebaikan bersama, membangun bangsa bersama, biarlah perbedaan yang ada menjadi harmoni yang indah di negeri ini. Sebab jika masih terjadi pelarangan dan penyerangan terhadap warga MTA yang mengadakan pengajian, itu namanya membohongi NU sendiri sebagai pembela minoritas, sebagai pembela kaum mustadhaafin.
0 komentar:
Posting Komentar