Telah lahir sebuah gejala unik sejak orde baru runtuh, yaitu munculnya wajah-wajah aneh tertampang dimana-mana. Saya katakan aneh, sebab wajah-wajah ini tidak pernah dikenal orang sebelumnya. Wajah-wajah tersebut biasanya kita temui bergelantungan pada spanduk-spanduk atau poster-poster. Berderet-deret ditepi jalan yang sering kita lewati.
Siapapun tahu, bahwa para pemilik wajah-wajah itu adalah orang-orang yang sedang mengasongkan diri. Mereka sedang menjual reputasi guna mendapatkan amanat rakyat. Foto-foto besar mereka bertebaran disana-sini. Baik di kampung-kampung maupun di kota-kota. Mulai dari gang sempit sampai jalan raya. Seperti tak mau kalah dengan pedagang asongan beneran, wajah-wajah itu juga selalu berjubel diperempatan jalan. Tempat yang dianggap paling strategis buat mengasongkan apa saja. Termasuk mengasongkan citra.
Lama-kelamaan kita menjadi semakin akrab dengan wajah-wajah itu karena tanpa sengaja sering bertatapan dengannya didalam keseharian kita. Tetapi saya yakin, bahwa kita pasti akan kesulitan menjawab jika ditanya. Siapakah sesungguhnya mereka. Walaupun nama-nama dengan seperangkat gelarnya itu selalu tercetak besar-besar dibawah gambar-gambarnya. Kita faham, apalah arti sebuah nama, toh itu hanya iklan biasa. Kita maklum, bahwa sederetan foto-foto ukuran raksasa itu cuma ulah orang-orang yang bernafsu ingin dianggap sebagai tokoh masyarakat.
Perlombaan memasang foto diri adalah tradisi baru di era reformasi. Banyaknya kesempatan untuk dipilih sebagai kepala daerah, ketua partai, anggota dewan atau ormas telah membuat banyak yang tertarik untuk mencalonkan diri. Sadar akan kendala yang dihadapi adalah belum punya nama, maka para calonpun berlomba-lomba memajang gambar wajahnya sendiri agar bisa terkenal. Dan, akhirnya mereka memang dikenal karena foto besarnya sering terlihat publik. Namun mereka cuma dikenal sebagai wajah-wajah tanpa nama. Tampang-tampang editan tanpa reputasi.
Memang, iklan adalah iklan. Artinya, bahwa yang namanya iklan, tentu saja tidaklah benar-benar menggambarkan apa-apa yang sedang dipromosikan. Betul, kalau yang dimaksud disini adalah iklan kecap atau iklan sabun mandi. Namun, bagaimana mungkin suatu nilai-nilai moral layak di iklankan?. Pantaskah “kebaikkan” seseorang digembar-gemborkan oleh orang itu sendiri?. Bukankah itu sama saja dengan pameran kemunafikan?.
Banyak maniak popularitas yang terkecoh dengan rayuan para ahli, bahwa citra diri dapat dibentuk oleh media. Bisa jadi itu benar kalau yang terjadi adalah “satu kata dengan perbuatan”. Tetapi, ketika yang terbukti kebanyakan justru yang sebaliknya, maka publikpun otomatis menyamaratakan jenis iklan-iklan model tersebut. Lambat laun respon masyarakatpun mengerucut hampir seragam, yaitu: muak!.
Masyarakat bukanlah sekumpulan orang dungu. Mereka sangat paham, bahwa karakter seorang pemimpin dibangun dari pengalamannya mengarungi pahit getirnya masalah kehidupan. Citra seorang pemimpin selalu dibentuk oleh masyarakat melalui proses yang sangat panjang. Tidak bisa dicetak sendiri secara instan. Kehebatan seorang pemimpin dinilai dari kiprah sosialnya yang dirasakan masyarakat dalam waktu yang tidak sebentar.
Saat ini, iklan-iklan politik bisa diibaratkan seperti seorang gembala ditepi hutan yang berkali-kali berteriak bohong : harimau!,harimau!. Beberapa kali orang yang berdatangan untuk menolongnya akhirnya menanggung kecewa. Maka ketika harimau yang sebenarnya datang, teriakan minta tolong sang gembala tidak digubris orang lagi. Dia akhirnya mati dicabik-cabik harimau. Demikanlah kira-kira nasib iklan-iklan politik dalam pandangan publik kini. Mati, tidak memberi pesan apa-apa. Seperti iklan-iklan sabun colek biasa.
Boleh jadi orang percaya dengan kebohongan kita, karena ketrampilan kita merekayasa atau memanipulasi. Namun secara samar-samar, “signal-signal” naluriah yang dimiliki oleh setiap orang pasti bisa mendeteksi kebohongan ini. Pelan-pelan orang tidak mempercayai kita lagi. Seorang tokoh yang berbohong akan kehilangan kekuatan komunikasinya dengan masyarakat. Masyarakat tidak percaya lagi dengan omongan mereka. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.
Banyaknya kebohongan yang telah dilakukan oleh para politikus membuat iklan-iklan politik menjadi kontra produktif. Kita muak dengan iklan politik. Tapi kemuakan itu menjadi hal biasa karena telah kita alami sehari-hari. Seperti bau busuk yang sudah tidak menganggu lagi karena rumah kita terletak disamping tempat pembuangan sampah. Kita maklum, bahwa iklan politik itu adalah pameran kemunafikan. Tapi, kemunafikan itu sudah tidak menjijikkan lagi karena hal itu sudah kita anggap jamak bagi para politikus. Kita sadar, bahwa iklan politik itu adalah suatu kebohongan. Dan, kebohongan yang dilakukan berulang-ulang, dia akan menjadi sebuah kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar