Bagian-1.
Suku Dayak Wehea adalah anak suku Dayak di Borneo yang merupakan masyarakat asli dan pertama kali mendiami wilayah-wilayah di Kecamatan Muara Wehea (biasa disebut Wahau oleh orang luar) dan tersebar pada 2 sungai besar, yaitu Sungai Tlan (biasa disebut Sungai Telen) yang terdiri dari 3 desa diantaranya Desa Dea Beq, Diaq Lay dan Bea Nehas serta Sungai Wehea yang dalam bahasa lokal dikenal dengan sebutan Long Msaq Teng (Desa Nehas Liah Bing, Diak Leway dan Long Wehea).
Berdasarkan penuturan beberapa tetua adat Wehea (beberapanya telah meninggal dunia), pada masa lalu, tidak ada masyarakat suku lain yang mendiami wilayah Wehea saat ini, sedangkan masuknya penduduk yang beretnis Kutai baru terjadi pada dekade 1930-an atau sebelum merdekanya negeri ini.
Masuknya suku pendatang di wilayah Suku Dayak Wehea diperkirakan baru dimulai pada decade 1930-an, yaitu masyarakat Suku Kutai dari bagian hilir sungai yang menjadi wilayah komunitas Kutai dan kemudian disusul oleh masyarakat Suku Dayak Kayan pada akhir decade 1960-an.
Berikutnya adalah fase masuknya beragam suku lainnya bersamaan dengan beroperasinya PT. AVDECO yang merupakan sebuah perusahaan Indonesia & Philipina sekitar tahun 1972 yang beroperasi dalam wilayah komunal Nehas Liah Bing, Dea Beq, Diaq Lay dan Bea Nehas. Masuknya kedua komunitas tersebut diatas serta para pendatang yang bekerja di perusahaan membuat masyarakat adat Wehea mulai berinteraksi dengan pihak luar dalam beragam hal.
Tidak berhenti pasca beroperasinya PT. AVDECO, puncak masuknya para pendatang di wilayah Wehea terjadi pada tahun 1985 pada 9 UP-Transmigrasi yang sejak tahun 1997 (berdasarkan SK Gubernur No.7/1997) telah menjadi desa defenitif.
Kedatangan suku-suku pendatang yang membanjiri wilayah komunal Wehea tentunya membawa beragam dampak, baik dampak positif (terjadinya perkembangan kemajuan, dll) serta dampak negative salah satunya adalah wilayah kelola yang semakin menyempit.
Pasca masuknya perusahaan kayu dan masyarakat trans, fase berikutnya adalah dengan dimulainya operasi perkebunan kelapa sawit yang mulai melakukan aktifitasnya sejak tahun 1998 dan menunjukan perkembangan yang luar biasa pesat.
Hal-hal diatas tentunya selain memberikan dampak (positif dan negative) juga tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masyarakat Suku Dayak Wehea, baik dari tatanan social budayanya, ekonomi dan beragam hal lainnya. Mampukah mereka berjalan beriringan dengan kemajuan yang terus terjadi dan semakin massif dewasa ini?
Pertanyaan tersebut tentunya coba dijawab oleh beberapa tokoh Dayak Wehea yang tesebar pada beberapa desa. Ledjie Taq, Kepala Adat Dayak Wehea di Nehas Liah Bing bahkan sempat mengutarakan kekhawatirannya akan perkembangan yang semakin pesat dewasa ini. Kami masyarakat Wehea masih terbelit pada problem SDM yang terbatas, demikian ujar Pak Ledjie Taq dalam sebuah pertemuan formal.
Sementara, dari DAS Telen, Ledjie Tot, salah seorang tetua adat di Desa Bea Nehas mengungkapkan kekhawatirannya akan terjadinya degradasi budaya Suku Dayak Wehea. Banyak anak-anak muda saat ini kurang tertarik untuk mempelajari budaya dan adat istiadat mereka. Ini tantangan besar kami, ungkap Ledjie Tot dalam sebuah diskusi kecil di tahun 2012.
Sebuah tantangan, tentunya tidak hanya pada kekhawatiran akan terdegradasinya budaya Suku Dayak Wehea, tetapi dilain sisi, dimana peran komunitas Dayak Wehea dimasa depan, ditengah laju perkembangan yang terjadi dewasa ini (mengutip ungkapan salah satu kepala desa).
Selama 8 tahun berada di tengah masyarakat Suku Dayak Wehea, satu hal penting yang perlu menjadi perhatian bersama, terutama bagi komunitas Suku Dayak Wehea adalah terkait dengan persoalan membangun sumber daya manusia yang kuat.
Saat issue SDM tersebut diangkat, sebuah pertanyaan besar kembali muncul, beranikah masyarakat Suku Dayak Wehea bergandengan tangan serta bersatu hati untuk secara bersama-sama mengkampanyekan pentingnya membangun SDM yang kuat? Sebuah pertanyaan yang cukup sulit dijawab saat ini, seiring bertumbuhnya kembali “gejalah” putus sekolah yang makin merebak dalam 2 tahun terakhir pada beberapa desa Wehea.
Teringat kembali sebuah situasi diera keemasan Illegal Logging yang pernah terjadi pada desa-desa Wehea di tahun 2000-2004, terjadi begitu banyak kasus anak putus sekolah pada hampir semua desa disana. Terdapat sebuah anekdot pada masa itu, dimana “buat apa sekolah, sebaiknya masuk hutan kita bisa dapat uang banyak”, demikian seperti diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat Wehea pada tahun 2005.
Kondisi di tahun 2005 pun tidak jauh berbeda dengan awal tahun 2000-an. Kasus putus sekolah masih kerap terjadi, sehingga bekerjasama dengan beragam elemen baik didalam desa maupun dari luar desa, terus mengkampanyekan pentingnya pendidikan bagi mereka, sehingga sebuah perkembangan menarik sungguh bagai mujizat terjadi, dimana beberapa anak yang telah putus sekolah akhirnya kembali ke bangku sekolah dan beberapa dari mereka saat ini sedang bersiap untuk menyelesaikan bagian akhir kuliahnya di perguruan tinggi juga semakin meningkatnya jumlah para pemuda Wehea yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baik di Sangatta, Samarinda, Jakarta, Surabaya dan Jogjakarta.
Sebuah perkembangan menarik yang tentunya patut diberi apreasiasi khusus, walaupun dalam beberapa kasus juga terjadi dimana para pelajar atau mahasiswanya terpaksa putus ditengah jalan yang terjadi justru bukan karena lemahnya dukungan dari orang tua, tetapi justru ketiadaan spirit yang dimiliki oleh para pelajar/mahasiswa tersebut.
Semakin membaiknya kondisi banyak warga Wehea saat ini tentunya perlu menjadi sebuah cambuk lain, baik bagi orang tua maupun bagi generasi mudanya untuk berani mengambil tantangan dalam upaya membangun sumberdaya manusia-nya.
Berbicara dari aspek budaya, pada saat ini justru sangat luar biasa. Sejak tahun 2006, bersamaan dengan kampanye yang terus menerus baik melalui media cetak dan elektronik ataupun para penulis lepas yang mengunjungi Wehea, sebuah kebanggan akan eksistensi budaya bagi mayoritas masyarakat adat Wehea semakin kuat. Mulai dari anak-anak hingga dewasa dan orang tua seolah berlomba untuk tampil dalam beragam pesta budaya dan tradisi mereka.
Beberapa tradisi bernilai tinggi yang sebelumnya dianggap hamper hilang seolah kembali diungkap dan dilaksanakan. Sebuah hal istimewa lainnya selain sebuah kebanggaan adalah munculnya pengakuan dari berbagai pihak bahwa Suku Dayak Wehea benar-benar ada dan mereka merupakan penduduk asli di wilayah Kecamatan Muara Wehea (wahau) dan Kong Beng (baca: Kung Beang-aslinya).
Sejak tahun 2005, terjadi perkembangan yang luar biasa dalam wilayah Kecamatan Muara Wehea dan juga Kung Beang. Disaat investasi semakin meningkat dan massif di wilayah ini juga turut mendorong masuknya para pendatang dari luar daerah yang semakin banyak pula. Sebuah hal yang sangat wajar dan seringkali terjadi pada berbagai daerah di negeri ini dan perlu dicatat, pada tahun 2005, jumlah penduduk khususnya di Kecamatan Muara Wehea masih berjumlah sekitar 8.000-an jiwa yang kemudian meningkat pesat pada tahun 2010 menjadi sekitar 16.000 jiwa dan pada tahun 2013 telah mencapai 24.000 jiwa.
Itu yang terdata. Bagaimana dengan yang tidak terdata? Menurut perkiraan, realita jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Muara Wehea sebenarnya berada pada angka 30.000 – 35.000-an jiwa. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak pekerja diperusahaan belum terdata sebagai warga dalam kecamatan tersebut.
Bila diperkirakan lagi, untuk wilayah Kecamatan Muara Wehea dan Kung Beang, jumlah penduduk saat ini diperkirakan telah mencapai 70 ribuan jiwa. Sebuah ledakan jumlah penduduk sebagai akibat dari perkembangan yang luar biasa pada kedua wilayah tersebut.
Melihat hal tersebut, tantangan terbesar tentunya dialami oleh warga komunitas adat seperti Suku Dayak Wehea. Sudah tentu, para tokohnya, baik yang berada pada level adat, pemerintah desa, BPD dan beragam elemen yang ada di dalam komunitas Wehea harus berpikir keras agar masyarakat Wehea dapat melewati tantangan perkembangan dan tentunya masing-masing tokoh/pimpinan masyarakatnya harus berani untuk melepaskan ego pribadi dan harus berani untuk berpikir sebagai sebuah kesatuan secara komprehensif, karena kemajuan komunitas tersebut bukan ditentukan oleh pihak luar, tetapi oleh masyarakat Dayak Wehea sendiri. Kini saatnya semua pimpinannya untuk berani melepas ego ataupun atributnya masing-masing untuk secara bersama membangun spirit dan kebersamaan dalam mengejar ketertinggalan dari berbagai hal yang ada saat ini, sehingga disuatu waktu kelak, masyarakat Wehea dapat lebih mengambil peran dalam perkembangan yang terjadi di “tanah air” mereka sendiri.
Ayo saudara-saudariku Komunitas Suku Dayak Wehea, mari kita bangkit bersama untuk mengejar segala ketertinggalan kita karena keberhasilan kita ditentukan oleh kita sendiri dan pihak lain hanyalah sebagai stimulant/pendorong saja……………………
0 komentar:
Posting Komentar