Naila, bayi dua bulan itu meninggal di depan loket RSU Lasinrang, Pinrang, Sulawesi Selatan. Tragis. Ayah Naila, Mustari dan Nursia asal Dusun Patommo, Desa Kaliang, Kecamatan Duampanua, tengah berdebat dengan petugas loket sementara anaknya di pangkuan Nursia meregang nyawa. Puluhan mata di depan loket terdiam. Masalahnya cuma satu: dokumen kurang lengkap jadi penanganannya terlambat. Benarkah begitu?
Soal nyawa di rumah sakit memang hanya soal administrasi. Di mana pun, fungsi rumah sakit sudah sedemikian buruk dan bergeser. Perawatan rumah sakit identik dengan uang uang uang tanpa tanda koma. Rumah sakit bukanlah lembaga sosial lagi. Rumah sakit adalah ajang bisnis yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis.
Akan halnya Rumah Sakit Umum alias RS milik pemerintah, sama juga adanya. Layanannya buruk karena para dokternya merangkap di rumah sakit swasta. Dokter menjadikan pekerjaan di RS Umum sebagai ‘etalase jualan professional mereka’, lalu praktek di RS swasta dan mencari tambahan.
Perilaku buruk petugas loket sebenarnya adalah gambaran ‘rasa frustasi’ melihat lingkungan rumah sakit yang buruk. Manajemen rumah sakit selalu tidak disipin dalam mengelola rumah sakit umum karena motivasi ‘melayani’ tidak ada. Yang ada adalah semangat mencari uang. Mencari uang sebagai petugas loket tak memungkinkan. Hanya bagian procurement, pembeliaan, pengadaan barang dan manajemen rumah sakit yang mendapatkan ‘peluang’ uang tambahan. Pun sebagian besar masuk ke kantong Direktur Rumah Sakit.
Rumah Sakit Umum milik pemerintah sengaja dibuat dengan pelayanan standard. Kalau mau pelayanan baik dan benar - karena layanan baik dan benar terkait dengan uang - maka pergilah ke rumah sakit swasta. Namun di RS Swasta juga perlu administrasi dan uang. Kalau tak ada uang jangan harap dilayani. Sekali lagi rumah sakit bukan lembaga sosial. RS adalah perusahaan. RS adalah tempat pemilik RS mengeruk kocek dari pasien.
Rumah sakit sebenarnya hanya diperuntukkan bagi kalangan yang memiliki uang. Yang tak memiliki uang pergilah ke puskesmas, minta rujukan, lalu pergi ke rumah sakit umum, lalu mendapatkan pelayanan. Bayi Naila tidak berhak langsung mendapatkan perawatan. Bayi Naila tak mengikuti prosedur. Prosedur lebih penting daripada nyawa Naila. Kenapa?
Bayi Naila bukan anak Bunda Putri - sang makelar korupsi nomor wahid Indonesia yang disimpan rapat oleh semua partai politik, pengusaha dan bahkan oleh SBY. Bayi Naila juga bukan cucu Ratu Atut. Bayi Naila juga bukan cucu yang maha terhormat Kristiani. Bayi Naila bukan anak dari Akil Mochtar. Bayi Naila juga bukan anak Darin Mumtaza dari suaminya, si koruptor sapi kader PKS ustadz Luthfi Hasan Ishaaq. Naila hanya anak perempuan seorang wanita dan pria sederhana.
Bayi Naila tak penting hidup di dunia ini. Bayi Naila hanya anak dari pasangan keluarga biasa yang namanya tak terkenal. Namanya pun bukan nama mentereng: Mustari dan Nursia. Tak ada nama besar selebritas dan indah misalnya nama beken Bunda Putri atau Ratu Atut - yang KPK dipastikan dalam waktu dekat akan menetapkan Ratu Atut sebagai tersangka dalam kasus korupsi di Banten dengan pintu masuknya adik tersayang Tulek Wawan dengan tuduhan pasal pencucian uang. Bagi Bunda Putri, Ratu Atut, urusan rumah sakit di Singapura dan Amerika.
Maka, sudah sepantasnya Naila meregang nyawa di depan loket RSU Lasinrang. Naila orang tuanya tak memiliki uang. Andai ada yang namanya uang, maka Naila tak akan meninggal di depan loket. Naila akan mendapatkan layanan sekelas anak Bunda Putri, layanan sebagus cucu Ratu Atut, servis sehebat cucu Kristiani, dan perhatian petugas rumah sakit sebagus anak Darin Mumtaza.
Jadi, intinya, pelayanan bagi Naila adalah tidak dilayani. Nyawa Naila hanya terletak di dalam prosedur. Penyebabnya? Kompleks. Pertama, Direktur Rumah Sakit tak memerhatikan pelayanan karena sibuk ‘merenovasi dan memelihara fisik bangunan rumah sakit’ biar ada proyek. Kedua, para karyawan dan dokter tidak memiliki hati sehingga pelayanan hanya bermakna prosedur. Ketiga, Naila bukan anak Bunda Putri, bukan cucu Ratu Atut, dan bukan cucu yang maha mulia Kristiani. Keempat, Naila tak punya uang seperti orang tuanya, sehingga nyawanya hilang ditelan oleh prosedur.
Salam bahagia ala saya.
0 komentar:
Posting Komentar