“Dalam memecahkan masalah wanita “P”, saya pilih melokalisai mereka.” Demikian penggalan kalimat dari Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta, untuk mengomentari kebijakkannya yang kontroversial, melokalisasi Kramat Tunggak. (Lihat “Demi Jakarta 1966-1977″, Ramadhan K.H).
Konon, kebijakkan itu diambil oleh Bang Ali berangkat dari kegusarannya ketika meiihat banyaknya PSK yang menjajakan diri di jalan-jalan utama Ibukota, terutama di sekitar wilayah Senen, Jakarta Pusat.
Meski banyak yang menentangnya, Bang Ali tetap bersikukuh pada kebijakkannya. Kemudian hari, kebijakkannya ini dikenal sebagai salah satu di antara dua kebijakkannya yang kontroversial semasa memimpin DKI Jakarta.
Kini, wacana untuk melokalisasi judi dan prostitusi kembali mencuat. Medio Oktober 2013, salah satu anggota DPRD Surabaya kembli melontarkan wacana lokalisasi judi dan prostitusi di pulau Galang. (Lihat Tribunews.com).
Wacana itu bukan barang baru. Sekitar medio 2010, wacana yang sama pernah terlontar, dan mendapat penolakan dari Menteri Sosial kala itu, Salim Segaf al-Jufri.
Melahirkan solusi tunggal untuk perjudian dan prostitusi cukup rumit, mengingat keduanya terkait dengan persoalan sosial yang kompleks. Umat, khususnya Islam, dihadapkan pada dua persoalan yang dilematis, yaitu antara ajaran Islam yang melarang judi serta zina dan fenomena perjudian dan prostitusi yang secara faktual tetap ada di masyarakat.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa pilihan yang strategis secara sosiologi adalah lokalisasi. Namun, banyak pihak pula yang keberatan, terutama kalangan agamawan, yang menyatakan bahwa lokalisasi dianggap menjadi pembenaran terhadap perjudian serta perzinahan. Dua hal yang diharamkan oleh agama manapun.
Tidak ada yang meragukan, bahwa idealitas yang diinginkan oleh agama adalah nihilnya perjudian dan perzinahan. Namun di sisi lain, kita tak dapat menutup mata akan semakin “liarnya” praktek ke dua maksiat tersebut. Bahkan konsumennya pun telah beraneka ragam, dari anak belum dewasa hingga yang telah cukup umur, dari pelosok kampung hingga kota besar. Tak salah ada yang mengatakan bahwa 2 dosa itu “mustahil” untuk dihapus dari muka bumi. Setidaknya, selagi ada krisis moral dan ketimpangan sosial.
Lalu, yang menjadi masalah, bagaimana kita menyikapi praktek perjudian dan prostitusi yang semakin merajalela bak tak kenal batasan?. Untuk perjudian, Malaysia dan Singapura telah melokalisasinya. Setidaknya lokalisasi perjudian dipilih dengan 2 pertimbangan, salah satunya yaitu agar perjudian ini dilakukan oleh individu yang memang memiliki kekayaan besar sehingga tidak merugikan ekonomi rakyat keci -khusus Malaysia ada tambahan yaitu tidak boleh muslim.
Tetapi masalah prostitusi lebih pelik dari perjudian, mengingat persebarannya yang lebih luas dan bisa dilakukan antara dua individu saja. Di sinilah kalangan agamawan perlu mencari solusi atas masalah prostitusi. Tidak hanya bicara soal moral yang bobrok, melainkan turun merembukkan solusi yang faktual dalam menyikapi prostitusi. Penyebaran penyakit kelamin, praktek liar prostitusi yang diikuti oleh pungli-pungli liar oleh berbagai oknum adalah kondisi yang “real” terjadi, dan harus segera dicarikan solusinya.
Dan jika kita memilih lokalisasi prostitusi sebagai jalan keluarnya, maka masih tersisa beberapa pertanyaan, yaitu apakah lokalisasi perjudian dan prostitusi adalah wujud dari pembiaran kita selaku umat beragama atau tidak?.
Jika iya, maka bagaimana solusi yang nyata untuk menghadapi kedua maksiat itu?. Dan sejauh mana dan akankah lokalisasi akan membawa dampak yang positif terhadap penanganan maraknya perjudian dan prostitusi. Agaknya kedua pertanyaan ini harus kita diskusikan bersama, baik ditinjau dari sudut pandang agama ataupun sosial.
Gitu aja koq repot!
Selamat menikmati pentungan.
Ditulis sebagai tanggapan atas wacana lokalisasi judi dan prostitusi di pulau Galang.
0 komentar:
Posting Komentar