Salam Kompasiana,
“Dan diantara bukti-bukti kekuasaan Allah ialah diciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih saying diantaramu. Sesungguhnya yang demikian menjdi tanda-tanda kebesaran-nya bagi orang-orang yang berpikir ‘ (QS. Ar Rum : 21)
Itulah salah satu petunjuk untuk manusia yang beriman dan berpikir dalam Islam untuk melaksanakan pernikahan, apabila kita sudah memiliki kemampuan dan calon pasangan hidup kita, maka hendaknya kita segera meresmikannya dalam sebuah hubungan suci yang sesuai dengan hukum agama dan hukum positif Negara.
Salah satu hikmah pernikahan adalah lbih menenangkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, dan terlebih dari itu adalah untuk meneruskan keturunan kita karena bagaimanapun dengan menikah maka kita secara tidak langsung juga ingin memiliki keturunan yang kelak akan meneruskan keturunan kita.
Namun harus kita akui, tidak selamanya pernikahan itu akan selalu berjalan indah. Banyak lika liku yang harus dilalui oleh kedua pasanganm karena disitu bersatunya dua hati dengan sikap dan sifat yang berbeda, lalu juga bersatunya dua keluarga besar yang bagaimanapun harus mampu disikapi dengan bijak oleh kedua pasangan.
Jangan sampai nikah hanya indah diawal, setelah itu muncul polemik diantara pasangan yang menikah hingga akhirnya muncullah apa yang disebut dengan perCERAIAN, sesuatu yang sangat dihindari oleh setiap pasangan yang memutuskan menikah.
Data Pengadilan Agama di seluruh Indonesia termasuk didalamnya Mahkamah Syariah mencatat 476.961 kasus perceraian pada tahun 2012.
“Taun 2012 pengadilan agama termasuk mahkamah syariah menangani perkara 476.961 kasus. Perkara ini naik 11,52 persn dari tahun sebelumnya yang menerima 363.041 perkara,” demikian yang dilansir Mahkamah Agung.
Kemudian dari angka diatas bila dikaji lebih lanjut maka didapat isteri lebih banyak yang mengajukan inisiatif perceraian dibandingkan suami, jumlahnya mencapai 238,666 kasus atau sekitar 58,95 persen. Sedangkan kasus talak cerai dari pihak suami mencapai 107,780 kasus atau 26,62 persen.
Tinggi angka pengajuan cerai dari pihak isteri juga dibarengi dengan sebuah fenomena baru dalam urusan perceraian tersebut, yaitu munculnya fenomena ganti rugi keperawanan.
Sebagaimana yang saya baca pada sebuah artikel dimedia cetak nasional non stop, ada dua kejadian yang mengindikasikan terjadinya fenomena tersebut.
Pertama, kasus yang terjadi di Mandailing, Natal, Sumut ketika seorang suami MIR (31) digugat balik oleh isterinya NUR (34) dengan gugatan Rp. 100 juta.
“agar pemohon membayar ganti rugi keperawanan Rp. 100 juta,” kata NUR yang tertuang di putusan PA Panyabungan (2/11) (sumber : harian non stop)
Kedua, kasus perceraian di langsa, Aceh dimana sang isteri NV (24) menagih biaya layanan ranjang Rp. 500 ribu permalam selama masa perkawinan. Hal itu terjadi karena sang suami JL (31) mengajukan perceraian dengan mngguga isteri mengembalikan biaya seserahan rp. 20,9 juta dan mahar emas.
“Menuntut pengembalian uang yang telah dikeluarkan untuk mengadakan pesta peresmian perkawinan sebesar rp.75 jua,” ungkap NV dalam gugatan baliknya (sumber : harian non stop)
Itulah dua kasus terkait permasalahan perceraian yang terjadi dengan memunculkan sebuah fenomena menarik tentang gugatan ganti rugi keperawanan, yang sebenarnya kalau kita pikir lebih bijak ketika dua pasangan melangsungkan pernikahan yang ditandai melalui ijab Kabul serta bukti sah dalam buku nikah, maka secara tidak langsung keduanya sudah terikat dalam sebuah ikatan suci, jadi manakala terjadi sesuatu setelah kita menikah dengan munculnya perceraian adalah sangat tidak layak apabila muncul gugatan ganti rugi keperawanan.
Hal senada diungkap oleh komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu terkait fenomena tersebut yang menurutnya terjadi karena kausalitas yakni sebab dan akibat.
“Ini fenomena baru, masuknya ke hukum perdata. Hal tersebut biasanya karena ada sebab dan akibat. Mungkin si isteri merasa dirugikan sehingga timbul tuntutan seperti itu,” ungkap Ninik kepada harian non stop.
Yach bagaimanapun perceraian memang menimbulkan banyak permasalahan yang akan muncul utamanya kepada suami, dan isteri yang bercerai apalagi kepada anak-anak yang harus menerima kenyataan kedua orang tuanya harus bercerai.
Tetapi sekali lagi manusia memang hanya berusaha untuk selalu menjada biduk rumah tangga berjalan sebagaimana yang diinginkan, lautan memang luas dan ombaknya besar sehingga bisa membalikkan biduk rumah tangga yang kita bangun.
Semoga berita tentang fenomena ganti rugi keperawanan bagi pasangan suami isteri yang bercerita bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua.
Salam kompasiana,
wefi
0 komentar:
Posting Komentar