Bisa bangsa ini masih memiliki urat malu, maka tidak bisa tidak kita harus malu dengan negara tetangga kita, Singapura, sebab dengan luas tidak lebih besar dari pulau Batam, dan kondisi mereka yang miskin sumber daya alam maupun sumber daya manusia, ternyata dari perkampungan kumuh dan sarang perompak yang dibuang Malaysia mampu menjadi negara maju dengan pendapatan perkapita dan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia jauh melebihi Indonesia yang memiliki luas dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia jutaan kali lipat dari Singapura.
Apa rahasia keajaiban Singapura ini? Rahasia prestasi Singapura ini diungkap oleh Minister Mentor Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri dalam buku berjudul The Hard Truths to Keep Singapore Going terbitan tahun 2011, dan rahasia tersebut adalah menyadari bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, dan kesuksesan harus kita perjuangan sendiri bukan meminta dari “langit” atau orang lain.
Dalam buku tersebut, Lee Kuan Yew mengungkapkan bahwa dari awalnya pemerintah Singapura yang dia pimpin telah memetakan kelemahan-kelemahan Singapura yang berwilayah kecil, minim sumber daya alam dan sumber daya manusia, akan tetapi mereka menyadari posisi strategis Singapura yang sejak jaman penjajahan Inggris sudah menjadi dermaga penghubung antara China, India, Indonesia, Australia, dan Asia. Kemudian Lee Kuan Yew melihat bahwa satu kelemahan negara tetangganya yang besar, yaitu Malaysia dan Indonesia adalah keduanya masih tidak bisa menghilangkan mental korupsi dan tidak displin. Dari pengamatan dan identifikasi masalah tersebut pemerintahan Singapura memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk maju adalah membangun Singapura sebagai penghubung negara-negara sekitarnya dan membangun Singapura menjadi negara dengan disiplin tinggi dan bersih secara lingkungan maupun dari korupsi yang nyaman untuk disinggahi oleh orang-orang dari mancanegara. Selanjutnya setelah tahap pembangunan pertama selesai, Singapura dikembangkan menjadi negara wisata dan rekreasi maupun tempat berobat dengan dokter berkualitas internasional serta menjadi lokasi penyelesaian sengketa bisnis internasional.
Selanjutnya seluruh struktur masyarakat yang dibangun oleh pemerintah Singapura dibangun dengan basis bahwa seluruh rakyat Singapura akan diberikan suasana sosial dan negara yang kondusif untuk hidup dan bekerja, fasilitas pendidikan, perumahan dan kesehatan yang sama oleh Pemerintah, akan tetapi adalah selanjutnya tugas mereka harus berjuang sendiri untuk meningkatkan taraf hidup mereka dan keluarganya, sebab sekali lagi tidak ada makan siang yang gratis. Dalam hal ini Lee Kuan Yew berpandangan bahwa sistem sosialis, di mana wealth (kekayaan) dibagi sama rata sama rasa itu adalah sesuatu yang mustahil dan bersifat utopis yang tidak mungkin dijalankan, sebab kemampuan setiap orang untuk meraih keberhasilan dalam hidup tidak sama dan seberapa mampu seseorang memaksimalkan potensinya adalah tergantung orang itu sendiri bukan orang lain, dan khususnya bukan pemerintah.
Pendapat Lee Kuan Yew ini perlu kita perhatikan dengan seksama, sebab pandangannya ini lahir dari pengalaman dan pengamatan ketika masih berada dalam periode awal menjabat sebagai perdana menteri, yang melahirkan pemahaman bahwa falsafah sosialis yang dia pegang sejak menjadi mahasiswa hukum di Inggris sebenarnya salah dan tidak akan pernah mungkin dapat dilaksanakan.
Hasil pemahaman Lee Kuan Yew yang realistis ini berhasil meningkatkan taraf hidup penduduk Singapura sehingga mereka semua mampu hidup layak dan harga bahan pokok di negara tersebut juga stabil dan tidak berubah selama puluhan tahun dengan ketahanan devisa yang luar biasa. Saking berhasilnya, tidak ada seorangpun warga Singapura yang bersedia bekerja di sektor informal seperti kuli bangunan atau pembantu rumah tangga atau supir bus sehingga Pemerintah Singapura terpaksa mendatangkan orang-orang dari China, Malaysia, Filipina atau Indonesia untuk mengisi kekosongan pekerja di sektor informal tersebut.
Apabila diperhatikan dengan seksama, apa yang dilakukan Lee Kuan Yew di Singapura sebenarnya identik dan sama persis dengan kebijakan yang dilakukan oleh Pak Harto selama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Bahwa tugas pemerintah adalah menstabilkan keadaan negara, menyediakan bahan pangan murah, rumah murah yang dapat menjadi aset, pendidikan berkualitas tinggi yang terjangkau, kesehatan murah dan bahkan gratis yang dapat dijangkau seluruh rakyat dari rakyat kecil sampai para penggede, dan setelah mereka mendapat bekal ilmu yang cukup, maka diharapkan rakyat mampu memperjuangkan nasibnya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Hasilnya sungguh luar biasa yang masih dirasakan hingga hari ini, yaitu meledaknya jumlah orang-orang Indonesia yang sebelumnya berada di golongan miskin menjadi golongan menengah dan bahkan menyeruduk menjadi orang kaya. Sayang sejak dimulainya masa reformasi semua kebijakan dan hasil yang dicapai orde baru dijungkir balikan dan dihancurkan, yang dapat dilihat dari mahalnya pendidikan, kesehatan dan harga bahan pokok yang tidak kondusif.
Akibat reformasi, mulai bermunculan kelompok orang yang tidak mau memperjuangkan nasib sendiri dan terus meminta dengan cara merengek sampai memaksa dengan kekerasan sampai merasa berhak membakar hidup-hidup ibu dan anak yang kebetulan melintas supaya pihak lain bertanggung jawab atas nasib mereka secara tidak proporsional. Misalnya demo buruh yang meminta UMP naik secara signifikan dan bahkan kalau perlu mencapai 400%pun dirasa wajar supaya mereka mampu membeli mobil atau membayar cicilan motor mewah, serta merasa bahwa minyak wangi, smartphone, pulsa adalah komponen hidup layak.
Andri Wongso mengatakan bahwa sukses adalah hak saya, dan memang benar, adalah hak semua orang untuk hidup layak dan sejahtera, akan tetapi juga adalah hukum alam bahwa sebelum mendapatkan hak, setiap orang harus terlebih dulu membayar harga atas hak tersebut dengan menjalankan kewajiban-kewajiban. Bila buruh merasa pengusaha wajib membayar upah minimum yang luar biasa besar, katakanlah Rp. 3.700.000,00/bulan, pertanyaannya bila ternyata pengusaha tidak menyanggupi, mengapa buruh tidak keluar saja dari pekerjaan, mengambil kredit tanpa agunan dari bank, kemudian membuka usaha dan mempekerjakan orang lain, di mana saat itu mereka dapat menggaji pekerja mereka senilai apa yang menurut mereka layak, yaitu Rp. 3.700.000,00/bulan. Begitu juga apabila buruh merasa outsourcing adalah perbudakan modern, mengapa para pekerja outsourcing yang merasa diperbudak itu tidak keluar saja untuk kemudian membuka usaha sendiri atau melamar lagi di tempat lain yang menjanjikan posisi sebagai pekerja tetap, ketimbang membuat kekacauan di tempat usaha dan mengganggu pekerja lain yang ingin sungguh-sungguh bekerja?
Bila para buruh yang berjumlah ratusan ribu orang ketika berdemo itu semuanya membuka usaha sendiri demi memperjuangkan nasib dan kesejahteraan mereka, dan minimal sepersepuluh saja berhasil mengembangkan usahanya, bukankah dengan sendirinya dan secara pelahan pendapatan perkapita Indonesia akan meningkat. Hal ini lebih baik ketimbang mereka terus menerus merongrong negara dan bangsa ini dengan permintaan-permintaan yang berlebihan dan eksesif.
0 komentar:
Posting Komentar