Halloween, imbas budaya Amerika ini memang menjadikan anak-anak hingga orang dewasa Jerman jadi demam. Betapa tidak? Toko-toko menjual pernak-pernik Halloween dari kepala hingga kaki. Dibandrol dengan harga, model dan kualitas beragam.
Wujudnyapun tak hanya yang seram seperti drakula, mumi atau hantu. Ada juga buah labu, putri-putrian sampai kupu-kupu!
Ada pro kontra tentang perayaan Halloween di Jerman. Setidaknya di wilayah kami. Mereka yang menganut kepercayaan Hagowiyu misalnya. Mereka ini menolak anak-anak yang datang pada mereka, bahkan mengusir dengan kata-kata keras dengan nada tinggi.
Dokter gigi setempat yang kami datangi beberapa hari sebelum Halloween, sangat sedih dengan budaya makan yang manis-manis. Ini sama saja dengan lukisan masa depan gigi anak-anak, tambah rusak. Tugasnyapun jadi bertambah. Hehe.
Saya lahir dan pernah lama sekali tinggal di tanah air. Budaya ini sangat asing sekali. Bukan ajaran bangsa asli. Saya hanya biasa melihatnya di kalangan eks patriat atau yang berhubungan dengannya saja. Lain tidak.
Hanya saja, saya menyikapinya sebagai sebuah sosialisasi. Itu saja. Kalau tidak berkumpul dengan masyarakat lokal di Jerman, apa jadinya dunia ? Sepi !
Itulah sebabnya, kami paksa kompasianer Cici dan keluarganya yang baru saja pindah dari Indonesia itu untuk mengenal tradisi baru rakyat Jerman.
Karena mereka tinggal di daerah villa yang saya kira masyarakatnya agak tertutup, pastilah tradisi ini tak hidup. Beruntung bahwa kami tinggal di dekat hutan dan gunung, yang mana masyarakatnya begitu akrab satu sama lain, hangat. Salah satu gambarannya adalah ketika ada Halloween ini. Kesempatan.
Yak. Dua hari lalu, suami saya sudah dihubungi tetangga sebelah untuk mempersiapkan bahan-bahan seperti kayu manis, buah jeruk, Anis dan Nelken (cengkeh). Tetangga lainpun diminta untuk mempersiapkan kebutuhan lain. Ada yang menyumbang minuman dan makanan kecil. Tuan rumah menyiapkan tempat, kayu bakar dan perapiannya, kursi dan meja, gelas dan piring.
Oi. Anak-anak sudah minta dibuatkan roti dengan taburan cacing eh permen cacing.
Gula-gula dan coklat terbeli sudah sebagai ancang-ancang saat serbuan anak-anak yang merayakan Halloween, membuncikan lonceng.
***
Nah. Pada hari H. Pukul 18.00 sudah gelap sekali. Mulailah pintu-pintu rumah di sekitar kami didatangi makhluk aneh. Siapa lagi kalau bukan anak-anak kecil dan remaja yang berubah menjadi makhluk tersebut?
Orang tua yang mendampinginya ramah menyapa, “Hallo, selamat malam.” Sudah itu saja. Sudah termasuk kategori bagus tanpa embel-embel bla-bla-bla.
Kompasianer Cici, ibunya dan saya, mengawal keempat anak-anak (Nenen, Nowa, Tom sama Amy). Baju tukang sihir, putri-putrian dan tengkorak jadi pilihan mereka. Bahkan sarung tangan Tom bisa menyala!
Pertama, kami pergi ke tetangga sebelah yang ketempatan acara kumpul Halloween. Orang dewasa sudah banyak disana, begitu juga anak-anaknya. Api mulai menjilati kayu yang semakin terbakar membara.
Seterusnya, kami putuskan untuk memulai pengembaraan. Menyusuri gang kampung untuk mengucapkan “Süsses oder Saueres” . Süsses dari kata Süss atau manis. Meminta sesuatu yang manis. Oder berarti atau. Saueres dari kata Sauer=kecut, berantakan. Tidak memberi sesuatu bikin kecut hati atau anak akan usil (hampir mirip maknanya dengan trick or treat di US).
Saran saya pada anak-anak untuk hanya mengebel rumah yang menyala lampu ruangan di dalam sana. Ini saya sinyalir sebagai tanda-tanda kehidupan masih ada. Atau bisa juga, “herzlich welcommen” atau welcome, mempersilahkan anak-anak untuk melancarkan tradisi Halloween.
Pintu demi pintu terbuka. Gula-gula, coklat dan penganan lainnya mulai masuk dalam kantong yang anak-anak buka.
Suatu kali, Tom yang lahir di Jerman tinggal sejak bayi di Indonesia dan baru saja hijrah ke Jerman itu berseru, “Ma, orang Jerman baik-baik ya?”
Ia memaknai tradisi Halloween ini sebagai bukti keramahtamahan orang Jerman yang sebenar-benarnya. Mereka rela diganggu malam-malam oleh anak-anak yang tidak dikenal sepertinya. Berbagi sebagian dari isi kulkas atau gudang makanannya.
Ah, anak-anak. Innocent, polos sekali, ya? Budaya bawaan ini dilihatnya secara positif bukan sebaliknya.
Setelah setengah jam, saya ajak anak-anak kembali ke tempat perhelatan di tetangga sebelah, lalu beberapa menit kemudian ke rumah kami demi menghangatkan badan. Udara minus membuat tangan kami kaku. Wadoww, dingin sekali!
Anak pertama kami sudah pergi ke kota besar bersama kawan-kawannya. Mengetuk pintu warga jalan besar. Entahlah bagaimana jadinya. Karena saat pulang ia tak membawa gula-gula sebanyak adik-adiknya. Kantong keempat anak yang kami kawal, berat dan penuh! Nyam-nyam. Tak lupa, sikat gigi. (G76)
0 komentar:
Posting Komentar