blazer korea murah

Kacamata Hitam = Tidak Jujur dan Mata Keranjang



JAM 8.00 tadi pagi saya ke Unit Rawat Jalan RS St. Elisabeth Semarang untuk suatu keperluan. Seraya menunggu antrean, saya menyimak hilir mudik orang melalui pintu kaca yang membuka-menutup melalui sensor.


Tak berapa lama, masuklah pria dan wanita (kemungkinan besar suami istri). Yang pria berkaus putih lengan pendek dan bercelana pendek jins, yang perempuan berkaus kuning lengan panjang bercelana legging hitam. Lengan hingga pangkal tangan pria tadi penuh tato. Saat melintasi bangku saya, barulah saya melihat hal yang janggal. Pria ini memakai kacamata hitam pekat, seolah-olah dia tuna netra. Padahal jalannya lurus, tidak zig-zag, khas orang awas.


Sampai di loket, pria ini tidak juga melepas kacamatanya. Pun ketika dia ngomong dengan mbak-mbak penjaga loket. Alamak! Si perempuan tampak cuek saja. Mungkin yang dilakukan prianya itu sudah jamak terjadi saban hari.


Saya membatin, apakah pria berusia sekitar 35 tahun itu sedang belekan ya? Atau, jangan-jangan dia ini Cyclops, tokoh dalam sekuel X-Men yang matanya mencarkan laser bila kacamatanya dibuka. Oh, bukan ternyata. Saat membaca nota, sempat saya lihat ia buka kacamata, dan matanya baik-baik saja.


Kesimpulannya, dia ingin bergaya. Ingin dinilai fashionable. Dan pria ini tidak sendirian. Banyak — laki-laki maupun perempuan — ngotot tak mau melepas kacamata hitam pekatnya, meski mereka memasuki ruangan temaram, seperti di ruang Unit Rawat Jalan RS Elisabeth tadi.


Lalu, gaya macam apa yang ingin disuguhkan bila perilaku ini menabrak etika dan kesopanan? Bule saja saya kira tidak begitu-begitu amat. Mengapa etika dipersoalkan, sebab rasanya pemakai kacamata hitam seolah seseorang yang berdiri di ruang berkaca satu arah. Mereka memandangi kita dengan leluasa, hingga (maaf) ke bagian-bagian vital, sementara tak satupun orang — termasuk istri/suaminya — melihat dia sedang menyimak pemandangan haram.


Seorang teman di kantor bahkan menyebut “pria bermata ganda” untuk pria-pria berkacamata hitam yang jalan bersama istrinya. Dia akan menyusuri tubuh perempuan mana saja yang dilewatinya hanya lewat lirikan yang sama sekali tak terdeteksi. Leher dan kepala tampak lurus ke depan, namun bola mata berpindah-pindah ‘channel’ secepat GPS.


Bolah boleh saja pakai kacamata hitam. Tapi sebaiknya memakainya ketika benar-benar butuh, misalnya saat menyopiri mobil dengan matahari yang nyalang menusuk kaca depan hingga kabin. Atau naik sepeda motor guna menangkal silau. Kadang saya juga dengan sangat terpaksa memakai kacamata itu ketika sedang sakit mata.


Tapi tatkala mata kita sehat-sehat saja kemudian masuk kantor orang, ngobrol dengan teller bank, atau sedang bertransaksi dengan kasir rumah sakit seperti kejadian tadi pagi, tak perlu kita meniru agen-agen FBI.


Dalam berinteraksi sosial, kita memerlukan gerak, kerdip, dan sorot mata lawan bicara untuk mengukur kedalaman isi obrolan. Jika ngobrol saja seseorang harus menutupi matanya dengan kaca rayban, saya sepakat untuk mengatakan bahwa seseorang ini tidak jujur!


-Arief Firhanusa-



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/02/kacamata-hitam-tidak-jujur-dan-mata-keranjang-607129.html

Kacamata Hitam = Tidak Jujur dan Mata Keranjang | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar