Hari demi hari telah berlalu tapi pemandangan sikap para pejabat negara ini tetap seakan tak berubah. yak tak jenuh dengan hal yang seperti itu. Coba kia lihat sejenak pemdangan di perbatasan antara Indonesia dengan negara ini. Alangkah indahnya kehidupan di kota Jakarta, mencari air, sumber makanan, listrik, kehidupan yang layak bagi sebagian orang tidak terlalu susah didapat karena akses yang terbilang sentral. Tetapi bagi sebagian orang yang mungkin juga tinggal di Jakarta hal tersebut masih susah didapatkan. Tapi alangkah lebih susah lagi dengan keadaan yang terjadi di perbatasan Indonesia.
Hal semacam ini memang telah banyak di dokumentasikan oleh media baik cetak, hingga elektronik, tapi hinga sekarang tidak terdengar bagaimana dampaknya setelah diliput oleh media. Tapi jika kita melirik kedalam suatu kasus korupsi, seakan-akan 2 sampai seminggu kedepan pasti banyak sekali yang memberitakan tentang hal itu. Back to the topic, jika saya boleh menelaah kesimpulan dari sebuah film “Tanah Surga…Katanya” bercerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari Bapak, Kakek, dan 2 orang anak yang tinggal disebuah perbatasan Indonesia-Malaysia, tetapi sang bapak dari 2 anak tersebut ingin pindah ke Malaysia dengan mengajak kedua anaknya tersebut, tetapi sang Kakek tidak mau diajak pindah karena sang Kakek cinta dengan Indonesia, masih teringat dibenaknya perjuangannya melawan penjajah ketika saat dulu. Akhirnya sang Kakek membujuk anak yang pertama untuk tetap tinggal di Indonesia sekaligus untuk menemani sang Kakek. Akhirnya bapak, dan anak yang ke-2 memutuskan untuk tinggal di Malaysia berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada saat itu. Sang kakek dan anak yang pertama teap tinggal di Indonesia meskipun kehidupan disana sangat sulit. Hingga pada akhirnya sang kakek meninggal akibat terbatasnya akses kesehatan serta pelayanan kesehatan yang terlampau jauh jaraknya.
Apa yang dapat kita petik dari kisah tersebut adalah ketika daerah perbatasan yang sering orang lain atau bahkan pejabat negara ini jarang melirik, terdapat orang-orang yang berfikir untuk pergi ke “sebrang” perbatasan. Pendidikan, fasilitas kesehatan, hunian yang layak, perkejaan yang terjamin menjadi sesuatu yang mereka cari dibanding harus bertahan di wilayah asal mereka (perbatasan). Beberapa pertanyaan patut untuk dijawab ; Salahkah yang mereka lakukan untuk mendapatkan kehidupan yang layak ? Apa yang mereka banggakan dari Indonesia jikalau pemerintahnya saja tidak sepenuhnya memberikan fasilitas yang maksimal demi kehidupan yang layak ? Akankah mereka dapat menjaga semangat nasionalis mereka tetapi keadaan disana masih jauh dari keadaan Ibu Kota ? Akankah Pemerintah diam ketika melihat warga negaranya banyak yang memilih menyebrang ke negeri orang ? Bahkan mata uang di perbatasan antara Indonesia-Malaysia adalah Ringgit Malaysia, padahal masih masuk kedalam wilayah Indonesia, dan masyarakat daerah tersebut berkata bahwa “untuk transaksi jual beli disini sering menggunakan ringgit”.
Itu baru contoh kecil kawan, semoga kedepannya pemerintah Indonesia dapat mensejahterakan saudara-saudara kita yang berada di perbatasan.
-Salam Damai-
0 komentar:
Posting Komentar