Saya tergolong awam soal permobilan. Apalagi kalau di tanya soal infrastruktur, jauh lebih tidak mengerti lagi. Tetapi, ini pandangan awam saya.
Saat pemerintah kita meluncurkan program LCGC (low cost and green car), saya mencoba memandangnya secara global. Memang benar bahwa situasi global saat ini cenderung mengarah pada wacana hijau (baca: lingkungan hidup). Karenanya, banyak negara hatta itu negara maju sekali pun mulai membuat sejumlah kebijakan-kebijakan teknis yang menjurus pada isu pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat kita lihat pada wacana emisi karbon, yang ujung-ujungnya memang banyak, seperti soal penebangan hutan, soal efek rumah kaca, ozon, dan sebagainya. Belum lagi kalau kita membaca soal MDG’s (Millenium Development Goals) di dalamnya isu lingkungan pun di angkat. Karenanya, soal di atas tadi yang saya sebut, ujung temanya memang tidak jauh-jauh dari soal lingkungan hidup dan pemerintah kita, maaf-maaf saja kalau saya sebut seperti ini, terkesan latah mengikut wacana global tersebut hingga ke soal pengadaan “mobil hijau”. Alih-alih, agar dapat di sebut sebagai salah satu negara pelestari lingkungan hidup, pemerintah kita pun menggelontorkan program mobil murah nan ‘hijau’ ini. Cuma jangan lupa, di wilayah kita yang lain, dari pemberitaan yang saya baca, hutan-hutan tetap di rambah, di tebangi, bahkan di bakar hanya agar dapat menjadikannya sebagai perkebunan sawit atau menjadikannya sebuah wilayah pertambangan.
Berikutnya, mobnas atau mobil nasional.
Terus terang, bangsa kita ini adalah bangsa yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Jiwa heroisme dan patriotismenya begitu menjulang. Rasa-rasanya, siapa sih yang mau menerima kalau mendengar berita ada saja sedikit orang yang menginjak-injak simbol negara kita? Sesudahnya pasti banyak dari kita membalasnya. Reaktif, itulah sedikit banyak yang saya tangkap dari sebagian kelakuan anak bangsa kita.
Namun memang ada sisi positifnya. Jiwa nasionalisme, heroisme, patriotisme, adalah ruh negara, ruh bangsa. Apabila diarahkan ke segi positif tentu kemajuanlah yang akan dicapai. Saat wacana mobnas bergulir pada waktu itu pulalah saya menyaksikan dukungan sebagian anak bangsa mengalir. Selain harganya yang murah meriah — disebut demikian, dukungan komponennya pun disebut-sebut 100 persen milik negeri sendiri buatannya. Lalu, kita pun bangga. Membuncah rasa hati ini saat di sebut kita bisa membuat kendaraan sendiri.
Sayang, wacana mobnas adalah wacana “hangat-hangat tahi ayam” — sekali lagi maaf kalau saya menggambarkan demikian. Wacana yang saat itu sampai — konon — didukung pemerintah kini tenggelam dengan keberadaan mobil murah nan hijau. Jadi, sekarang, kemana rasa nasionalisme itu dengan adanya mobnas? Kemana semangat persatuan dan kesatuan yang biasa terlihat saat kita mendukung kesebelasan nasional kita atau tim-tim bulutangkis kita berlaga secara internasional itu? Tidak ada! Kita ini jadinya seibarat kerumunan yang tak punya arah berjalan masing-masing.
Namanya mobnas, singkatan dari “mobil nasional”. Berarti ini memang buatan anak negeri sendiri untuk didistribusikan atau dijadikan bagian dari masyarakat sendiri. Tentunya beda dengan mobil-mobil merek lain yang jelas-jelas mengusung nama internasional. Dalam hal ini, jalanan kita memang sudah dibanjiri oleh produk multinasional-global. Sedangkan produk kita sendiri dikepinggirkan hanya karena investor global berani membayar tanah-tanah kita untuk dijadikan pabrik-pabrik pembuatan produk mereka yang lalu darisana pemerintah kita pun menariki sejumlah pajak-pajak yang bagi korporasi global ini sanggup dan begitu mudahnya mereka bayarkan. Setali dengan itu, kebijakan pemerintah kita justru makin melonggarkan swastanisasi program-programnya agar dapat mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan keterlibatan unsur swasta itu. Ibarat sambil menyelam minum air begitulah karakter pemerintahan kita saat ini — dan tak lupa dengan korupsinya pula. Alhasil, memang tidak mandiri kesannya.
Kemacetan.
Ini yang menarik buat saya yang awam. Wacana macet kita menasional. Tidak hanya Jakarta saja yang jadi sorotan tetapi kota-kota kecil pun mulai diperhatikan. Sebutlah kota-kota di Jawa. Bandung, Jogja, mengalami kemacetan seperti Jakarta. Memang kasusnya berbeda, tetapi sekali lagi, ujung kesimpulannya sama: volume kendaraan pribadi bertambah banyak.
Ini sebenarnya pernyataan awam dan tampaknya masuk di akal rerata pikiran kita: volume kendaraan bertambah, bagaimana dengan volume jalan? Mobil dan motor makin berjejalan di jalanan, adakah penambahan luas maupun lebar jalanan?
Mobil, motor, kendaraan, atau apalah namanya itu butuh jalan. Lalu, adakah pemerintah c.q. badan pemerintah terkait benar-benar memperhatikan perkembangan bahkan pemeliharaan jalan-jalan tanah air?
Secara umum, mobil murah, mobnas, dan kemacetan memang akan tersebar di sejumlah wilayah tanah air. Namun fokus kepemilikan mobil atau kendaraan jelas akan lebih banyak di sejumlah kota-kota besar tanah air. Resiko mudahnya adalah kota-kota tersebut akan dibanjiri oleh kemacetan-kemacetan di titik tertentu.
Lantas, secara nasional, adakah pemerintah menghitung ini semua. Atau apakah pemerintah pusat lepas tangan dan mengembalikannya pada pemerintahan daerah masing-masing? Ya, kita lihat saja apakah benar pemerintah kita peduli dengan hal-hal semacam ini.
0 komentar:
Posting Komentar