Ironis. Tragis. Buruh dengan peluhnya menuntut upah Rp 3,7 juta. Jokowi menolak dan menetapkan Rp 2,4 juta. Buruh tak puas. Buruh mengambil posisi. Menerima tentunya. Tak ada ruang untuk menolak. Memang untuk hidup di Jakarta dengan UMP tahun ini sebesar Rp 2,2 juta dirasa kurang, apalagi jika dibandingkan dengan gaji Hakim Mahkamah Konstitusi yang Rp 200 juta itu. Maka DKI menetapkan upah Rp 2,4 juta untuk tahun 2014. Gaji segitu tentu kurang. Jika dihitung dengan kaca mata apapun akan selalu kurang. Bagaimana buruh harus melihat dan menyikapi tentang gaji dan upah? Berikut adalah renungan tentang makna gaji dan buruh.
Gaji berapapun tak akan pernah cukup. Di mana pun di dunia. Bukan hanya di Indonesia, di dunia mana pun akan selalu sama. Sejarah tentang gaji dan upah tak akan pernah cukup. Hanya pada masa awal Industrialisasi pada abad ke-18 dan ke-19 saja - ketika para pekerja atau buruh menikmati masa pergantian dari kehidupan ekonomi pertanian ke industri. Presentasi jumlah buruh industri dan buruh (petani) yang seimbang menyebabkan perimbangan daya pasok produk industri dan produk pertanian dengan daya beli masyarakat seimbang. Sehingga para buruh relatif menjadi kelompok yang lebih baik posisi ekonominya.
Sekarang, di Barat, Eropa Barat dan Amerika Utara dan juga negara-negara industri seperti Australia, Jepang, NZ, kehidupan buruh juga sama saja. Mereka hidup dengan ‘bayar-hutang-bayar’ setiap bulan dengan aneka tagihan yang rutin. Sebagai konsekuensinya mereka ‘hanya bisa hidup sebagai manusia bagian dari industri itu sendiri’. Manusia menjadi bagian dari industri. Manusia menjadi faktor produksi.
Fakta menunjukkan bahwa di Amerika terdapat 60% penduduk yang tak pernah keluar dari kota mereka. Artinya mereka tak memiliki ‘uang lebih’ untuk rekreasi. Beban hidup monoton dengan menjadi ‘pembayar pay check to pay check’ dari ‘tagihan ini itu yang rutin’ setiap bulan, telah menjadikan mereka menjadi kelompok ‘miskin’ dalam dunia modern: dunia industri liberal.
Kini, di sebagian besar negara dunia termasuk Indonesia, ketika ekonomi didominasi oleh industri dengan meremehkan pertanian, maka pada saat yang bersamaan semua orang berkutat pada kondisi ekonomi standard. Kelompok buruh di mana pun di dunia mana pun baik itu pengemudi, pekerja pabrik, penjaga toko, karyawan outlet makanan seperti fast food, buruh industry manufaktur, akan menjadi kelompok yang ‘hanya bisa makan’ dan menjadi bagian dari faktor produksi. Sebagai salah satu komponen faktor produksi, manusia dan upahnya dihitung sebagai ‘biaya pengeluaran’ perusahaan.
Sebagai komponen - bukan manusia - buruh hanya ditempatkan sebagai faktor produksi yang dihitung untuk menentukan harga barang atau out put perusahaan. Jadi, ketika buruh melakukan tuntutan maka pada saat yang bersamaan, buruh sebagai komponen faktor penentu harga barang dan jasa, dihitung sebagai nilai UMP/K - upah minimum provinsi atau kota/kabupaten. Sebagai faktor dan komponen harga barang, maka buruh harus menerima upah sesuai dengan perhitungan. Maka untuk DKI, buruh akan menerima Rp 2,4 juta tanpa memiliki posisi tawar.
Ingat, buruh adalah bagian dari ‘the natural modern slavery - perbudakan modern alamiah’ dengan ditetapkannya mereka sebagai bagian dari komponen harga barang dan jasa. Kemanusiaan para buruh telah dihitung sebagai bagian dari biaya produksi barang dan jasa: bukan sebagai manusia bebas. Menjadi buruh adalah pilihan menjadi bagian dari proses produksi barang dan jasa. Dengan demikian, praktis pengupahan didasarkan pada besaran out put dan harga barang dan jasa.
Semakin tinggi nilai barang atau jasanya nya, maka semakin tinggi nilai upahnya. Semakin ‘mass product and services’ semakin rendah upahnya. Contoh: jika Anda bekerja sebagai buruh engineering di perusaahaan pengeboran minyak, Anda akan berbeda nilanya jika Anda bekerja sebagai buruh pabrik pembuat boneka atau komponen mobil atau bahkan industri tekstil. Dengan demikian, mengingat posisi dan fungsi buruh di mata industri, upah Rp 2,4 juta menjadi hal yang wajar sesuai perhitungan, bukan sebagai manusia, namun sebagai komponen harga barang.
Benar. Memang benar. Uang sebesar itu tak bisa untuk membeli satu botol parfum - parfum import tentunya. Upah itu tak akan cukup untuk membeli jas ketua partai Presiden PKS si koruptor Luthfi Hasan Ishaaq yang harganya sampai ratusan juta rupiah. Gaji Ketua MK yang Rp 200 juta juga kurang, masih korupsi dan bahkan melakukan pencucian uang sebesar - yang terdata Rp 60-150 miliar. Dan, upah itu juga tak akan cukup untuk membeli motor, mobil, dengan cara membayar cicilan sekalipun. Lalu bagaimana buruh harus menyikapi soal upah ini?
Buruh selamanya dalam sejarah manusia adalah komponen harga barang. Perhitungan upahnya bukan perhitungan kebutuhan ‘ada kelebihan’ namun ‘kebutuhan minimum’ agar dapat hidup dan menghidupi perusahaan. Itulah nasihat untuk para buruh. Harus menerima.
Salam bahagia ala saya.
0 komentar:
Posting Komentar