Matahari bersinar cerah perlahan mengusir kabut pekat yang menyelimuti tana Toraja. Perlahan, langit mulai terlihat membiru pertanda segarnya udara di tana Toraja. Sebuah pertanda hari yang baik untuk jalan-jalan sembari menikmati pemandangan alam. Tentu saja, belajar memotret. Segala peralatan telah disiapkan. Saatnya meluncur ke sebuah obyek wisata unik di tana Toraja: rumah adat Toraja. Dari sekian banyak pilihan, kami memutuskan untuk mendatangi Ke’te’ Kesu.
Sesampai di lokasi, kami dibuat ternganga kagum. Ke’te’ Kesu merupakan kompleks rumah adat yang telah berumur. Atap-atapnya telah dipenuhi dengan lumut dan berbagai jenis tanaman. Tanaman bambu tampak menghiasi sekeliling kompleks. Terasa teduh dan nyaman. Sebagai tempat yang sering dikunjungi wisatawan, kompleks Ke’te’ Kesu tertata rapi.
Tongkonan demikian rumah adat Toraja biasa disebut. Tongkonan adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Awalnya, atap rumah tongkonan dilapisi ijuk hitan. Kini, masyarakat telah beralih ke atap seng. Bentuknya yang melengkung memberikan sebuah imaginasi akan sebuah perahu yang telungkup. Uniknya, tongkonan dengan ujungnya yang lancip selalu menghadap ke utara. Bukan tanpa maksud. Arah utara hendak menunjukkan sejarah leluhur orang Toraja yang berasal dari utara.
Menurut Pater Hendrik yang menghantar kami, tongkonan berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk . Tongkonan adalah tempat berkumpulnya bangsawan Toraja untuk berdiskusi. Rumah adat ini mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, dan membina kekerabatan.
Keberadaan tongkonan tidak bisa dipisahkan dari lumbung padi atau biasa disebut alang sura. Tiang penyangga lumbung padi dibuat dari batang pohon palem (bangah ) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di Ke’te’ Kesu ini, tongkonan dan alang sura tertata rapi. Tongkonan di bangun di sisi selatan, sedangkan lumbung padi di bangun di sisi utara. Rumput yang menghijau menghiasi sekeliling tongkonan dan alang sura. Sementara di tengah-tengahnya, halaman berpaving.
Berada di Ke’te’ Kesu ini, mata seolah tergerak untuk mengamati lebih dekat detail setiap bangunan. Dari setiap detailnya tersembunyi aneka macam bentuk kearifan lokal yang mengagumkan. Setiap tongkonan pasti memiliki tiang penyangga yang terletak di depan. Di tiang ini, kita akan melihat tanduk kerbau. Banyaknya tanduk kerbau yang ada di tiang ini menunjukkan derajat si pemilik tongkonan.
Ada hal yang menarik perhatian saya, yaitu ornamen. Di setiap alang sura, pasti ada ukiran ayam dan mahari. Simbol ini diyakini sebagai gambaran penyelesaian perkara. Dengan melihat fungsinya, simbol ini bukan hanya sekedar hiasan namun sungguh dihidupi oleh masyarakat Toraja. Bagian bawah alang sura adalah tempat di mana orang biasa berkumpul dan berbincang-bincang. Di tempat inilah berbagai persoalan hidup mendapatkan pemecahannya.
Uniknya, hanya ada 4 warna dalam setiap ornamen yang ada, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. “Masing-masing warna memilik makna yang berbeda-beda” demikian jelas Pater Hendrik. “Warna hitam melambangkan kematian dan kegelapan. Kuning adalah simbol anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Dan, putih adalah warna daging dan tulang yang artinya suci” lanjutnya. Warna-warna ini adalah salah satu peninggalan kepercayaan asli masyarakat Toraja, yaitu Aluk To Dolo.
Ke’te’ Kesu adalah sebuah bukti betapa kearifan lokal memiliki sumbangan besar dalam pembentukan karakter masyarakat. Melalui berbagai simbol, para leluhur ingin memberikan pengajarannya kepada anak cucu mereka. Tongkonan adalah daya ikat bagi masyarakat Toraja. Sejauh-jauhnya melangkah, suatu ketika akan kembali lagi ke tongkonan. Mungkin, orang tidak lagi saling mengenal, namun tongkonan akan mempertemukan dan memperkenalkan mereka satu sama lain. Tongkonan layaknya sebuah rahim bagi masyarakat Toraja.
0 komentar:
Posting Komentar