Jauh sebelum arisan ini berjalan hanya 4 dari 300 rumah yang memiliki jamban keluarga (jaga). Tidak heran bila desa ini tergolong kumuh. Penyakit diare mewabah. Bahkan, warga di desa berjarak kurang lebih 505 kilometer dari arah utara Makassar ini seringkali cekcok satu sama lain. Kenapa cekcok? Karena saling curiga jika ada kotoran manusia terbungkus kresek yang ‘nyangkut’ di pohon-pohon depan rumah mereka.
Tetapi itu cerita dulu. Sekarang Desa Marannu, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara sudah berubah dratis. Setidaknya itulah yang saya saksikan ketika terakhir berkunjung di Marannu pada 2011, dua tahun lalu. Semuanya berkah dari kegiatan arisan jamban. Kegiatan yang mulai digagas tahun 2008 silam. Kenapa mesti arisan untuk sebuah jamban? Itu karena warga Desa Marannu yang umumnya transmigran masih tergolong berpenghasilan rendah. Sementara pada saat yang sama pemerintah daerah belum memiliki anggaran yang cukup untuk memberi bantuan jamban ke setiap rumah/keluarga, untuk semua desa.
Inisiatif arisan jamban muncul seorang kader kesehatan di Puskesmas Lara, puskesmas yang juga membawahi Desa Marannu. Irwansyah, demikian nama kader kesehatan tersebut, memulai rencananya dengan menggelar pertemuan dengan perwakilan warga seperti kepala desa dan para kepala dusun. Keputusannya, kegiatan arisan tahap pertama mencakup 60 rumah. Dari 60 rumah tersebut dibagi ke dalam 10 kelompok, jadi masing-masing kelompok terdapat 6 rumah atau keluarga.
Setelah terbentuk kelompok lalu dihitung biaya pembuatan jamban paling sederhana. Kelengkapan jamban sederhana itu: kloset dan dua cincin gorong-gorong. Soal dinding jamban diserahkan pada kreativitas dan kemampuan masing-masing warga. Pada 2008, biaya jamban sederhana seperti dimaksud di atas berkisar Rp400.000. Biaya tersebut murni untuk beli bahan saja, semen dan pasir. Biaya pekerja pembangunan jamban, cetak kloset, dan pembuatan gorong-gorong tidak dihitung karena dilakukan secara swadaya.
Bagaimana arisan jamban berjalan? Hasil kalkulasi biaya jamban sederhana adalah Rp400.000. Terdapat 6 rumah/keluarga per kelompok dan masing-masing rumah/keluarga menyetor Rp50.000 per bulan kepada pengurus kelompok yang telah ditunjuk. Artinya, setiap 1-2 bulan terdapat satu rumah yang sudah memiliki fasilitas jamban. Bandingkan jika tanpa kegiatan arisan dengan menabung Rp50.000 setiap bulan setiap rumah baru bisa memiliki jamban paling cepat 8 bulan.
Cerita lainnya tentang arisan masih terkait dengan perbaikan derajat kesehatan. Arisan untuk mengatasi gizi buruk untuk anak-anak berumur di bawah lima tahun (balita) di Desa Mangilu, Kecamatan Bungoro, Pangkep –sekira 60 kilometer arah utara Makassar. Data dari Puskesmas Bungoro (2009) menyebutkan persentase anak-anak balita yang mengalami gizi buruk dalam wilayah Kecamatan Bungoro, termasuk Desa Mangilu, sebesar 2,04 persen. Masih tingginya balita penderita gizi buruk tersebut selain karena faktor rendahnya kunjungan ke pos pelayanan terpadu (posyandu), juga karena faktor kemiskinan.
Menjadi miskin di Mangilu khususnya dan di Bungoro umumnya memang seperti bertolak belakang dengan kekayaan tambang desa dan kecamatan ini. Setiap hari jalanan desa Mangilu disibukkan dengan truk-truk bertonase besar yang mengangkut hasil-hasil tambang. Tetapi kemiskinan ini pula yang menggugah nurani seorang kader kesehatan di Puskesmas Bungoro, Herlina, untuk memulai terobosan melalui arisan pemberian makanan tambahan (PMT) untuk anak balita.
Setelah menggelar pertemuan dengan orangtua yang memiliki anak balita, tokoh masyarakat (toma), bidan desa, dan kader posyandu maka dibentuklah kelompok Arisan PMT. Orangtua diminta menyetor Rp1.000 per bulan untuk keperluan pengadaan bahan makanan tambahan balita. Kelompok arisan dikoordinasi kader posyandu.
Sebagai kelompok arisan, Arisan PMT juga menggelar pertemuan bulanan. Topik yang dibahas seputar menu makanan tambahan. Menu yang tidak hanya memenuhi kandungan gizi tetapi juga terjangkau oleh orangtua, mudah diolah, dan mudah diperoleh. Satu hal yang membuat kelompok arisan ini fleksibel karena memungkinkan orangtua menyumbangkan hasil kebunnya jika tidak memiliki uang.
Arisan adalah Modal Sosial
Definisi arisan sebagaimana terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia yakni kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya. Undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya (http://kamusbahasaindonesia.org ).
Ensiklopedia gratis, Wikipedia, menyamakan kegiatan arisan dengan kegiatan Rotating Saving and Credit Association (ROSCA) yang didefinisikan sebagai “a group of individuals who agree to meet for a defined period in order to save and borrow together”. Menurut Wikipedia, model ROSCA yang di Indonesia dikenal dengan nama arisan juga dijumpai pada sejumlah negara seperti djanggis di Kamerun, likelembas di Kongo, ekub di Etopia, seettuva di Srilangka, tontines di Kamboja, committe di India dan Pakistan, serta di sejumlah negara lainnya dengan nama khas masing-masing.
Arisan dan apa pun namanya di belahan dunia lain, terutama di negara-negara berkembang, selama ini telah menjadi “jasa keuangan mikro” bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sekelompok orang bergabung, menyepakati jumlah uang setoran per bulan, dan memilih satu orang setiap bulan untuk mendapatkan total uang yang terkumpul. Kegiatan terus berlangsung hingga semua orang dalam kelompok tersebut mendapatkan uang dan manfaat yang sama. Uang yang diterima setiap anggota digunakan membeli barang dan kebutuhan lainnya yang biasanya sulit terbeli bila tidak berkelompok dalam arisan.
Keberadaan arisan dalam masyarakat telah menjadi modal sosial karena mengerakkan aspek sosial, sektor ekonomi, dan memungkinkan individu/masyarakat mencapai tujuan dan kebutuhan mereka. Jika menilik pengertian paling sederhana dari modal sosial sebagai kemampuan masyarakat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dengan membentuk kelompok dan organisasi berarti arisan adalah modal sosial
Dua contoh arisan pada Desa Marannu dan Desa Mangilu di atas dapat menjelaskan bagaimana kekuatan dan pentingnya modal sosial yang dimiliki warga desa. Bisa dibayangkan derajat kesehatan warga di dua desa ini akan masih sangat buruk bila mereka tidak berhimpun bersama dalam suatu kegiatan arisan. Didera kesulitan ekonomi warga desa akhirnya dapat mengoptimalkan potensi modal sosial yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama yaitu hidup lebih sehat.
Fakta sosial dan ekonomi di Marannu dan Mangilu sangat boleh jadi terdapat pada banyak desa di Indonesia. Demikian juga fakta lainnya bahwa warga desa-desa tersebut sudah mengenal kegiatan-kegiatan arisan. Nah, cara paling efektif untuk membebaskan setiap desa dari kondisi keterbatasan sosial, ekonomi, dan fasilitas adalah dengan mengoptimalkan arisan sebagai modal sosial.
Bukan tidak mungkin dari kegiatan arisan pembangkit listrik tenaga mikro-hidro (PLTMH) bisa tercipta di desa yang belum terlayani listrik dari negara. Arisan PLTM, misalnya, bisa dipraktikkan pada desa-desa di seluruh Indonesia yang memiliki potensi alam berupa air sungai berarus kuat dan memiliki potensi sosial berupa sikap gotong-royong. Kedua potensi ini dapat bersinergi melalui kegiatan arisan.
Jadi, arisan sebagai modal sosial penting dikreasi dan dikembangkan. Sebagai orang Indonesia semestinya harus bangga dengan modal sosial ini. Arisan menjadi model lain dari pembangunan partisipatif; masyarakat terlibat secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan di wilayah masing-masing. Ini tentu saja sangat berharga karena arisan dalam konteks pembangunan partisipatif membuat seluruh masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab memelihara fasilitas yang telah dibangun bersama. Sungguh, arisan adalah kebanggaan dan kekayaan bangsa ini!
0 komentar:
Posting Komentar