’’Anta majnun ya Muhammad (kamu gila Muhammad),’’ hardik kafir Quraisy terhadap nabi Muhammad SAW yang ingin mengubah masyarakat jahiliyah penuh kegelapan menjadi masyarakat yang disinari wahyu Ilahi.
Tapi Muhammad SAW tidak galau, meski dirinya dituding gila. Manusia pilihan itu tahu bahwa merekalah yang gila. Apalagi Allah SWT telah menegaskan dalam firmannya bahwa, ’’Maa anta bini’mati robbika bimajnun’’ (Berkat nikmat Tuhanmu engkau sekali-kali bukanlah orang gila). Itu sebabnya, Nabi Muhammad tak surut sama sekali dalam menyebarkan ajaran Islam, meski berbagai risiko menghadang.
Barangkali, inilah yang ingin diteladani Mahfud MD. Menjadikan Nabi Muhammad sebagai uswatun hasanah (contoh yang baik). Dia tetap istiqomah (konsisten) menyuarakan keadilan, kebenaran, dan antikorupsi. Dia bukanlah sekilat petir, yang muncul mengkilat untuk kemudian padam, kembali gelap.
Keberanian menyuarakan ganyang koruptor mungkin layak dimasukkan ke salah satu New Seven Wonder in the World. Sebab, tak mudah melintasi sirkuit hukum dan politik di Indonesia. Penuh tikungan tajam, tikungan maut, seperti melalui lintasan Oval Monza di sirkuit Monza, Italia, yang menurut Azrul Ananda, putra Menteri BUMN Dahlan Iskan, memiliki bagian banking (lintasan miring) yang kini sudah tidak dipakai karena terlalu cepat dan berbahaya.
Mahfud MD paling tidak bisa melihat model nenek mencuri piring, mencuri 3 Kakao dan lain-lain yang terpaksa mencuri untuk bertahan hidup tapi dihukum. Itu sebabnya, dia langsung bereaksi, kepalanya seperti disentuh tongkat sihir. Dia menentang habis-habisan praktik hukum normatif, tanpa memperhatikan hukum substantif.
Dia tidak pernah ambil pusing dengan orang-orang yang mengkritiknya jika perjuangannya menegakkan keadilan dan kebenaran itu dianggap majnun atau gila. Bagi dia, masalah kegilaan hanyalah sudut pandang. Kenormalan Mahfud MD akan dianggap tidak normal oleh ketidaknormalan yang lain.
Kalau pun Mahfud MD disebut majnun atau gila, maka kegilaannya itu dalam menegakkan kebenaran. Ya, kecintaannya kepada keadilan, dan penegakan hukum, melebihi cintanya Majnun kepada Layla, yang digambarkan dalam novel The Story of Layla and Majnun karya Nizami Ganjavi yang cintanya benar-benar seperti orang dimabuk kepayang. Tindakan, pikiran, perasaan dan bahkan di hatinya selalu ada namanya. Benar-benar ’’gila’’, seperti arti kata nama Majnun itu sendiri. Bukan gila seperti si Majnun yang dimabuk kepayang yang kehilangan rasionalitasnya, tapi sebagai Qays, si pecinta Layla, sebelum gila.
Ada banyak telunjuk menuding-nuding Mahfud MD mencari sensasi, ada banyak beragam celaan yang menyebut-nyebut dirinya hanya melakukan pencitraan, berambisi untuk 2014. Namun itu semua tak diambil hati. Tidak membuatnya mengatupkan bibir rapat-rapat dalam menyuarakan kebenaran. Tak menghentikan langkahnya menegakkan keadilan. Gemuruh hatinya dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan tak kuasa disembunyikan, dan untuk apa harus ditutupi? Apa adanya saja. Tudingan pencitraan tak mampu merajam tekatnya. Dia tak mau cacian itu melelehkan ambisinya menegakkan hukum, seperti api lilin yang melelehkan dirinya sendiri.
Mahfud yang teriak-teriak ganyang koruptor di negara sarang koruptor rasanya memang seperti orang gila saja. Ketika Mahfud ngomong, seolah-olah orang-orang mengatakan: orang gila ngomong. Dasar majnun! Sekali lagi persis seperti ketika nabi mengajak beriman kepada Allah ketika masyarakat jahiliyah waktu menyembah Latta, Uzza, Manat, dan Hubal. Mereka menyebut Muhammad orang gila, meski kemudian Tuhan mengatakan berkat nikmat Tuhanmu kamu bukanlah orang gila.
Mahfud MD seperti matahari yang menembus kabut tebal dan mencairkan gletzer mafia hukum di kutub para mafioso. Kehidupannya tak pernah berpaling dari mata air ilahi yang menjadi sumber kehidupannya.
Kata-kata yang terlontar dari bibir Mahfud terkadang terkesan cengengesan, guyonan, tidak serius. Tetapi di balik guyonan itu, lidahnya menyemburkan mutiara hikmah.
Mahfud tumbuh seperti bunga yang dirawat dengan seksama oleh kedua orangtuanya di taman masa kanak-kanak yang penuh nuansa religius dan kebijaksanaan.
Bagi Mahfud, keadilan dan kebenaran harus dicari ke mana pun. Kalaulah dia telah menjelma menjadi semut yang bersembunyi di dasar tanah, kalaulah dia telah berubah menjadi sepercik air yang kembali menyusup ke samudera, dia akan terus mengejarnya. Dia tidak akan pernah berhenti mengejarnya hingga meregang nyawa. Meregang dalam kondisi khusnul khotimah, akhir hayat yang baik. Bukan meregang dalam su’ul khotimah, akhir hayat yang buruk. Wa laa tamutunna illa wa antum muslimun. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri atau taat kepada Allah. Oalah Mahfud, dasar majnun! (*)
0 komentar:
Posting Komentar