Jika kita sebagai kepala rumah tangga, kemudian rumah kita diacak-acak tetangga tanpa alasan yang dapat diterima kita pantasnya marah. Kenapa? Yah karena itu rumah kita. Rumah itu adalah tempat kita mensucikan diri dan keluarga, tempat kita berjihad dengan semua anggota keluarga, dan tentu kita harus melindungi semua anggota keluarga dari ancaman bahaya.
Tidak hanya diacak-acak, ketika rumah kita dipandangi, dipelototi oleh orang asing, dan kita mengetahuinya, kita pun pantas mencurigainya. Jangan-jangan mereka berniat jahat dengan tempat tinggal kita, atau salah satu dari anggota keluarga kita.
Analogi tersebut, nampaknya pas untuk menggambarkan kondisi negara kita saat ini. Negara kita, Indonesia, terkesan menjadi bulan-bulanan intelijen luar negeri. Intelijen Amerika, Intelijen Australia, Intelijen Inggris jika benar-benar membully Indonesia, rakyat Indonesia layak marah.
Bagaimana tidak, negara kita diintip, ditelanjangi, dikuliti oleh intelijen asing demi kepentingan mereka. Sebagai akibat dari lolosnya itu, sudah dapat ditebak bahwa banyak rahasia negara yang lolos kepada mereka dan tentu akan dijadikan pertimbangan pada politik luar negeri mereka, terutama dengan Indonesia.
Kita sebagai rakyat dibuat geram oleh berita itu. Bisa-bisanya mereka berbuat menabrak etika hubungan diplomatik dengan menyadap kabar-kabar penting tentang kenegaraan dan informasi-informasi komunikasi para pejabat negara kita.
Namun kita sebagai rakyat tidak memiliki kekuatan apapun selain hanya menulis, mengkritisi, dan menata kegeraman itu sendiri. Kita juga hanya mampu tidak setuju dan membenci kebijakan liar negara-negara tersebut.
Kita juga hanya mampu menunggu respon pemerintah secara resmi, utamanya respon Presiden terkait dengan berita ini. Berita yang menghiasi beberapa media nasional itu minus respon presiden. Kita juga tidak mengerti apakah Presiden menunggu kejelasan berita itu atau memang memiliki pertimbangan lain, sehingga hingga detik ini belum terdengar pernyataan resminya.
Respon sang presiden, sungguh berbeda ketika berita itu menyasar kepada diri presiden atau partainya. Kekisruhan PPI dan Demokrat mendapat respon cepat dari Pak Beye. Pun kesaksian Luthfi Hasan Ishaq yang menyatakan kedekatan Bunda Putri dengan Pak Beye.
Pertanyaan kita selanjutnya, mengapa Pak Beye lebih mementingkan diri dan kelompok (partai)nya dalam merespon isu. Mengapa pula sinyalemen kebiadapan intelijen luar negeri yang menyadap informasi penting tidak dengan cepat terespon, paling tidak memberikan pernyataan, bahwa jika itu benar Presiden sangat tidak setuju dan harus dipertanggungjawabkan.
Terus terang, rakyat Indonesia sedang menunggu sensitifitas sang Presiden terkait dengan isu penyadapan oleh intelijen luar negeri. Marahkah, biasakah, entahlahkah?
Kemana Intelijen Indonesia?
Jika sinyalemen lolosnya pemasangan fasilitas penyadap luar negeri itu benar-benar terbukti, itu adalah indikasi lemahnya intelijen Indonesia. Bagamana tidak, para intelijen luar negeri bebas bergerak hingga setengah abad tanpa diketahui. Mereka bebas mengintip dapur pemerintah Indonesia, demi kepentingan politik mereka.
Padahal pengintaian itu harusnya menjadi tugas intelijen Indonesia. Negara ini milik kita bersama dan intelijen Indonesia memiliki kewenangan pengawasan itu. Intelijen kita harusnya mampu mendeteksi, mengintai, atau penyadapan balik dengan fasilitas yang mereka miliki.
Kita mungkin menjadi mafhum, jika melihat hal itu sebagai kegagalan kerja intelijen kita, jika hal itu terbukti. Jika intelijen luar itu benar-benar memancing informasi penting yang terjadi di negara Indonesia.
Oleh karena itu, penguatan intelijen Indonesia dirasa sangat penting dalam kondisi seperti ini. Intelijen ada untuk membantu pemerintah mendeteksi gejala yang dapat membahayakan keberadaan dan kedaulatan negara Indonesia.
Semoga para intelijen kita tidak hanya mahir mendeteksi orang yang diduga teroris, seperti yang sementara ini terjadi, namun lebih lihai pula mengendus bahaya yang datang dari luar negeri.
BIN, kami tunggu kiprahmu. Kerja tanpa kata lebih baik, daripada kerja berlumur kata.
0 komentar:
Posting Komentar