blazer korea murah

Media Pro vs Media Anti SBY. Kompas di Pihak Mana?



“Presiden Lambat…” tulis sebuah media.

“Presiden Pertimbangkan…” tulis media yang lain, untuk berita yang sama.

“Presiden Ragu…” ucap penyiar sebuah stasiun televisi.


Untuk berita yang sama, sudut pandang sebuah media bisa berbeda. Zaman Orde Baru lalu, tidak ada media yang berani memilih sudut pandang yang bertolak belakang. Jika Soeharto mengatakan A atau bertindak B, maka semua media harus memberitakan hal tersebut sama. Tidak ada sudut pandang lain. Zaman memang berubah. Saat ini, semua media bisa memberitakan apapun, dengan sudut pandang sesuka hatinya… atau sesuka hati wartawannya… atau sesuka hati pemiliknya.


Justru sekaranglah masa-masa yang sangat menarik jika kita mau melihat perkembangan media massa, baik televisi, radio, internet maupun media cetak. Tidak ada sensor, tidak ada breidel, dan nyaris tidak ada intervensi atau tekanan dari penguasa. Sejak Era Reformasi, media begitu hiruk pikuk dan berpesta dengan kebebasan. Namun sayang, sebagian media memanfaatkannya secara berlebihan sehingga timbul pendapat bahwa media sekarang bukan bebas, tapi bablas.


Media massa adalah pilar demokrasi keempat, setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Demikianlah keyakinan para pengusung sistem demokrasi. Media massa berperan sangat vital sebagai media kontrol, media edukasi, media sosialisasi dan media hiburan, untuk masyarakat. Media berfungsi mengontrol eksekutif termasuk presiden, mengawasi legislatif yaitu DPR pusat dan daerah, serta memelototi tindak tanduk lembaga yudikatif mulai dari pengadilan negeri, mahkamah agung sampai mahkamah konstitusi.


Yang paling menarik adalah bagaimana interaksi media massa dengan eksekutif, khususnya dengan presiden. Kita bisa memetakan media massa kepada beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah media yang anti dengan pemerintahan. Media massa kelompok ini, sebagian besar dimotori oleh media yang dimiliki pengusaha yang juga politisi. Bolehlah kita sebut Metro TV, Media Indonesia dan jaringannya milik Surya Paloh, yang juga memiliki partai politik baru, Nasdem. Kemudian MNC Grup lewat RCTI, MNC TV, Global TV, Seputar Indonesia, Okenews.com dan jaringan media cetak lainnya, serta sejumlah stasiun radio, milik konglomerat Harry Tanoe penyokong utama partai Hanura. Lalu grup media milik Aburizal Bakrie, yaitu TVOne dan Anteve serta sejumlah media onlinenya seperti Vivanews.com.


Media-media tersebut khususnya stasiun televisi adalah media utama, atau penguasa ranah penyiaran Indonesia. Dua stasiun televisi berita yaitu Metro TV dan TVOne begitu dominan dalam hal pemberitaan, mengalahkan media media lainnya, karena mereka memang televisi berita. Sedangkan media cetaknya yaitu Media Indonesia dan Seputar Indonesia, masih berada di bawah bayang-bayang sejumlah media cetak lainnya.


Nah, kelompok kedua adalah kelompok pro atau mendukung pemerintah. Siapa saja mereka? Memang tidak sebanyak dan sekuat kelompok yang anti pemerintah. Kita bisa sebut yang benar-benar pro pemerintah hanyalah harian Jurnal Nasional, yang memiliki sedikit jaringan di kota-kota kecil selain Jakarta. Bagaimana dengan televisi? Mungkin hanya grup Trans TV yang secara halus “mendukung” pemerintah. Artinya, mereka tidak pernah menyerang pemerintah. Bos mereka, Chairul Tanjung dikenal lumayan dekat dengan pemerintah.


Oh ya masih ada jaringan kuat yang juga mendukung pemerintah, karena pemiliknya berada di dalam lingkaran pemerintah, yaitu Jawa Pos Grup. Sang pemilik, Dahlan Iskan adalah menteri kementerian BUMN. Namun, pemberitaan mereka selama ini lebih cenderung mendukung Dahlan Iskan saja. Kecuali setelah Dahlan masuk ke dalam kompetisi menjadi presiden, yaitu Konvensi Partai Demokrat, grup ini mulai lebih banyak memberitakan kiprah positif Dahlan dan pemerintah. Grup Jawa Pos adalah grup media cetak terbesar kedua setelah Kompas. Jaringan media lokal Radar, menyebar di seantero negeri. Plus jaringan televisi lokal yang juga ada di mana-mana. Tapi ya itu tadi, grup Jawa Pos berdiri sangat hati-hati dalam mendukung pemerintah.


Bagaimana dengan media yang kita cintai, Kompas? Tempat kita mencurahkan segala isi hati lewat Kompasiana… Media ini sangat cerdas, hehehe. Jauh lebih cerdas dibanding media-media lainnya. Saya memuji bukan karena sekarang menulis di Kompasiana lho. Tapi faktanya memang demikian. Kompas itu kalau mengkritik pemerintah, pasti dilakukan dengan cara sangat halus. Dia akan sandingkan kritikan itu dengan pujian. Misal, di headlinenya mengkritik, maka di bagian lain pada hari yang sama, ada sejumlah berita tentang pujian terhadap pemerintah. Relatif berimbanglah. Itulah kenapa, Kompas selalu menjadi mitra pemerintah, siapapun pemerintahannya. Kebijakan dasarnya memang demikian. Kecerdasan lain Kompas adalah dengan membangun Kompasiana, hehe. Di sini, siapa saja boleh ikut dan boleh mengatakan apa saja. Kalau ada penulis Kompasiana yang anti pemerintah, Kompas tidak ikut bertanggung jawab, karena penulisnya bukan berasal dari mereka. Demikian pula sebaliknya. Cerdas bukan?!


Jangan lupakan pula kelompok-kelompok media lain yang lumayan bunyi, seperti grup Tempo. Mereka punya majalah Tempo dan koran Tempo, serta kerabat-kerabatnya seperti jaringan radio 68H, yang bersiaran lewat lebih dari 400 radio di seluruh Indonesia. Bagaimana sikap politik mereka? Sejak dulu, grup Tempo tidak pernah memposisikan diri sebagai pendukung atau anti pemerintah. Mereka tegas mengatakan, mendukung siapapun yang benar, dan membela kaum minoritas yang mendapatkan perlakukan tidak adil. Jadi, ketika pemerintah sekarang buat salah… pasti dihajar habis. Kalau parpol salah, dihajar habis. Tidak peduli parpol itu pendukung atau anti pemerintah.


Nah, buat kita sebagai penikmat atau konsumen media massa, lebih bijaklah dalam menyerap informasi dari media-media tersebut. Lihatlah siapa yang ada di balik mereka, pelajari sudut pandang mereka, telaah kecenderungan berpolitik mereka… kalau tidak, ya kita hanya akan menjadi objek pasif yang dengan mudah dijejalkan materi sesuai tujuan mereka masing-masing. Menjelang pemilu 2014, kecenderungan itu makin kentara. Teori-teori jurnalistik hanya tinggal teori, karena pada praktiknya lebih banyak berisi kepentingan politik para pemilik medianya.


Cerdaslah dalam menjadi konsumen media massa!



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/10/31/media-pro-vs-media-anti-sby-kompas-di-pihak-mana-606458.html

Media Pro vs Media Anti SBY. Kompas di Pihak Mana? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar