Sebagian besar di antara kita mendapat doktrin tentang kekayaan alam Indonesia sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika ditanya, apa yang kamu ketahui tentang Indonesia maka dengan cepat kita menjawab: Tanahnya subur, barang tambang penghasil energi yang melimpah, letak yang strategis, memiliki musim yang ideal, dan masih banyak lagi.
Berjalannya waktu, doktrin tersebut tampak memudar seiring meningkatnya egosentrisme sekelompok orang dan tingkat pemikiran masyarakat yang mulai kritis. Satu sisi ada sekelompok orang yang melakukan eksplorasi alam yang berlebihan sedangkan di sisi yang lain ada sekelompok orang melakukan pertentangan. Keduanya membuat kita semua melihat realitas kalau kekayaan alam kita sudah terancam!
Hal tersebut ditandai dengan menipisnya cadangan sumber energi dari fosil seperti minyak bumi dan batu bara, lingkungan alam seperti hutan yang rusak, tingkat polusi tinggi, dan hancurnya habitat bagi banyak satwa atau tumbuhan endemik di wilayah Indonesia.
Fakta di atas, oleh beberapa pihak “dimaklumi” karena menjadi salah satu konsekuensi logis dari jumlah penduduk Indonesia yang banyak dengan pertumbuhan cukup tinggi. Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal, pada 2013 ini diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan bertambah menjadi 250 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun.
Namun data tersebut tidak bisa menjadi pemakluman. Karena kelompok terbesar dari total penduduk Indonesia datang dari usia produktif (usia sekolah dan balita 28,87 persen, angkatan kerja 63,54 persen, dan lansia 7,59 persen). Artinya, dengan banyaknya usia produktif harusnya kita mampu memecahkan masalah pemenuhan energi yang tingkat kebutuhannya terus meningkat.
Masih ragu kita bisa memecahkannya? Lihatlah laporan yang dilansir Indeks Dinamika Global Grant Thornton 2013 yang menempatkan Indonesia sebagai negara ke-4 dunia dengan modal tenaga kerja dan sumber daya manusia terbaik, serta menjadi terbaik kesepuluh dalam pertumbuhan ekonomi. Hebatnya lagi, sampel diambil dari 60 negara yang dinilai memiliki perekonomian yang kuat.
Berkah SDM Indonesia yang mumpuni ini menjadi semakin lengkap karena Tanah Air kita memiliki sumber energi baru yang sangat melimpah. Barang tambang seperti minyak bumi dan batu bara boleh habis, tetapi sebagai negara tropis kita tidak kehabisan sumber energi dari sinar matahari.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI menunjukkan bahwa potensi energi matahari di Indonesia mencapai 4.8 KWh/m2. Sayangnya, energi yang setara dengan 112.000 GWp itu baru 10 MWp yang dimanfaatkan.
Sinar matahari yang dimanfaatkan untuk energi listrik bukanlah hal asing di Indonesia. Ada yang telah memanfaatkannya untuk lampu penerang jalan, kebutuhan listrik di rumah tangga, bahkan ada yang menciptakan mobil listrik dengan tenaga matahari. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan rencana jangka panjang pemanfaatan energi matahari sampai dengan 2025.
Sampai di sini saya melihat, bahwa energi baru yang tidak akan habis di Indonesia bukanlah sesuatu yang jauh untuk kita miliki. Sumber energi berupa sinar matahari selalu ada di Indonesia. SDM yang andal untuk mengelola sinar matahari sebagai sumber energi baru jumlahnya melimpah. Kebijakan terkait sumber energi matahari juga sudah kita miliki. Sekarang yang harus digenjot adalah soal implementasinya!
Implementasi
Berbicara soal pemanfaatan energi baru, menurut saya berkorelasi saat kita berbicara tentang relasi Tuhan dengan manusia. Tuhan telah memberikan anugerah yang sangat melimpah sebagai sumber energi bagi penduduk Indonesia. Salah satunya adalah energi matahari. Anugerah itu akan sia-sia jika tidak diterima dengan penuh syukur oleh kita. Salah satu bentuk ungkapan syukur adalah dengan memanfaatkannya untuk kemaslahatan orang banyak.
Tuhan membutuhkan kita semua untuk mewujudkan apa yang Ia kehendaki untuk kita lakukan terhadap anugerah energi matahari. Kita tidak dibiarkannya sendiri, tetapi sudah diberi akal budi untuk bisa memanfaatkan apa yang Ia beri. Buktinya, ada banyak SDM potensial yang kita miliki bahkan mampu membuat perencanaan jangka panjang dalam pemanfaatan energi matahari. Namun itu tidak cukup, karena yang Ia inginkan adalah semua penduduk Indonesia mendapat pasokan listrik secara merata dengan memanfaatkan energi matahari yang bisa dikatakan tidak terbatas.
Implementasi energi listrik berbasis sinar matahari tidaklah rumit seperti yang kita bayangkan. Kita bisa memakai panel solar, yang adalah alat yang mampu mengonversi energi matahari menjadi energi listrik yang ramah lingkungan.
Di Indonesia, panel solar banyak diimplementasikan pada lampu penerang jalan. Sistem kerja panel surya terbilang tidak terlalu rumit. Letakkan posisi panel solar pada daerah yang terkena sinar matahari. Kemudian, energi matahari yang tertangkap masuk ke aki, yang lalu disambungkan ke peralatan listrik, misalnya lampu. Kalau alat listriknya butuh daya tinggi maka ditambahkan alat yang dinamakan power inverter.
Menurut pendapat saya, implementasi energi matahari di Indonesia bisa menggunakan 2 skenario. Pertama, mengimplementasikan panel solar di pedesaan yang tidak ada listrik. Kedua, mengimplementasikan panel solar di perkotaan. Panel solar di pedesaan menjadi solusi listrik dengan biaya murah karena masyarakat tidak dibebani biaya bulanan, dan pelaksana proyek tidak dibebani oleh biaya jaringan (kabel, tiang listrik, dll) yang tidak murah. Sedangkan panel solar di perkotaan menjadi solusi penghematan energi listrik, yang kita tahu kebutuhan listrik di kota sangat besar. Gabungan kedua skenario tersebut menghasilkan input penghematan energi listrik sekaligus melakukan pemerataan energi listrik ke semua daerah di seluruh Indonesia.
Implementasi energi listrik di desa, Pemerintah bisa melakukan kerja sama dengan Pertamina dan PLN untuk semakin mengembangkan proyek penyediaan listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia secara merata. Karena yang saya tahu, Kementerian ESDM dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal telah melakukan hal ini.
Kemudian untuk skenario kedua, Pemerintah mewajibkan gedung-gedung yang dibangun melalui APBN seperti kantor kementerian dan gedung pencakar langit milik swasta/ BUMN harus memenuhi kebutuhan listriknya secara mandiri dengan memanfaatkan energi matahari. Ini penting karena sektor ini “menghabiskan” banyak pasokan energi listrik.
Sejauh ini, kita boleh berbangga karena gedung Kementerian Pekerjaan Umum merupakan pioner green building di Indonesia. Bahkan, Delegasi Menteri Perekonomian Swiss kaget karena Indonesia telah memulai pengembangan green building. Hal itu terjadi saat mereka mengunjungi gedung tersebut. Namun, menurut saya, predikat green building terasa lebih sempurna jika gedung tersebut mampu memenuhi sendiri kebutuhan listriknya.
Bagaimana di sektor swasta atau BUMN? Saya melihat, Pertamina sebagai perusahaan BUMN yang sangat disegani di Indonesia dan dunia memiliki kesempatan untuk menjadi pelopor dalam pembangunan gedung yang ramah lingkungan. Yakni gedung yang tidak hanya memiliki ruang terbuka hijau yang luas, ditanami banyak tumbuhan, mampu mengolah air limbah untuk dimanfaatkan kembali, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan listriknya sendiri.
Apalagi, belum lama ini Pertamina telah menyosialisasikan kepada publik bahwa mereka akan membangun gedung pencakar langit. Menurut Direktur Utama Pertamina Karena Agustiawan, gedung yang diberi nama Pertamina Energy Tower itu memiliki 99 lantai dengan ketinggian mencapai 400 meter. Penggunaannya sebagai kantor Pertamina dan anak-anak perusahaan Pertamina lainnya.
Banyak pihak mengklaim bahwa gedung yang memiliki alternatif nama The Twins Flame ini akan menjadi ikon baru Jakarta bahkan Indonesia. Bahkan Karena mengungkapkan bahwa Pertamina Energy Tower menjadi simbol gedung energi di Indonesia. Menurut pendapat saya, berbagai ungkapan di atas akan mendapatkan kepenuhan artinya jika gedung yang akhir tahun ini akan mulai dibangun, mampu menyediakan energi listriknya secara mandiri. Yakni memanfaatkan energi matahari!
Dengan demikian, Indonesia tidak hanya memiliki ikon baru dalam dunia energi secara fisik (gedung) atau sebatas wacana, tetapi menjadi ikon dunia sebagai negara yang mampu memanfaatkan energi baru untuk seluruh masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial.
Sebagai penutup, seandainya ini semua terjadi maka genaplah kita mewujudkan falsafah hidup Tri Hita Karana, yang artinya tiga faktor yang mewujudkan kebahagiaan. Sumber kebahagiaan yang dimaksud adalah keharmonisan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya.
0 komentar:
Posting Komentar