BELAJAR DARI BENCANA
Oleh Tabrani Yunis
Pada hari Selasa, 2 Juli 2013, tepat pukul 16:37 WIB, gempa bumi kembali mengguncang Aceh. Gempa yang berkekuatan 6.2 skala Richter, berpusat di bawah tanah sekitar 55 kilometer Selatan kota Bireun itu dengan kedalaman 10 kilometer, telah membuat masyarakat Aceh kembali berduka. Betapa tidak, bencana itu, telah merenggut nyawa manusia. Terdata 42 orang dan melukai ratusan orang serta lebih dari 1500 rumah/ bangunan rusak di kabupetan, Bener Meriah dan Aceh Tengah. Bencana yang sangat memilukan bagi Aceh yang belum lupa akan tragedy terdahsyat pada 26 Desember 2004 yang lalu. Kini Aceh kembali berduka.
Ini bukanlah gempa dan bencana pertama, tetapi merupakan rentetan bencana yang kerap melanda Aceh selama ini. Sebelum peristiwa gempa 2 Juli 2013, Aceh juga pernah dilanda gempa besar pada tanggal 11 April 2012. Menurut para ahli dan ilmuwan gempa, penyebab gempa di Aceh ada karena vulkanik maupun tektonik. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono menjelaskan penyebab terjadinya gempa Aceh berkekuatan 6,2 SR pada Selasa (2/7) akibat pergeseran sesar Sumatra. Pulau Sumatra dari Aceh hingga Lampung masuk ke dalam sesar besar Sumatra. Tipologi sesar Sumatra adalah daerah patahan atau hancuran sehingga mudah menyerap air. Ini adalah peristiwa alam. Kitapun tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Namun ketika Aceh dilanda bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, angin kencang (puting beliung, kebakaran hutan, bahkan kekeringan dan lain-lain) karena ulah tangan manusia, seharusnya ada banyak pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Semua kita tahu bahwa bumi harus dijaga, dirawat dan dilindungi dari kehancuran. Hutan-hutan yang lebat tidak boleh digundulkan dan dikuras. Juga tidak boleh secara serampangan ditebang, karena akan menyebabkan kesengsaraan manusia dan makhluk lain sebagai bagian dari ekosistem. Namun, kenyataannya, hutan kita sudah semakin gundul. Kita merusak sumber kehidupan itu dengan sesuka hati kita untuk mengejar keuntungan sesaat. Akibatnya, setiap saat kita menuai bencana. Sayangnya lagi, ketika bencana alam akibat pengrusakan hutan ( penebangan, perkebunan, penambangan dan pembakaran hutan) terjadi, kita hanya bisa meneyelesaikannnya dengan cara mengantar bantuan pelipur lara, seperti mengantarkan logistic berupa makanan, nasi bungkus, pakaian dan tenda untuk berteduh. Sementara penyebabnya tidak pernah diselesaikan. Hutan tetap terus ditebang dan sebagainya. Kita sebagai manusia yang berakal dan memiliki ilmu pengetahuan semakin tidak rasional dalam memelihara, menjaga dan merawat bumi untuk masa depan kita dan anak cucu kita. Celakanya, sudah sekian banyaknya terjadi bencana yang memilukan dan bencana-bencana itu selalu memberikan pelajaran penting, namun pelajaran-pelajaran dari segala bentuk bencana itu cendrung kita abaikan. Pada hal kini, kita terus dihadapkan pada realitas kehancuran ekologis yang membawa dampak pada meningkatnya suhu bumi yang kita sebut dengan pemanasan global ( global warming) yang berdampak besar pada perubahan iklim. Sangat menggelisahkan kita. Karena kini, musim sudah tidak menentu, akibatnya manusia sudah sulit menentukan masa tanam untuk menyediakan pangan bagi kehidupan manusia. Climate change kini menjadi hantu yang menakutkan. Namun, mengapa kita tidak pernah mau belajar dari semua peristiwa alam ini? Belumkah cukup bencana-bencana itu sebagai pelajaran? Akankah kita ingin terus ditegur oleh Allah dengan ucapan “ Afala tak kilun?” Ya, Tidakkah kamu berfikir?
0 komentar:
Posting Komentar