Saya tertegun cukup lama setelah membaca berita Koran Tempo versi online edisi Kamis (31/10). Judulnya ‘’Golkar Minta Saham Inalum Dijual ke Daerah’’. Yang membuat pernyataan itu adalah Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Harry Azhar Azis.
Menurut berita tersebut, Partai Golkar mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mengambil alih seluruh saham milik perusahaan Jepang di PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Pengambilan seluruh saham milik perusahaan Jepang oleh Pemda Sumut akan lebih bagi daerah di masa depan.
Salahkah pendapat Azhar Azis? Tentu tidak salah. Bahkan bisa dikatakan sangat benar. Tapi, logiskah pendapat itu? Menurut saya pribadi, statement Azhar Azis tidak logis. Mengapa?
Pertama, Inalum adalah proyek industri hulu hasil kerjasama G to G antara pemerintah Indonesia dan Jepang. Pemerintah Indonesia dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Bukan Pemprov Sumut.
Karena kerjasamanya waktu itu dengan pemerintah pusat, biarlah pemerintah pusat pula yang mengakhiri kontrak kerjasama. Nanti kalau sudah beralih ke tangan pemerintah pusat, barulah dibahas bagaimana mekanisme penjualan saham Inalum ke Pemprov Sumut.
Bukankah pemerintah pusat dan pemerintah provinsi adalah sama-sama pemerintah? Mengapa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus saling berebut saham Inalum? Bukankah masalah itu bisa dibicarakan baik-baik secara internal saja?
Kedua, Inalum adalah proyek industri hulu yang dibangun dengan investasi sangat besar. Dengan pasarnya yang unik, nilai kapitalisasi saham perusahaan Jepang dalam Inalum pasti sangat raksasa. Apakah Pemprov Sumut punya cukup uang untuk membeli saham Inalum? Dengan alokasi APBN untuk Provinsi Sumut yang sangat terbatas itu, tidak mungkin Pemprov Sumut bisa membeli saham Inalum.
Bagaimana dengan pendapat asli daerah (PAD) Provinsi Sumut? Tidak mungkin juga. Sumut bukanlah provinsi penghasil PAD besar. Sebab, sumber PAD di kawasan itu masih terbatas jenisnya serta masih kecil volumenya.
Bagaimana kalau Pemprov Sumut bisa mendapat pinjaman lunak? Nah, kalau ini sangat mungkin. Sejak era reformasi, Pemprov boleh mencari pinjaman sendiri baik melalui instrument pasar uang maupun dengan menarik investor. Contoh yang sudah melakukan adalah Pemprov DKI Jakarta yang utang ke Pemerintah China untuk membangun moda transportasi massal.
Namun, yang mungkin tadi akhirnya juga menjadi tidak mungkin. Meski yang akan memberi pinjaman bejibun, proses legalnya tidaklah cepat. Sementara itu, deadline serah terima pada tanggal 25 Oktober 2013 sudah lewat. Tanggal 1 November 2013, Inalum sudah harus mulai dikelola pemerintah Indonesia melalui Kementerian BUMN.
Minggu ini, beberapa komisi DPR yang terkait dengan industri, perekonomian dan BUMN telah selesai bersidang. Keputusan mereka sudah bulat. Inalum harus dikelola pemerintah Indonesia. Kerjasama dengan perusahaan Jepang tidak bisa diperpanjang lagi.
Tinggal satu komisi saja yang masih belum selesai membuat keputusan agar Inamun dikuasai Pemerintah RI. Azhar Azis adalah anggota Fraksi Partai Golkar yang ada di komisi DPR-RI yang tak kunjung mengambil keputusan atas Inalum itu. Keterlambatan itulah yang membuat jadwal yang sudah disepakati antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Jepang molor.
Kalau akhirnya pernyataan itu tidak masuk akal, mengapa Azhar Azis melontarkan juga? Padahal, Azhar Azis bukanlah politisi bodoh. Latar belakang pendidikan dan pengalamannya bisa menjelaskan siapa sebenarnya Azhar Azis itu.
Berita Inalum memang menjadi sangat seksi dalam seminggu terakhir. Proses hukum dan politik yang menyertai rencana pengelolaan Inalum oleh perusahaan Jepang kepada pemerintah Indonesia begitu menarik perhatian.
Itulah hebatnya politisi. Dalam setiap isu yang seksi, mereka selalu berusaha membonceng dengan pernyataan populis yang enak didengar telinga rakyat. Bagaimana kalau pernyataan itu tidak mungkin dilaksanakan? Itu soal lain. Toh tujuan membuat pernyataan mungkin hanya agar masuk media untuk menambah popularitas menjelang pemilihan umum.
Menurut hemat saya, Azhar Azis harus belajar membuat pernyataan yang logis. Sebab, dampak sebuah pernyataan bisa sangat luas. Pernyataan seorang politisi bisa menyulut konflik di kalangan masyarakat Sumut. Setidak-tidaknya di kalangan elit politiknya.
Tentu kita tidak ingin peristiwa divestasi saham Newmont Nusa Tenggara terulang lagi. Pemda begitu ngototnya untuk mengambil seluruh saham yang didivestasikan Newmont Nusa Tenggara. Ujung-ujungnya, Pemda hanya menjadi tunggangan perusahaan milik konglomerat yang ingin menguasai saham hasil divestasi itu.
Belajarlah pada pepatah Jawa, “Seperti cicak menelan setrika.” Sebuah cita-cita, sebesar apa pun, haruslah dikerjakan setahap demi setahap dengan cara-cara yang logis. Silakan adu cepat, tetapi harus tetap dengan akal sehat. Dalam kasus Inalum, sikap dan langkah taktis Menteri BUMN Dahlan Iskan pantas diberi hormat.
Joko Intarto @IntartoJoko
Penulis dan Praktisi Komunikasi
0 komentar:
Posting Komentar