blazer korea murah

Mencari Sri Panggung NKRI



Orang bilang, republik ini adalah republik para ballerina. Riuh rendah. Hiruk pikuk. Negeri para strega, rumah bagi para penyihir, hotel bagi para pemulung politik, apartemen mewah bagi para koruptor dan mafia hukum, barak pengungsian bagi para korban bencana ekonomi sistemik.


Anda boleh membual sepuas-puasanya di negeri ini. Anda boleh create apa saja di negeri nan gaduh ini. Mau apa? Bikin Perpu baru? Bikin Kepres? Bikin fatwa seminggu sekali? Bikin survey saban hari? Bikin LSM komisi pemantau ini dan itu? Bikin Dewan Kompor Gas, Dewan Beras, Dewan Kedelai, Tahu dan Tempe? Kalian boleh jual beli apa saja di republik ini, kalau perlu harga diri, hukum, demokrasi dan hak azasi. Siapa mau peduli?


Partai politik cenderung lebih banyak hanya melahirkan para pemulung demokrasi serta para hipokrit dan avonturir baru, hanya melahirkan sosok-sosok penyihir muda yang beregenerasi dalam berkorupsi. Sungguh, reformasi cenderung hanya melahirkan segolongan kaum kunyuk reformasi beserta berbagai irasionalitas-irasionalitas politik yang membuntutinya.


Lihat! Ada yang datang menjual filosofi dan idiologi, merasa mewakili masa depan yang gemerlapan. Ada yang petentang-petenteng laksana centeng bagi kaumnya sendiri, berkhotbah sana-sini sambil mencuri uang rakyat. Lihat pula, di sana ada yang menari-nari sambil menjual reform façade, berderap dan berha-ha-hi-hi laksana duta bagi zaman dan peradaban baru. Laksana hakim-hakim agung yang tengah menggotong vonis keadilan dan kemakmuran yang mereka janjikan. Yang muda colong sana colong sini, yang tua tak tahu diri.


Lihat! Ada yang datang dan merintih-rintih, mewakili keterpurukan absolut dari sudut-sudut pinggir negeri, sambil memanggul gunung-gunung irasionalitas politik yang pekat dan merejam-rejam. Semuanya meleleh dalam rutinitas, saling gilas dalam mesin waktu mekanis.


Orang bilang, Megawati harus menari-nari di atas punggung seekor sapi, mengiris panggung, kemudian melompat ke udara, mendarat bak seorang ballerina hinggap di lantai coklat kayu mahoni. Wajah berseri-seri.


Blaaarrr!

Megawati terbanting, disaat-saat genting dari atap genting ambisinya sendiri. Ambisi yang selalu diasumsikan sebagai personifikasi kaum oposisi. Ambisi yang belakangan sering hanya menari-nari di halamannya sendiri, kehilangan jatidiri.


Ini suluk ki dalang Jarang Lejong …..

Mba Mega, sadarilah, ini bukan sekadar persoalan Tari Srimpi dan atau tarian Potong Padi. Ini bukan sekadar persoalan wong cilik atau wong diculik! Ini murni persoalan hati nurani, mata hati kata hati. Sama sekali bukan persoalan warna sapi!


Oang bilang, mari kita biarkan Akbar Tandjung bersenandung tentang elegi demokrasi. Biarkan dia menerobos panggung, berjumpalitan coba bangkit kembali. Kakinya menyilang, lengan membentuk busur terbuka. Laksana seorang bidadari, gerakan pirouette dia coba. Berpusing sambil berjingkat di atas ibu jari kaki, bagai presisi.


Buuum!

Akbar terpeleset, jatuh nggentang di lantai. Manuver-manuver pirouettenya tak seindah dan selentur dulu lagi. Sementara oligarki dan oligopoli telah pindah ke lain dinasti.


Suluk ki dalang Jaran Lejong …..

Bang Akbar, gerakan itu bukan milik kau lagi. Sudahlah Bang, tak usah kau meratapinya. Lantai ini bukan terbuat dari kayu Beringin lagi.


Orang bilang, Amien Rais harus mengitari panggung, biarkan dia mencoba memintas, melompat-lompat lebih dari satu putaran jarum jam. Gerakan-gerakan cabriolet dadakan harus dia lakukan, agar republik ini penuh inspirasi. Sekali-kali biarkan dia berilusi, tentang be united in harmony.


Gubraaak!

Amien Rais tersandung, gontai, menabrak pilar panggung. Ada pragmatism, profit motif dan gunung kapitalisme yang tak mapu ia lompati, ada telaga relijius dan kubangan primordialisme yang tak mampu dia seberangi.


Suluk ki dalang Jaran Lejong …..

Mas Amien, adakah antum sudah lupa? Jangan terlalu banyak berimprovisasi! Butuh konsentrasi dan konsistensi tingkat tinggi untuk gerakan-gerakan cabriolet. Dan satu lagi Mas Amien, panggung ini bukan sekadar persoalan hegemoni matahari.


Orang bilang, Jusuf Kalla harus memanfaatkan lebar panggung. Biarkan dia bermain komedi, berjingkrak, leda-lede kesana-kemari, menyanyikan lagu swadesi dan berdikari. Gaya orang-orang tak seberapa tinggi memang begini. Ingat Napoleon? Hitler? Maradona? Cerdik, tangkas dan berkarakter. Meledak-ledak laksana gudang bahan peledak meledak. Melenting-lenting laksana bola bekel yang membandel.


Byuuur!

Jusuf Kalla terpeleset! Terlempar kedalam genangan air di samping panggung. Basah kuyup!


Suluk ki dalang Jaran Lejong …..

Sudahlah Daeng JK, semua tahu Daeng raja kapal dan nahkoda handal. Boleh saja Kalla Lines rules the wave, the wave rules the sea. Tetapi, adakah Daeng lupa, ada laut Jawa menghadang di depan! Super tanker pun bisa ditenggelamkannya, kalau ombak laut Jawa bergolak dan menolak.


Orang bilang, mari kita biarkan Susilo Bambang Yudhoyono berdeklamasi, dan jangan hiraukan tangannya yang selalu bergerak-gerak dan mengusap-usap seperti ingin menumpuahkan segala isi dadanya. Biarkan dia bersenandung tentang angka-angka pertumbuhan ekonomi. Biarkan dia meratap-ratap pada konstituennya, mengadukan nasibnya yang seakan-akan saban hari di dzolimi.


Suluk ke dalang Jaran Lejong ….

Sudahlah Mas Sus, secangkir kopi mungkin saja pahit, tetapi kerikil tak selalu harus tajam. Mari duduk di serambi, kita selesaikan nada-nada yang tidak pernah berbunyi, dalam lagu-lagumu yang barangkali salah komposisi.


Horeee … Ada Aburizal Bakrie! Ada Wiranto! Ada Prabowo! Ada Dahlan! Ada Machfud! Ada Gita! Ada Rhoma! Ada ada saja!


Suluk ki dalang Jaran Lejong …..

Mas Jokowi, kuselipkan di pinggang sampiyan sebilah kapak. Berjanjilah, dengan kapak itu sampiyan akan mempungkasi imperium para koruptor, jangan biarkan orang asing menguras minyak kita sementara rakyat cuma bisa menguras air mata. Kabarkan kepada mereka, di jidat sampiyan kini berkelebatan gambaran sebuah negeri impian, negeri dimana rakyat bebas menari dan bernyanyi. :::



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/01/mencari-sri-panggung-nkri-604292.html

Mencari Sri Panggung NKRI | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar