FAKTA sosial budaya ini telah lama kucermat-cermati. Suami-suami kerap bermaksud hidupkan suasana. Berhumor ria di hadapanku dengan merendah-rendahkan fisik istrinya. “Istriku sudah ninik-ninik. Aku masih Abang”. Jelas sekali maksud ucapan dari seorang suami ini. Ia merasa masih muda, sedang istrinya sudah keliatan tua. Ini ucapan lucu namun menistakan istri.
Itu Juga Kerbau
Malahpun seorang peternak di kampungku, sangat sukses dan beli ini-beli itu dari hasil ternak. Sukses itu ia raih sejak bujangan sampai beristri. “Ini mobilku hasil dari penjualan kerbau, rumah ini juga dari kerbau”, ucapnya bangga. “Terus kalau istrimu yang cantik itu ketemu di mana?” “Oh itu anak pak RT, itu juga kerbau”. Suami sukses ini melafazkan humornya sambil tertawa. Kata-kata Itu Juga Kerbau, maksudnya ia lamar istrinya dan ‘uang naiknya’ dari hasil penjualan kerbau. Suami ini niatnya memang ingin berkelakar, sayang disayang, dia gagal jaga perasaan istrinya, hingga wajah istrinya kecut, dan tinggalkan ruang tamu.
Herder
Di Surabaya, kubertemu dengan seorang karib. Beliau berkunjung di Kota Pahlawan ini atas nama sebuah bisnis alat kesehatan, istrinya pun dibawa. “Yuk, nyanyi-nyanyi Ces”, tawarku. “Mana bisalah, aku ndak bebas, herderku ikut”. Ia tertawa lebar, Herder yang dia maksud adalah istrinya. Untung saja, istrinya di Tunjungan Plaza, kala itu. Andai ucapan ‘humor’ itu, suami sukses ini terkatakan saat ia bersama istrinya, maka kuyakin sekali istrinya akan berwajah memerah. Semua atas nama candaan tetapi korbankan batin pasangan yang nota bene adalah ibu dari anak-anaknya.
Di Peluput Mata
Sungguhlah, kita kerap kesal atas lawakan murahan di televisi kita, namun insyafkah kita bahwa sebagai suami, kitapun luput dengan parade lawakan yang norak, tak humanis, memabrik olok-olokan kepada istri demi sebuah candaan. Candaan yang ‘tak berkelas’, itu bully, itu merendahkan istri. Menyama-nyamakan fisik istri dengan hewaniah atau benda. “Gajah telah tiba”, ini juga sebuah kalimat dari seorang suami yang istrinya baru saja mendarat di sebuah bandara.
Selanjutnya, seorang suami -tetanggaku- baru saja ‘dilabrak’ oleh istrinya. Labrakan itu bernama permintaan cerai. Apa pasal?. Karena sang suami baru saja mengolok-oloknya, suami ini berkata kepada istrinya: “Towamako Ma, dak bisamako apa-apa. Ndak kayak dulumi, dak bisamako goyang”. (Mama sudah tua, tidak bisa ngapa-ngapain, tak sanggup bergoyang lagi, red). Bergoyang inilah yang membuat sang istri paham banget akan maksud suaminya, hingga sang istri membalas: “Ceraikanmi mama, dak adami gunanya mama untuk papa”, istri ini melafazkannya dengan sungguh-sungguh. Suaminyapun minta maaf karena merasa candaanya keterlaluan. Apa lacur, perasaan sang istri sudah terlanjur terlukai dan terkulai.
***
Inilah fakta bahwa tak terhitung jumlahnya istri-istri membanggakan suaminya, di setiap kesempatan. Entah di arisan, di kantor, di obrolan ringan, istri kerap muji-muji suaminya di depan orang. Dan, suami melakukan perilaku sebaliknya, memproduk ucapan-ucapan buruk semisal: bandot, gerobak, botol markisa dan seabrek kata-kata negatif. Suami ini tak berterima kasih bahwa ada seseorang berjenis kelamin perempuan yang memilihnya sebagai teman hidup, luapan jeritan hati, wadah berbagi, dan lahirkan anak-anaknya. Itukah balasan suami terhadap pengabdian tak bertepi dari seorang istri?. Dan kutitelilah artikel ini kepada suami-suami serupa itu: “Kelakarku Nistakan Istriku”. De Facto, iapun nistakan rumahtangganya, anak-anak dan dirinya, segalanya atas nama canda. Candaan yang mematikan^^^
0 komentar:
Posting Komentar