‘’Tepatnya 5 meter dari pertigaan sebuah tempat pengisian bahan bakar kendaraan beroperasi. Berderet sekitar puluhan kendaraan roda dua dengan baris yang seolah tertata mengikuti petunjuk yang ada. Berada ditengah-tengah antrian cukup menyita waktu ditengah rencana kegiatan yang sudah mendesak. Tiba-tiba sebuah kendaraan roda empat mewah meluncur dan berhenti disamping barisan kendaraan roda dua sambil memberi tanda pada pekerja pertamina agar mobilnya yang mewah itu diisi dulu, dengan style borjuasi pemilik kendaraan tsb begitu acuh dng puluhan pemlik kendaraan roda dua yang dari tadi mengantri untuk bisa berada dibaris depan. Pekerja sontak melayani seolah tdk mempedulikan deretan motor tua yang dari tadi mengantri. Seorang bapak yang berada diujung barisan depan dengan berani menegur borjuasi tsb agar tahu sopan santun dan etika antri. Dengan ekspresi yang tersinggung borjuasi itu tiba marah dan ingin melayangkan pukulan kpd orng tua yang menegurnya itu. Yang paling ironis mobil mewah borjuasi tadi cukup menyedot premium bersubsidi pertamina hingga habis, membuat puluhan kendaraan roda dua yang dari tadi mengantri tdk mendapatkan apa-apa, dengan ekspresi yang angkuh sang borjuasi menyalakan mobil dng kencang dng ritme suara kendaraan yg tinggi pertanda keangkuhan’’.
—–
Fenomena tersebut pada dasarnya bukanlah fenomena yang langka melainkan lazim yang terjadi ditengah masyarakat kita. Sebuah konteks kecil yang menggambarkan bagaimana praktik hidup masyarakat kita yang dilanda penyakit -, menggerogoti setiap sendi-sendi, silang menyilang antara etika, penindasan, subjektifitas dan objektifitas, borjuasi-proletar, sebagian yang menikmati hak orang lain diatas penderitaan yang lain. Bagaimana kepentingan satu orang membuat kepentingan puluhan orang terabaikan. Bagaimana sebuah tatanan norma yang dinodai dari sebuah prestise modal. Bagaimana individu dan masyarakat kehilangan identitasnya, bahkan menganggap bahwa fenomena tersebut hanyalah dinamika etis kehidupan saja yang secara subjektif, temporer dan aksidental semata. Begitupun halnya masyarakat yang lain kehilangan identitas kelasnya, dipecah oleh cara pandang subjektifisme, mengkerdilkan manusia sebagai makhluk individu semata. Model pengkerdilan tersebut berlangsung melampaui kesadaran manusia sebagai individu, sebab muncul sebagai sebuah gejala objektif.
Dalam artian fenomena tersebut tidak tepat ketika ia dipersepsi dalam etika-subjetif, tetapi ia adalah fenomena obejktif, sebuah realitas yang pada dasarnya memiliki kerangka akar yang jelas, permanen tentunya tidak bersifat aksidental, berpangkal pada kuasa modal berujung pada penghisapan kesadaran, pelengseran kodrat, hingga menyulap realitas menjadi sebuah kedzaliman, yang umumnya diterima secara massif seolah menjadi sebuah kewajaran.
Dalam konteks masyarakat kapitalisme, model-model penidnasan yng direproduksi tidaklah melibatkan peran subjetif manusia sbgai makhluk individu, melainkan sebuah kenyataan objektif yang silang menyilang satu sama lain dengan kenyataan lainnya. Kedzaliman dan pendzaliman menjadi ranah struktur seperti halnya apa yang selama ini diasumsikan tentang nilai baik atau buruk menjadi sebuah gejala yng didterminasi oleh kenyataan struktur, yakni dalam masyarakat kapitalisme kuasa modal lah yang mendeterminasi. Pertentangan yang terjadi dalam kasus diatas bukanlah pertengang etis atau tidak etis, bukan sekadar pelanggaran norma kesopanan, melainkan harus dipahami bahwa pertentangan ini adalah kenyataan objektif yang akan terjadi disetiap segmen kehidupan yang lain. Bagaimana kuasa modal menundukkan kenyataan norma ataupun nilai, dan melengserkan kodrat menjadi manusia angkuh yang mengakumulasikan energi naluri kekuasaan. Kekuasaan yang semakin besar selalu berbanding lurus dengan kecendrungan untuk senantiasa menindas yang lemah. Mereka lemah adalah mereka yang dipersepsi memiliki bhkan tdak memiliki sama sekali kekuasaan. Ini berarti baik individu maupu perangkat institusi apapun yang memiliki kekuasaan tidak lepas dari kecendrungan untuk menindas. Kekuasaan yang dimaksud merupakan perangkat yang menjadi medium yang memungkinkan manusia mempengaruhi atau bahkan menguasai kenyataan. Dalam konteks masyarakt kapitalis, pijakan kekuasaan terletak pada modal, bukan pada konsesus, apa lagi sekadar norma atau nilai masyarakat. Sebab tdk dipungkiri norma ataupun nilai yang diinsitutusikan adalah produk kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu sndiri tidak dapat lepas dari peran modal. Itu pula sebabnya model-model sanksi dari norma modern selalu berpijak pada modal, seolah menjadi kenyataan bagaimana norma justru mengesampingkan keadilan, mempersepsi mnusia dalam kerangka diskriminatif berdasarkan modal.
Mengonsumsi bbm yang bersubsidi yang pada dasarnya adalah hak rakyat kecil, selama ini tidak pernah terdefinisikan sebagai sebuah kriminal, ini adalah gamabaran umum bagaimana perampasan hak berlangsung didepan mata, yang melibatkan aparatus-aparatus negara. Merupakan sebuah gambaran kecil dari kenyataan yang besar, bagaimana kekayaan alam rakyat di jual kepada pemilik modal (borjuasi) lewat institusi ekonomi negara atas nama investasi, penanaman modal, ekspor, penambahan devisa, dan pertumbuhan ekonomi demi ambisi untuk mendapatkan penghargaan semu sebagai negara berkembang, negara G20, negara dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, demi untuk menutupi jutaan hak rakyat dirampas dan dijual demi seuntai 1% royalti sudah cukup membuat para pemangku kepentingan bersorak seolah menjadi sebuah kinerja.
Ada naluri yang berkelindang dalam kuasa modal yang selama menjadi alternatif yang tidak terpisahkan dari kekuasaan yakni kekerasan. Masyarakat yang tenggelam dalam halusinasi kuasa modal cenderung berada dititik spiral kekerasan. Kekerasan menjadi alat sekaligus ancaman kaum borjuasi untuk mempertahankan kepentingannya. Kasus diatas menggambarkan hal yang sama dengan kasus-kasus yang selama ini terjadi direpublik ini dari punggiran tanah papua hingga ujung tanah ulayat sumatera, memperlihatkan bagaimana kekerasan, senapan membidik jantung rakyat kecil, api menyala dari sebuah perebutan surat-surat administrasi pertanahan. Konflik agraria, konflik ladang minyak menjadi dasar kekerasan terhadap rakyat sipil berlangsung secara massif melibatkan aparatus-aparatus negara yakni militer. Hal yang sama dalam konteks global bagaimana negara-negara borjuasi dengan mudahnya menggelorakan aura kekerasan kepada negara-negara berkembang demi mempertahnakan status quo kepentingannya yang umumnya adalah ladang minyak.
Kekerasan bukan menjadi pertanda dari ketidak berbudayaannya masyarakat kita, bukan pula karena kebodohan, melainkan Kekerasan menjadi simbolisasi dari sebuah perlawanan kecil yang masih hidup. Kekerasan juga menjadi pertanda bahwa pola-pola dominasi, penguasaan hingga pendzaliman berlangsung ke berbagai segmen kehidupan yang melibatkan struktur, insitiusi hingga hegemoni yang melibatkan aparatus negara maupun korporasi yang berpangkal pada kuasa modal.
0 komentar:
Posting Komentar