blazer korea murah

70 Tahun Berusaha Jadi Orang Indonesia



13826277172082143539

doc.pri



Saya dilahirkan di Kota Padang,Sumatera Barat,pada jaman Jepang. Atau tepatnya,pada tanggal 21 mei, jam 2 pagi waktu Nippon, tahun seribu sembilan ratus empat poeloeh tiga. Saya adalah anak ke 8 dari 11 orang bersaudara.


Sewaktu mulai masuk S.D. ,yang pada waktu itu bernama Sekolah Rakyat, saya merasakan ada suatu kejanggalan. Karena walaupun kami sekelas,tetapi ketika istirahat ,yang dulu istilahnya “turun main”,kami terpisah jadi dua kelompok. Pada waktu itu saya sungguh tidak mengerti apa yang penyebabnya.


Namun sebagai seorang anak kecil, saya hanya bisa menyimpan perasaan tidak nyaman ini di dalam hati.Seiring dengan berjalannya waktu,saya baru menyadari bahwa hal itu terjadi,karena murid murid merasa beda suku ,beda asal usul dan beda budaya. Belakangan muncullah istilah “pri dan nonpri”.Entah siapa yang mulai mencetuskannya dan tepatnya tahun berapa,sungguh saya tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu. Karena hanya akan membuat hati saya bertambah gundah.


Semakin lama perasaan ini semakin menumpuk dan menjadi beban di pikiran dan hati . Tapi karena hidup kami pada waktu itu dalam keadaan morat marit,maka kegudahan rasa hati itu,untuk sementara waktu tenggelam oleh beban hidup yang harus kami tanggung.


1382627836603929391

doc.pri



HARUS ADA YANG MEMULAI


Ketika sudah dewasa,saya melihat dengan sangat jelas kepincangan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Saya berunding dengan istri saya, bahwa kami harus keluar dari zona keamanan dan kenyamanan yang selama ini terus dipertahankan .Saya bersyukur,istri dan anak anak kami mendukung sepenuhnya. Namun orang tua kami keberatan ,karena menguatirkan keselamatan kami.


Kami menyampaikan dengan sopan,bahwa hal itu sudah menjadi keputusan kami. Karena prinsip hidup saya,kalau ingin mengubah masyarakat,harus mulai dengan diri sendiri terlebih dulu. Walaupun resikonya ,kami dianggap orang aneh oleh masyarakat.


Kami membeli rumah di kawasan Wisma Indah I di kota Padang. Pada waktu itu kami adalah orang “non pri”pertama tama yang memilih tinggal disana. Kami bersyukur dalam waktu singkat,kami sudah diterima dengan sangat baik dilingkungan baru ini. Bahkan setiap bulan puasa,teman teman yang beragama muslim kami undang tiap malam minggu ,untuk “buka” bersama di rumah kami. Dan bila hari raya tiba,anak anak sekampung sejak dari pagi sudah antri di depan pintu rumah kami. Istri saya Lina,sudah mempersiapkan dua pak uang baru,untuk dibagi bagikan kepada setiap anak yang datang.


BERSAHABAT DARI MULAI TUKANG KEBUN ,HINGGA WALI KOTA


Taman yang ada di halaman rumah,dirawat oleh seorang tukang kebun,yang nota bene adalah tetangga yang tinggal dikampung dekat rumah kami. Suatu hari, kebetulan kami lagi santai di rumah, tukang kebun ini,kami ajak makan bersama. Ia menangis terharu,karena selama ini belum pernah ada tuan rumah yang mau mengajaknya makan bersama . Kami katakan,pembantu rumah tangga kami juga makan semeja bersama kami setiap harinya. Maksud kami mau menentramkan hatinya..eeh malah Pak Udin,tukang kebun kami malah semakin menangis sesegukan.


Hasil rawatannya dan di tata oleh istri saya, pekarangan rumah kami ,mendapatkan Sertifikat Penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup ,pada waktu itu Pak Emil Salim.


Wali kota Padang pada waktu itu adalah Pak Syahrul Ujud SH,yang dilantik menjadi walikota dalam usia 35 tahun,adalah salah satu dari tetangga kami. Bahkan sewaktu acara selamatan di kediamannya, saya diminta untuk mendampinginya untuk menerima tamu. Saya heran kenapa memilih saya,padahal saya tidak pernah membantu apapun ,secara materi. Namun walaupun masih dalam tanda tanya,permintaanya saya penuhi. Maka jadilah saya “nonpri” pertama di Kota Padang,yang mendampingi Walikota ,untuk menyambut tamunya. Sesuatu yang dirasa aneh orang masyarakat.


MENANGISI PERPISAHAN


Pada waktu kami pamitan,untuk pindah ke Jakarta, seluruh tetangga kami datang dan memeluk kami ,sambil menangis. Tidak setitikpun terlihat ,ada yang membedakan antara “pri dan nonpri” ataupun masalah beda budaya dan agama. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan,bahwa setidaknya kami sekeluarga adalah orang “nonpri” pertama yang menunjukkan:”kami juga orang Indonesia”


Sejauh apapun jarak memisahkan kami.namun hingga saat ini,persahabatan kami tetap berlangsung.Bahkan setiap ada pernikahan salah satu dari anak cucu,mereka selalu menelpon untuk memberitahukan kepada kami.


13826280201814827158

doc.pri



HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN


Australia


Saya memandangi sebuah bendera Merah Putih,ukuran mini yang terpajang sepanjang tahun dimeja kerja saya di kediaman putri kami di Avenue, Mount Saint Thomas. Tanpa terasa ,saya dan istri sudah menjadi penduduk Australia ,selama hampir sepuluh tahun. Suatu rentang waktu yang cukup panjang.


Persyaratan untuk mendapatkan Permanent Resident atau Penduduk Tetap di sini ,semakin lama semakin diperketat. Bahkan kabarnya sekarang ,setelah melalui semua proses dan dinyatakan lulus untuk mengajukan permohonan untuk menjadi Warga Negara Australia,masih harus memenuhi persyaratan finansial,yaitu menyetor uang senilai 65 ribu dollar Australia ,per satu orang. Nilai ini ,kalau dikalkulasikan ,setara dengan 700 juta rupiah.(terbilang: tujuh ratus juta rupiah).Sengaja saya tuliskan ,untuk menyatakan bahwa saya sama sekali tidak salah ketik angka .


Saya dan istri ,beruntung karena sepuluh tahun lalu,kami hanya di jamin oleh putra dan putri kami yang berdomisili di Australia ,semenjak 20 tahun lalu. Putri kami ,yang merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara ,awalnya study dibidang Interior Design di kota Perth ,Australia.Selesai study ,ketemu jodohnya seorang pria Australia. Sedangkan putra pertama ,dapat kontrakan kerja di salah satu perusahaan di Australia. Karena akan bekerja untuk jangka waktu panjang,memboyong istri dan anak anaknya ke Benua Kanguru ini. Nah ,ini adalah alasan yang menyebabkan kami bolak balik Indonesia – Australia.Dengan status sebagai Penduduk Australia,maka hal ini mempermudah kami ,karena kami bisa keluar masuk ke Australia,tanpa harus sibuk mengurus visa lagi. Kecuali tiap 5 tahun sekali,harus memperpanjang ijin menetapnya .


MENENTUKAN PILIHAN HIDUP


Tahun lalu ,kami datang ke kantor imigrasi Australia ,yang berlokasi di Harbour Town,Perth. Karena sudah biasa,kami tidak perlu bertanya lagi keloket informasi. Melainkan langsung ke lantai 3 ,bagian Perpanjangan Visa. Tidak begitu banyak orang yang antri.sehingga kami dapat nomer antrian ke 8. Disamping kami ada seorang pria setengah baya yang lagi duduk memegang Paspor. Ia menyapa kami.:’Maaf,bapak dan ibu dari Indonesia yaa?”


“Benar Pak,” jawab saya dengan gembira ,karena ketemu orang setanah air di rantau orang. Pria inimemperkenalkan namanya:” Sutarji”(bukan nama sebenarnya).Dan selanjutnya kami terlibat dalam pembicaraan sekitar masalah domisili di Australia. Kami jelaskan ,bahwa kami sudah lama menjadi Permanent Residence,sudah hampir 10 tahun.


“Wah enak dong,sebentar lagi sudah bisa jadi Citizen kan ? (maksudnya jadi warganegara Australia). Kalau sudah jadi warga Australia ,enak dong pak.tiap bulan dapat uang saku.lumayan sekitar 850 dollar per orang .Kalau saya sudah menunggu 5 tahun,bahkan sudah invest disini ,dengan membuka restaurant di Perth. Lumayan sekitar 20 milyar rupiah.tapi hingga saat ini pengajuan P.R saya belum dikabulkan. Saya kesini mau memperpanjang visa kunjungan “katanya dengan wajah agak sedih.


“Hmmm jadi hari ini bapak ibu mau appointment untuk tanggal pelantikan jadi warganegara Australia yaa?” Selamat yaa.,” kata Pak Sutarji.sambil mengulurkan tangannya.


Namun kami menjelaskan,justru kami memilih tetap jadi warganegara Indonesia.


Ia kaget dan memandang kami dengan tegang. “Bapak bercanda yaa?”


“Bukan Pak Sutarji,memang kami memilih ,tetap jadi W.N.I”


“Pak Effendi,anda keliru mengambil keputusan, Saya sudah menunggu 8 tahun,namun belum dapat. Anda disodori,malah menolak..” Percayalah ,anda tidak akan dianggap pahlawan,karena mengambil keputusan ini. Sungguh menurut saya,anda hanya terbawa emosi”


“ “Kalau sudah usia begini,janganlah idealime juga yang dijadikan pegangan pak. Kita hidup dialam realita. Kita butuh hidup.butuh uang. Idealisme tidak bisa mengenyangkan kita. .Begini Pak ‘Effendi,kalau boleh saya berterus terang ya.,Saya ini kan pribumi,tapi kalau dapat kesempatan seperti bapak,pasti tidak akan saya lewatkan. Nah,Pak Effendi,walaupun memilih tetap jadi Warganegara Indonesia.percayalah dimata masyarakat,pak Effendi tetap”nonpri”.


Saya terpana mendapatkan kuliah gratis secara dadakan ini. Tapi saya tidak marah,karena prinsip hidup saya:” Biarkanlah orang lain merasa dirinya lebih pintar dari kita, karena kita tidak akan rugi apapun”.


Saya cuma manggut manggut,untuk menghargai lawan bicara saya yang agak agresif. Dan syukurlah tiba tiba nomer antrian saya dipanggil : “Nomer 8 ,please proceed to counter 1”


Maka saya ajak istri saya dan langsung pamitan,pada Pak Sutarji.


MEMENUHI PERSYARATAN UNTUK JADI WARGA AUSTRALIA


Kami langsung melangkah menuju ke loket.Belum sempat kami menyapa, petugasnya seorang wanita muda sudah terlebih dulu menyapa dengan ramah:” Good morning….I am Mary.what can I do for you ?”


Kami jelaskan dengan singkat ,sambil menyodorkan paspor Indonesia kami,yang sudah ditempelin “Permanent Visa”.


“Maaf ya,saya cek sebentar untuk anda berdua. Terus berselancar dengan internet. Dan hanya selang waktu beberapa menit, sudah menemukan data data tentang diri kami . Kami melihat Mary tersenyum senyum,sementara jemarinya dengan cekatan menari nari diatas keyboard Lap Top yang ada dihadapannya.


Dan,agak sedikit kaget kami mendengarkan ..:”Excellent!” katanya dengan nada gembira. “Anda berdua sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi Warganegara Australia. Congratulations,” katanya sambil menyalami kami berdua. Kemudian masih meneruskan penjelasannya,bahwa karena kami sudah memiliki Senior Card,maka kami tidak perlu lagi menjalani test ,sebagaimana diwajibkan bagi pemohon lainnya yang masih muda. Seraya memberikan kami berkas berkas blanko aplikasi dan hak hak kami ,bila kami sudah mengucapkan ikrar sebagai Warganegara Australia.


Karena kami sudah mengajukan aplikasi untuk mendapatkan Status sebagai penduduk Australia ,semenjak 10 tahun lalu.maka menurut peraturan lama,masing masing kami akan mendapatkan santuan tiap bulannya 850 dollar,yang setara dengan 10 juta rupiah tiap bulannya, sepanjang hayat.Suatu tawaran yang cukup menarik bukan?


Namun ,kami mengucapkan terima kasih untuk penjelasannya. Kami hanya minta Status sebagai Permanent Residence kami diperpanjang. Dalam arti kata,kami tetap memilih menjadi warganegara Indonesia. Dengan resiko,kami secara serta merta,kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tunjangan pension . Mary agak terperanjat.” Are you sure?!”,katanya dengan nada hampir tidak percaya ,akan keputusan yang kami sampaikan kepadanya.


Ya,kami sudah memutuskan,” jawab saya. Dengan menggerakkan bahunya ,Mary hanya berkomentar singkat:” Okay ,kalau anda berdua sudah memutuskan. Itu hak anda .”


Dalam waktu kurang dari 5 menit, secarik kertas di print out dari printer nya dan distempel ,kemudian dilekatkan pada paspor kami masing masing. Sambil berucap:” Silakan ,tidak ada biaya apapun ,”katanya sambil tersenyum.


Kamipun pamit,sambil mengucapkan terima kasih.


Renungan:


Sepanjang perjalanan pulang kerumah,diatas train yang mengangkut kami dari Perth ke stasiun Joondalup,pikiran saya kembali menerawang pada pembicaran dengan Pak Sutaji tadi pagi.


Saya diingatkan ,agar jangan terjerumus oleh idealime yang memabukkan. Saya diminta untuk hidup berdasarkan realita,yaitu hidup memerlukan uang .


Saya jadi kepikiran,andaikan realita hidup itu hanyalah uang semata atau sesuatu yang bisa dilihat dan dipegang,maka akan sengasaralah hidup manusia. Orang tidak lagi percaya akan cinta,ketulusan,persahabatan,bahkan mungkin orang meragukan “Keberadaan Tuhan”,karena tidak bisa dilihat dan dipegang. Andaikan realita adalah semata mata materi,maka orang tidak akan segan untuk menghianati sahabatnya demi sebungkus nasi.


Pikiran yang bolak balik ini,membuat saya gundah dan sedih. Ternyata 70 tahuh berusaha hidup sebagai orang Indonesia,masih dikatakan :” Non pribumi” oleh Pak Sutarji. Namun kami tidak pernah menyesali keputusan kami. Inilah namanya hidup.Setiap pilihan selalu mengandung resiko. Dan kami sudah siap menerima resiko itu.


Rasa hati saya,untuk kali ini,bukan Ibu Pertiwi yang menangis,tapi kami berdualah yang menangis…Karena tetap dianggap anak angkat,bahkan mungkin anak tiri dari Ibu Pertiwi.


1382628556771187785

doc.pri



Dari Rantau orang,24 Oktober,2013


Tjiptadinata Effendi



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/24/70-tahun-berusaha-jadi-orang-indonesia-604570.html

70 Tahun Berusaha Jadi Orang Indonesia | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar