Sikap berlapang hati dalam menerima keberagaman di Indonesia nampaknya perlu diasah terus-menerus, disegarkan berulang-ulang. Upaya penolakan terhadap keberagaman kerap terjadi, dengan berbagai setting, oleh kelompok, institusi ataupun mereka yang mengatasnamakan golongan tertentu. Meskipun dalam skala dan jumlah relatif kecil, namun kelompok ini tetap serupa virus yang kualitas dan daya ancamnya patut diwaspadai.
Terlalu banyak untuk menyebut contoh satu-persatu, terlalu memakan tempat untuk menjelaskan kejadian demi kejadian. Di berbagai tempat, dengan berbagai alasan dan latar belakang. Kita hanya akhirnya dipaksa buat mafhum bahwa seperti itulah situasi Indonesia senyatanya. “Indonesia selalu mempunyai kabar baik”, kata seorang teman dalam sebuah diskusi kecil. “Selalu memiliki harapan, selalu mampu mencari antidote untuk setiap masalahnya”.
Saya percaya, begini kurang lebih penjelasan teman saya : dalam konteks upaya penolakan keberagaman ( seperti di awal tulisan saya), kelompok, lembaga, individu, organisasi sosial, atau apapun wadah serta bentuknya, yang melakukan hal sebaliknya — yakni mengakui, memelihara dan mempertahankan keberagaman — jumlahnya jauh lebih banyak. Tersebar di banyak sudut tanah air, mereka melakukan upaya tanpa henti di berbagai bidang, jaringan, juga kekuatan media.
Perbedaan, sebuah keniscayaan
Dalam ilmu psikologi dijelaskan bahwa secara naluriah manusia memiliki kecendrungan untuk berkonflik, memiliki kecendrungan menunjukan “adanya” melebihi yang lain. Dan perbedaan adalah salah satu entry yang dengan mudah memunculkannya.
Dalam konsepsi kebangsaan, Indonesia berkali-kali berdarah dalam sejarahnya. Mulai jaman pergerakan, tahun-tahun kemerdekaan hingga maraknya partai-partai politik pada 1950-1960-an. Kolonialisme, isu kedaerahan, agama, politik hingga budaya (kita ingat perseteruan Lekra dengan Manikebu).
Kemudian berkali-kali muncul dan terlahir tokoh-tokoh pergerakan , tokoh pemersatu dengan konsep kebangsaan yang kuat, guru bangsa, sosok-sosok panutan, penjunjung pluralitas dan seterusnya. Hanya saja, pekerjaan besar ini (upaya memahami hakekat keberagaman) rupanya perlu tindak laku yang tak boleh putus, sebagai kerja bersama seperti yang banyak kita lakukan selama ini.
Tubuh memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya sendiri
Itu frase yang saya baca di sebuah buku genetika, The Miracle of The DNA-nya Kazuo Murakami, frase yang saya kutip sebagai perumpamaan ikhtiar Indonesia dalam menyembuhkan dirinya sendiri. Indonesia dalam konteks tertentu bisa diibaratkan tubuh juga, bukan ?. Tubuh yang memiliki kendali penuh atas dirinya. Mengambil penyembuh dari dirinya ketika mengalami ketidakseimbangan (sakit). Enzim, partikel, unsur , senyawa atau apapun namanya. Unsur atau enzim yang dalam hal ini bernama anak bangsa, kearifan budaya-budayanya. Dengan ‘menangkap pesan’ dari kearifan dan kekayaan budaya-budayanya pula, saya juga percaya, Indonesia mampu menyembuhkan dirinya.
Menangkap harmoni
Kekayaan budaya Indonesia sebagai hasil peradaban dan olah budi masyarakatnya, saking kaya dan beragamnya, tidak mungkin kita sebut satu-persatu. Bahasa, adat istiadat, makanan, musik hingga berbagai keunikan di hampir setiap daerahnya. Seperti apa semangatnya, pesannya ?
Saya teringat sebuah pementasan tari di Bali. Tari-tarian, seperti umumnya di daerah lain, menggunakan seperangkat gamelan sebagai musik pengiring. Butuh sejumlah instrument pendukung dalam sebuah unit yang bernama gamelan : kendang, ceng-ceng, suling, terompong, gong, kempul, cegir, pengugal, kenuk dan seterusnya. Beberapa sekaa (kelompok kesenian) ada yang menggunakan harpa sebagai pelengkap.
Seperti tanaman-tanaman pada sebuah taman menjaga unit bernama taman, seperti sejumlah vegetasi membentuk dan menjaga unit hutan, demikian pula setiap instrument pada gamelan menjaga ‘sang unit’ (gamelan) tetap utuh.
Salah seorang dari sekaa bertindak sebagai juru gisi tabuh (dirigen), memainkan salah satu instrument, tugasnya memilih komposisi yang hendak dimainkan. Dengan intro singkat dari juru gisi tabuh , pemegang instrument lain akan masuk ke dalam komposisi yang sudah dipilih. Masing-masing sekaa tahu perannya, dan yang unik, setiap instrument seperti sudah menyepakati azas dengan cara tunduk kepada partitur musik dan komposisi yang sudah dipilih, tak terkecuali sang penari.
Gamelan akhirnya menghasilkan harmoni, yang kita tahu berasal dari sekian jenis alat musik dengan perbedaan bentuk, karakter suara, berikut cara memainkannya.
Seperti harmoni Indonesia yang tidak mustahil justru terbentuk dari keberagamannya, dari masing-masing instrumennya, dari kekayaan budayanya. Membentuk satu unit identitas : Indonesia. Selamat memainkan peran dalam harmoni Indonesia.
Kompasianer, salam hangat dari Bali.
0 komentar:
Posting Komentar