I write because I should write…..
One good friend of mine spent his whole life writing things down to make people feel good. Ia memang adalah seorang penulis sejati. Apapun ditulisnya, asalkan itu membawa dampak positif terhadap dirinya, keluarganya, bahkan terlebih bagi orang lain yang sekiranya membaca tulisannya. Kawan saya bahkan meninggalkan dunia ini sementara tangannya lagi memegang sebuah pena, usai menuliskan sesuatu. Ia menuliskan pesan-pesan terakhir untuk orang-orang dekat yang ia tinggalkan. Menulis baginya adalah kehidupan itu sendiri. Ia menulis untuk mewujudkan cinta dan semua asa serta berbagai perngharapan yang bersemayam dalam dirinya. Dengan menggunakan nama pena, kawan saya itu sudah menghasilkan begitu banyak tulisan, serta begitu banyak buku.
Beberapa tahun berselang, saya tergerak hati untuk memikirkan kembali tentang arti penting mengapa saya harus menulis. Bagi saya pribadi, menulis adalah pencapaian paripurna setelah kita dapat berbicara dengan baik dan membaca dengan jernih. Bahkan pun setelah kita bisa mendengar dengan jelas. Menulis adalah hasil dari apa yang kita baca, lihat, dengar, dan rasakan. Lantas saya mencoba menumbuhkan ‘jiwa menulis’ itu ke dalam sanubari saya paling dalam. Kemudian di suatu ketika ada satu titik di mana bagi saya tiada hari tanpa menulis itupun akhirnya membudaya. Menjadikan permenungan bagi diri pribadi saya, bahwa menulis itu adalah keniscayaan. Kebiasaan yang membudaya itu menghantar saya pada suatu pemahaman, bahwa bagi seorang penulis sejati, menulis itu laiknya bernafas. So, tiada hari tanpa sebuah tarikan dan hembusan nafas. Penulis yang tidak menulis lagi, berarti ia berhenti bernafas.
Saya tidak menulis karena sudah punya rencana besar untuk menerbitkan sebuah novel best seller. Saya juga tidak mulai menulis karena sudah ada master plan maha dahsyat untuk menjadi kaya raya dari hasil tulisan-tulisan saya. Sama sekali tidak. Saya menulis karena saya memang harus menulis. Konon, banyak orang mengistilahkannya sebagai sebuah ‘panggilan jiwa’. Entah itu panggilan jiwa atau bukan, I just write, because I should write. And I feel alive when I write something. Seperti itu.
One ever said, “It’s healthy and there is always an amazing off chance that it affects someone more than you had any idea it ever could. So people might hate what you say (write). They might really love it. They might feel nothing. Any one of those things is oddly terrifying. But they will read it.”
Menulis Dalam Posisi Orang Ke-dua?
Menulis sebagai orang pertama dan ketiga pasti sudah sangat sering kita lakukan. Tapi bagaimana dengan orang ke-dua? Mungkin masing sangat janggal dan aneh ya? Apalagi ketika menulis sebuah novel, mungkin saja masih kaku dan belum terbiasa bila harus menggunakan sudut pandang, dan atau ‘sudut pelaku’ peristiwa sebagai orang ke-dua (you, your, yours)? Padahal, semestinya, dengan memosisikan sebagai orang kedua, alur cerita dan ‘semangat’ dalam cerita bisa jadi akan lebih jelas mengena bagi pembaca, dan lebih berkesan. Citarasa ceritanya akan berbeda.
Apalagi bila cerita yang Anda tulis adalah tentang masa kini (kekinian), pasti pesannya akan lebih tersampaikan, dan pembaca akan merasa bahwa merekalah yang berada dalam cerita yang sementara berlangsung dan sementara mereka baca itu. Ini ada sebuah kutipan contoh kalimat dalam novel yang menggunakan second person’ point of view: “You’re late. Heart pounding, you race up the stairs as the train enters the station. You weave around the slow-moving people milling on the platform and dash towards the train, throwing your body through the doorway with only a moment to spare.”
Hal ini juga secara langsung akan membuat serta memunculkan hubungan yang lebih personal dan intim’ bagi pembaca, karena seolah-olah merekalah yang ada dalam cerita yang Anda tulis. Karena penggunaan orang ke-dua ini masih sangat jarang digunakan, maka akan menampilkan alur berbeda sehingga serempak memberikan perspektif yang baru bagi penulis, dan juga pembaca tentunya.
Sebuah contoh lain penggunaannya adalah seperti ini: “Kau bilang padaku untuk menemuimu di stasiun kereta itu pukul tiga sore. Tapi sesuatu yang tak terduga telah terjadi. Sebelum mencapai kereta, tiba-tiba ada perempuan lain yang berdiri disampingmu. Dengan rambut yang tergerai mencapai bahu, ia tersenyum penuh arti kala itu. Apakah kau memang sudah melupakan segala sesuatu yang pernah terjadi di antara kita?”
Menulis adalah ‘nafas’ seorang penulis untuk tetap bertahan. Ketika ia berhenti menulis, maka ia seakan berhenti bernafas. Mungkin saja kedengaran terlalu lebay, tapi coba tanyai para penulis sejati yang ada di sekitar kita, saya hampir dapat pastikan bahwa anggukan kepalalah yang akan mereka berikan. Berapa banyak dari kita yang sanggup menulis satu tulisan setiap harinya? Banyak. Bahkan ada yang menulis lebih dari dua atau tiga, itu berarti lebih daru dua helaan (tarikan) nafas yang tercipta. Helaan nafas kepenulisan yang memberi kita semangat juang dan semangat hidup untuk menghasilkan karya-karya terbaik kita. Selamat menulis. —Michael Sendow—
0 komentar:
Posting Komentar