Kritikan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Presiden RI terhadap media yang dianggap telah menelanjangi dirinya dan partainya, sangat tidak bernas dan tidak tepat sebagai seorang Presiden. SBY, saya anggap justru tidak memikirkan rakyatnya saat mengkritik media.
Kritikan SBY terhadap media pada perhelatan Temu Kader Partai Demokrat, kemarin, 26 Oktober 2013 di Sentul, saya nilai sebagai curhatan pribadi dan atas nama partainya saja. Dan ini bukan yang pertama, dalam kurun waktu 9 tahun, sudah beberapa kali SBY mengkritik media yang dianggapnya telah menyerang dirinya dan partainya.
Meski SBY berbicara sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, namun jabatan publiknya sebagai Presiden RI tidak mungkin dipisahkan. Disini letak kesalahan SBY yang terlalu doyan merangkap jabatan.
Pantaskah SBY mengkritik media menyangkut diri dan partainya? Tentu pantas, sepanjang tidak dipertonton ke publik.
Tapi ada yang paling tepat dikritik oleh SBY sebagai Presiden RI, yakni dampak sosial terhadap pemberitaan buruk yang terus menerus dicekoki kepada rakyatnya.
Pemberitaan buruk yang terus menerus disuguhkan kepada publik, tentu akan mempengaruhi kehidupan sosial. Keterbukaan informasi yang sangat telanjang sekarang ini sungguh-sungguh sudah sangat mengkhawatirkan. Lembaga penyaringnya seperti KPI dan Dewan Pers pun seakan tak memiliki taring dan kuku untuk bertindak.
Kebebasan Pers juga butuh pengawasan yang ketat dengan penindakan yang tegas juga diiringi dengan sanksi-sanksi yang tegas pula.
Saya sadar bila media, khususnya media online dan televisi mau tidak mau harus masuk kedalam dunia industri untuk bertahan dan terus eksis. Kecepatan penyuguhan berita menjadi tuntutan untuk meraih rating penonton, pembaca dan pendengar.
Tapi kecepatan tersebut justru menghasilkan pemberitaan dengan informasi yang sepotong-potong. Misalnya, satu judul, satu berita dan satu sumber. Meski ada bantahan-bantahan pada berita selanjutnya, belum tentu dibaca. Berita pertama sudah mempengaruhi publik terlebih dahulu.
Belum lagi persoalan judul-judul bombastis yang isinya jauh dari judul pun kerap terjadi. Pembaca judul di Indonesia, jumlahnya masih sangat besar. Semuanya itu dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Keburukan yang terus-terusan dicekoki kepada masyarakat, itu sama dengan praktek cuci otak. Akhirnya nilai kebaikan akan tercuci oleh keburukan. Setidaknya itu yang saya dapat dari sahabat saya seorang psikolog yang meneliti dampak sosial dari pemberitaan-pemberitaan buruk.
Menurutnya, keburukan sudah sangat tertanam pada rakyat Indonesia. Buktinya sudah kita alami bersama.
Hilangnya rasa percaya terhadap pemerintah dan penegakan hukum, ini saya anggap sangat parah. Tawuran pelajar, ormas, antar suku dan antar kampung, ini dampak dari hilangnya rasa percaya. Selain itu, publik menilai, tawuranlah cara menyelesaikan masalah. Mereka mendapatkan kesimpulan itu dari pemberitaan media. Bila keburukan terus ditanamkan, maka terjadi kiamat pancasila dan nasionalisme.
Korupsi akan sangat sulit diberantas, rakyat sudah tahu cara korupsi, cara menjadi kaya yang instan dan dengan resiko hukum yang ringan. Akhirnya, hanya menunggu kesempatan untuk dapat korupsi. Begitu pula dengan kejahatan-kejahatan lainnya.
Pembunuhan dan pemerkosaan oleh anak-anak, selain dampak dari gampangnya mengakses pornografi, penyajian berita pun perlu diawasi. Cara-cara membunuh dan memperkosa oleh pelaku, kerap kali diberitakan secara detail. Ini dianggap sebagai pembelajaran.
Begitu pun perilaku kriminal yang kini juga turut dilakukan oleh anak-anak, termasuk bunuh diri. Luar biasa pengaruh pemberitaan-pemberitaan buruk yang terus menerus disajikan.
Ini yang urgent dikritik oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, ketimbang mengkritik media untuk urusan diri dan partainya yang sangat terkait dengan mepertahankan dan memperebutkan kekuasaan.
Pikirkanlah rakyat…
Twitter: @bobbytriadi
0 komentar:
Posting Komentar