Pemerintah, di awal kekuasaan Orde Baru memberikan pembiayaan secara cuma-cuma untuk sektor ril di bidang pertanian dan perikanan. Kebijakan ini bukan tanpa alasan, sebab di masa mendatang nanti sektor ini akan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa meski pun harus berhadapan langsung dengan industrialisasi modern. Pikirannya begitu sederhana, semakin modern dan maju sebuah peradaban tanpa ditopang oleh kemapanan pangan, dia akan runtuh pada akhirnya. Manusia sebagai penggerak roda kehidupan membutuhkan pangan, tidak bisa tidak.
Peralihan budaya manusia dari ketergantungan kepada alam, food gathering, meramu, berburu hingga ditemukannya teknik bercocok tanam berlangsung dalam waktu yang tidak begitu lama. Kehidupan nomaden, berpindah-pindah tempat di dalam masyarakat komunal menjadi cikal bakal revolusi pemikiran: ketergantungan terhadap alam harus diimbangi dengan sikap manusia mengolah dan mengelola alam agar berdaya guna. Terbentuklah lahan-lahan pertanian dan padang-padang peternakan dalam sistem komunal, manusia sebagai entitas sebuah masyarakat berkontribusi dan akan mendapatkan distribusi langsung dalam bentuk pangan.
Kehidupan nomaden dengan berpindah-pindah tempat di masa lalu secara alamiah telah melatih manusia dalam berpikir; jika hal ini ada dan tumbuh, maka dia bisa ditumbuhkan ulang. Kehidupan nomaden memaksa manusia dalam membuka lahan-lahan baru, pengolahan lahan secara komunal, dan menciptakan masyarakat baru: para petani tradisional. Pasca pembukaan lahan baru, pembagian lahan pertanian dan perkebunan dibagi secara adil, sebab hasilnya pun akan dikumpulkan kemudian dibagikan sesuai dengan kebutuhan. Budaya primitif seperti ini menghasilkan beberapa sikap dan nilai: tidak ada kebencian, semangat kerja (ethos kerja), saling mengisi, tidak ada kepemilikan pribadi (capital), saling percaya, dan kejujuran.
Kekuasaan timbul dari hasrat untuk merebut hak milik orang lain terjadi di era gelombang ke-dua. Penemuan roda sebagai alat transportasi lebih memudahkan manusia dalam pendistribusian hasil pertanian dari satu masyarakat komunal ke masyarakat komunal lainnya. Terjadi pertukaran hasil pertanian dalam bentuk barter. Manusia semakin sadar, hanya kelompok dominan lah yang akan mendapatkan keuntungan besar dari proses barter ini. Kelompok domain pun dibentuk berdasarkan penyatuan klan-klan, kelompok domain ini akan memiliki varian-varian hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan lebih besar dari kelompok ko-domainnya. Pasar pun terbentuk, kemudian mulai muncul pemikiran untuk memonopoli satu jenis bidang atau varian hasil bumi. Pertumbuhan kelompok domain ini berbanding lurus dengan migrasi mereka ke daerah dan lahan-lahan baru, dilakukanlah pengawasan oleh kelompok domain dalam bentuk kebijakan dan aturan di dalam masyarakat berupa norma kehidupan. Individu yang paling menonjol karena memiliki kemampuan mengatur anggota kelompoknya diangkat sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat komunal seperti itu.
Tujuan-tujuan dari berbagai kelompok komunal menjadi lebih beragam. Kelompok komunal domain terbentuk, mereka bukan hanya fokus pada persoalan pertanian dan bertukar hasil pertanian, juga telah memokuskan pada kepentingan-kepentingan lain yang bersifat imajiner: kemuliaan, kehormatan, dan stratifikasi sosial lebih tinggi. Pranata sosial berbentuk lembaga suci dibangun untuk mengokohkan dominasi beberapa individu. Dalam kondisi seperti ini pengetahuan terbentuk dalam dunia empiris. Literatur dalam genre dongeng magis ditata ulang untuk mengokohkan dominasi salah satu pranata sosial suci. Lahan-lahan garapan tidak dikerjakan lagi secara komunal, disana telah tercipta partikularisasi, kelompok penggarap lahan sebagai petani individu perindividu mulai lahir. Kebijakan pranata sosial tertinggi bernama kerajaan mengatur masalah pengelolaan pertanahan dan masalah-masalah agraria. Hasil pertanian didistribusikan secara searah, memusat, memenuhi gudang-gudang kekuasaan, tidak peduli apakah para petani merugi atau sebaliknya. Kondisi ini diperparah saat metalurgi mulai digunakan oleh lembaga kekuasaan. Senjata-senjata tidak lagi digunakan untuk bercocok tanam dan berburu namun dijadikan penghias pinggang para tentara dan pasukan kerajaan.
Kenyataan ini, negara-negara agraris telah dijadikan sasaran utama rekonquista. Dua pranata sosial terbesar dalam kehidupan dijadikan senjata ampuh bagi para rekonquista dari Eropa dan Timur Tengah untuk menguasai negara-negara yang mereka anggap terbelakang baik dari segi penguasaan teknologi juga persoalan-persoalan keyakinan. Hasil pertanian dan perkebunan pun dimonopoli dan dikuasai oleh para rekonquistador, kongsi-kongsi perdagangan berebut tempat, saham-saham diperjual belikan di Barat, kekayaan negeri jajahan didistribusikan dalam jumlah besar ke negara-negara penjajah. Negara domain membangun kekuasaan baru di wilayah kodomain, untuk memudahkan pengelolaan dan pendistribusian hasil pertanian dan perkebunan. Lahan pertanian belum dijadikan komoditas kecuali hasil pertanian dan perkebunannya menjadi komoditas berarti di Eropa.
Negara dan kekuasaannya bagaimana pun juga berdiri di atas landasan ketahanan pangan. VOC jatuh karena sudah tidak mampu memenuhi tuntunan distribusi rempah-rempa ke Eropa karena banyaknya kecurangan dalam proses distribusi ini dilakukan oleh orang-orang dalam sendiri. Orde Lama pun hancur bersamaan dengan mewabahnya rawan pangan yang menyebabkan mahalnya harga kebutuhan pokok. Pemerintah begitu takut dan akan menjadi lembaga rapuh jika di negaranya kelaparan melanda.
Maka, untuk menghindari kerapuhan fondasi tersebut, tidak heran pemerintah Indonesia secara berkala dan terus meningkatkan impor beras, kedelai, dan bahkan garam dari negara-negara tetangga. Dominasi tidak pernah membawa pemerintah pada pikiran jernih: misalkan peningkatan hasil pertanian dan perkebunan, membuka lahan-lahan garapan baru, bila perlu mempekerjakan tentara dalam upaya pertumbuhan hasil pertanian dan perkebunan. Mereka ada untuk mempertahankan negara ini.
Kebijakan pemerintah dalam regulasi-regulasinya harus benar-benar menyentuh dimana dan di posisi mana negara mereka berada. Akan sulit, jika kesadaran terhadap pentingnya hasil pertaninan belum tumbuh dalam diri para pemegang kebijakan. Orde baru telah memberikan contoh: negara ini pernah mengalami swa sembada pangan walaupun hanya berlangsung beberapa tahun saja. [ ]
0 komentar:
Posting Komentar