Saya belajar menari sejak umur 5 tahun, TK. Saya amat tertarik dengan seni gerak tari bukan wayang seperti ayah atau nyinden seperti ibu. Sekarang menyesal tidak bisa seperti mereka, ya?
Oh-oh. Saya kira anak-anak Jerman tidak peduli terhadap budaya menari tradisional. Ternyata saya salah besar. Setelah saya pamer beberapa tarian selama pameran foto Kampret cs berlangsung, justru mereka ketagihan ingin melihat lagi bahkan memaksa mencoba pakaiannya segala dan foto-foto. Seru! Bagaimana dengan anak Indonesia? Jangan sampai kalah, ya?
Pameran foto, menerima panggilan
Kamis, 24 Oktober 2013. Seperti biasa saya mengantar anak-anak ke sekolah. Yang paling besar sudah pagi-pagi naik bus.
Menuju lantai bawah, saya dihadang seorang guru perempuan baru. Namanya Frau P. Ia mengatakan bahwa pada hari Rabu malam, ia menelepon saya di HP, dan meninggalkan pesan. Oalahhh … sejak di Jerman tangan saya selalu lupa ngrambah telepon genggam. Sepertinya waktu itu saya sedang berada di rumah Kompasianer Cici dan meninggalkan HP di dalam mobil. Yaaah, kalau jaman single dulu HP seperti ada lem-nya di tangan ini. Sekarang jadi lain. Lupa teruuuuus.
Si ibu mengatakan bahwa anak didiknya (kelas Kinderbetreuung, anak SD dan TK yang bapak ibunya bekerja dan dititipkan di TK) antusias melihat pameran foto tentang Indonesia.
Walaaah … saya menyanggupi hari Jumat saja. Hari Kamis sepertinya repot karena disaat yang bersamaan, ada acara Oma-Opa Tag (anak-anak TK mengundang kakek-nenek untuk minum kopi dan makan kue bersama-sama), pukul 14.00-16.00. Pukul 16.15, saya mengajar sampai pukul 17.00.
Sedangkan sabtu sudah dibooking keluarga Indonesia-Jerman dan minggunya ada acara penutupan sama setidaknya 100 anak yang ikut lomba gambar, ditambah pengunjung biasa.
Siangnya. Pukul 13.30, ia menelpon lagi. Katanya, “Satu jam lagi, kami berenam belas akan datang di museum!”
Haduuuuh. Satu jam lagi??? Pameran foto Kampret menerima panggilaaaaan. Siap! Segera saya antar anak ke TK bersama kakak perempuan dari mertua (yang saya pinjam untuk hadir). Lalu balik lagi ke rumah untuk menyiapkan materi mengajar dan berpakaian rapi. Kembali ke museum, tepat waktu.
Zugabe, lagi dong tari tradisionalnya
Seperti yang sudah-sudah, kami ajak anak-anak dan dua guru itu untuk keliling museum. Dimulai dari papan pertama tempat nangkring foto grup Kompasiana hingga lantai bawah.
Saat di lantai dua tempat foto-foto dipajang, tiba-tiba salah seorang anak mengacungkan jari dan menanyakan kapan saya menari lagi.
OK, saya ambil selendang dan pencet tape recorder. Tari kelinci kesukaan merekapun mengisi ruangan. Sayang sekali di tengah-tengah CD nya macet. Barangkali karena hentakan atau lompatan atau akibat goresan pada CD. Duh, siapa yang main-main CD, ya?
Akhirnya, saya ganti dengan kaset Poco-poco, agar semua bisa mengikuti. Walaaah, heboh. Semua mengikuti irama dengan baik. Gelak tawa kegelian menambah hangat suasana siang hari itu.
Zugabe … zugabe … zugabe … mereka bertepuk tangan sambil mengucapkan kata ini. Artinya, mereka tuman, minta menari lagi supaya musik tetap berjalan.
Saya bujuk mereka agar datang pada hari Minggu saja dan pelajaran menari dilanjutkan, bahkan ditambah dengan tarian lain. Hari Kamis itu jadwal saya sangat ketat. Harus dibagi.
Usai menari, mereka merengek untuk mencoba topi kelinci. Satu-persatu, mereka memasangkannya di kepala dan minta difoto. Hoppalaaa … 14 anak! Untuk dua guru tidak meri alias iri.
Begitu pula dengan kuda lumping. Meski saya tidak menarikannya, gambaran foto dari mas Budi dan hiasan kuda lumping mini berikut pecutnya, membuat mereka gatal ingin memegang satu-persatu.
Disampingnya tergantung koleksi reog Ponorogo. Topeng reog mini yang saya beli dalam kunjungan ke Jawa Timur bulan Agustus 2013 yang lalu, menarik hati mereka. Memang sih, baunya apek. Aduuuh, asli rambut kambing. Dasar prengus, eh bau pesiiiing! Belum mandi, ya, hewannya?
Tapi dasar anak-anak memiliki keinginan yang hebat untuk tahu banyak soal tarian, mereka meminjam untuk dipakai. Merasakan bagaimana kalau menari dengan topeng dan serasa gelap dunia lantaran hanya lubang kecil di bagian mata saja yang ada untuk meneropong apa yang ada.
Barongsai banyak saya lihat di Semarang, dimana Kopi Semawis dan Kampung Pecinan menjadi gudangnya. Pengaruh budaya dari China ini amat menarik. Untuk Barongsai, tidak kami ijinkan karena kainnya tidak panjang, melainkan terdiri dari tiga potong kain. Kalau diambil anak-anak dan dipakai, bisa berantakan.
***
Nah, hebat ya kebudayaan Indonesia sampai menarik minat anak-anak Jerman untuk tahu lebih banyak bahkan mempraktekkan gerakannya dan berfoto bersama kostum?
Kalau begini, anak-anak Indonesia bisa malu, karena yang dipakai adalah topeng Gaban, baju kesatria Jepang atau topeng impor lainnya?
Entahlah. Yang jelas, saya bangga sekali bahwa budaya kita masih bisa menghipnotis orang luar, setidaknya anak-anak yang saya temui hari Kamis itu. Salam budaya. (G76).
0 komentar:
Posting Komentar