Mungkin anda terusik dengan pertanyaan saya, bukankah memang orang Islam menikah di KUA?
Nanti dulu… mari kita luruskan…
Menikah di KUA maksud saya adalah melaksanakan ijab qabul di Balai nikah Kantor Urusan Agama sesuai amanat Peraturan Menteri Agama (PMA) pasal 21 ayat 1, dan pada jam kerja. Yang banyak terjadi adalah masyarakat mencatatkan pernikahan di KUA, namun pelaksanaan ijab qabulnya diluar balai nikah dengan mengundang Penghulu atau Pegawai Pencatat Nikah pada waktu yang telah mereka tentukan.
Apakah ada bedanya? Ada…
1. Menikah di KUA lebih menjamin kesempurnaan pernikahan anda.
Meski secara syar’i hanya dibutuhkan calon manten, wali, saksi dan Mahar. Namun secara hukum petugas yang mengawasi pernikahan bukanlah sembarangan orang. PPN(Petugas Pencatat Nikah) dan Penghulu-lah yang mempunyai kewenangan memeriksa, mengawasi dan mencatat pernikahan. Banyak yang tidak menyadari bahwa, ketika shohibul hajat pernikahan mengundang petugas KUA menghadiri ijab qabul, belum tentu yang hadir adalah PPN atau penghulu.
Coba anda bayangkan, kalo pada hari baik ada begitu banyak peristiwa pernikahan pada jam yang sama, dengan keterbatasan personil, seringkali pegawai non PPN dan Non penghulu-pun ditugaskan ke lokasi ijab qabul. Ini akan menyebabkan pernikahan anda cacat hukum. Tapi kebanyakan orang menutup mata akan hal ini. Yang penting petugas itu dari KUA, membawa berkas nikah maka pernikahanpun dilaksanakan.
2. Dengan menikah di balai nikah KUA, anda ikut menjaga “Kebersihan” Kantor Urusan Agama.
Diakui atau tidak, banyak persoalan yang muncul dari keengganan masyarakat mengurus pernikahan dan melaksanakan ijab qabul di KUA, antara lain:
a. Harus ada personil KUA yang keluar kantor untuk mengawasi dan mencatat pernikahan di luar kantor. Padahal belum ada aturan yang pasti tentang transport petugas ini. Jangan berharap petugas ikhlas melaksanakan permintaan anda bila harus mengorbankan bensin, waktu, kesehatan dan resiko dijalan tanpa ada kompensasi layak untuk itu, itu tidak manusiawi.
b. Berkurangnya personil di kantor saat jam ijab, menimbulkan persoalan tersendiri di KUA. Banyak kerjaan yang akhirnya terbengkalai. Masing-masing petugas jelas ada tugas dan fungsi masing masing, sehingga satu pegawai belum tentu memahami tugas yang dikerjakan oleh pegawai yang lain, ini menjadi salah satu alasan untuk mengangkat Wiyata Bhakti yang lagi-lagi mengharuskan KUA untuk membayarnya. Kalo negara tidak memberikan honorarium WB ini, kepada siapa lagi honor itu dibebankan kalo tidak kepada masyarakat yang meminta pelayanan.
c. Melaksanakan pernikahan diluar balai nikah akan membuat semakin banyak fihak yang terlibat. Berawal dari pendaftaran melalui orang ketiga, sampai pada hari H dan jam J pernikahan, sesungguhnya akan semakin banyak urusan dan biaya yang harus ditanggung. Jangan heran bila ada yang mengaku membayar jutaan rupiah untuk proses pendaftaran nikah sampai mendatangkan penghulu di hari pernikahan. Ada amplop urusan Kelurahan, Amplop untuk tidak pemeriksaan, amplop untuk mendapatkan Bukti SUSCATIN, amplop untuk penghulu dan lain sebagainya, yang mungkin sang Calon mantenpun hanya dapat informasi tersebut dari pihak ketiga.
d. Kalau para calon pengantin meluangkan waktu untuk mengurus sendiri pernikahan dan melaksanakannya di balai nikah, maka sesungguhnya sesuai regulasi, ia hanya perlu untuk membayar Rp. 30.000,- saja dan BISA MENOLAK jika diminta untuk membayar lebih.
e. Diakui atau tidak, keengganan masyarakat melaksanakan pernikahan di balai nikah dimanfaatkan oleh para oknum untuk memperkaya diri. Bila hal ini sudah berakar dimasyarakat, akan semakin membengkaklah biaya yang harus dibayar oleh calon pengantin, karena semakin banyak pihak yang ingin ikut merasakan “kerelaan” calon manten untuk membayar lebih.
f. Menikah di KUA akan membuat masyarakat semakin cerdas. Mereka akan tahu seluk beluk pernikahan beserta segala tahapannya. Ini akan meminimalisir keengganan masyarakat mencatatkan pernikahannya di KUA, sehingga akan semakin berkuranglah praktek pernikahan dibawah tangan/nikah siri.
3. Banyaknya masyarakat yang memanfaatkan pelayanan KUA secara langsung, akan mendorong Kementerian Agama untuk membenahi KUA. Banyaknya kritik dan saran dari masyarakat yang melihat dan merasakan secara langsung pelayanan KUA akan membuat Kementerian Agama malu bila sampai ada pandangan minor tentang pelayanan KUA yang menjadi ujung tombak Kementerian Agama di Masyarakat, tak pelak akan ada langkah-langkah strategis yang harusnya diambil:
a. Peningkatan SDM pegawai KUA baik secara mentalitas maupun profesionalitas.
b. Akan ada usaha memperbaiki serta melengkapi sarana dan prasarana di KUA.
c. Perbaikan kesejahteraan pegawai, hal ini akan meminimalisir keinginan untuk memperoleh penghasilan dengan cara yang tidak halal.
Saat ini Kementerian Agama nampaknya serius memperbaiki diri, pengangkatan person yang dikenal bersih dan berdedikasi tinggi seperti Anggito Abimanyu dan M. Jasin menjadi indikasi keseriusan tersebut. Tentu peran serta masyarakat untuk berpartisipasi, mengawasi memberi masukan dan saran akan semakin mempercepat proses bersih-bersih di Kementerian Agama.
Makin banyaknya oknum pegawai Kementerian Agama yang terungkap menyalahgunakan wewenang menjadi bukti, bahwa proses pembersihan telah berjalan. Pengungkapan kasus-kasus penyelewengan tersebut menjadi peringatan kepada semua, untuk segera membersihkan diri, menghentikan praktek-praktek yang keliru supaya tidak semakin menjadi dan menjerumuskan dimasa yang akan datang.
Selain itu diharapkan akan segera muncul regulasi dan aturan yang jelas sehingga semakin memantapkan lengkah pembaruan dan perbaikan di KUA khususnya dan Kementerian Agama Umumnya.
0 komentar:
Posting Komentar