Pendekatan Ekonomi terhadap Politik tak dapat dimungkiri; kedua disiplin tersebut merupakan bentuk simbiosis mutualisme. Kekuatan ekonomi seseorang hampir selalu berbanding lurus dengan kekuatan politiknya. Faktor-faktor yang dikenal dalam disiplin ekonomi (produksi) selalu berfungsi dalam politik praktis. Efisiensi, misalnya, yang memungkinkan tujuan dapat tercapai dengan upaya atau biaya (ongkos pada sistem produksi) yang minim.
Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan pada 2014 sesungguhnya lebih merupakan ajang tanding kekuatan ekonomi, alih-alih Ide. Aristoteles, bapak Ilmu Politik itu, mengatakan bahwa “bagaimana manusia akan bertindak dalam hal tertentu bergantung pada pengaturan kehendaknya secara benar dan tidak pada kesempurnaan inteleknya.” Hal ini juga diulas kembali oleh Weber dan dikenal dengan teori Rasionalitas Bertujuan: suatu tindakan dikatakan benar (rasional) apabila dapat mencapai tujuan dengan efisien. Calon Anggota Legislatif (caleg) sebagai representasi dari suara partai melakukan hal yang persis dikatakan Aristoteles dan Weber, bahwa kesempurnaan intelektual bukanlah hal yang utama, melainkan kesadaran dalam bertindak untuk mencapai tujuan. Dan Politik akan selamanya seperti itu dengan tujuannya yang abadi: kekuasaan.
Dominasi kekuatan ekonomi dalam ranah politik di Indonesia akhir-akhir ini cukup menakutkan. Bukan hanya membunuh ide, lebih jauh, ia juga mengamputasi politik menjadi sebuah pekerjaan (berkaitan dengan kecakapan melaksanakan tindakan yang umum), bukan profesi (berkaitan dengan kecapakan sesuai disiplin ilmu tertentu). Manifestasi hubungan kedunya dapat terlihat dari hal yang paling “kecil”, yakni Baliho, Spanduk, Poster, dsb. Seorang caleg dengan kekuatan ekonomi luar biasa dapat dilihat dari jumlah titik baliho atau ukurannya. Hal itu belum termasuk biaya “serangan fajar” yang telah mahfum dilakukan saban Pemilu atau Pilkada. Ide-ide yang tertanam serta yang menjadi adagium utama dalam politik seperti kebebasan, kesetaraan, hingga emansipasi, menjadi kabur dan ditinggalkan oleh pelakunya (baca: politikus).
Pelbagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka sosialisasi juga belum memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat. Hal ini membuat politik menjadi semakin jauh dari jangkauan masyarakat, serta secara tidak langsung menciptakan sifat apatis yang masif terhadap politik, dan ini merupakan masalah serius bagi masyarakat! Suara pemilih disederhanakan sesuai dengan nilai ke-ekonomiannya: harga. Setiap suara hanya akan dihitung sesuai dengan harga yang umumnya telah menjadi kesepakatan umum atau kebiasaan. Sebaliknya bagi pemilih, dengan pendekatan pragmatais yang dilakukan oleh politikus, ia tak lagi melihat suaranya sebagai sarana untuk mewujudkan ide atau merupakan bagian yang tak tersipsahkan dari upaya politik, melainkan hanya sebatas komoditi yang memiliki nilai, harga. Dengan pendekatan pragmatis seperti yang dipraktekan itu, kita tak bisa berharap banyak, bahkan kualitasnya tak menutup kemungkinan lebih buruk dari saat ini.
Politik, sebagaimana diutarakan oleh Weber dalam karyanya Sosiologi, merupakan instrumen publik yang digunakan untuk kepentingan publik. Bila kepentingan dalam politik bergeser menjadi kepentingan individual atau golongan, seperti memperkaya diri, niscahya kemajuan dalam berpolitik sulit dicapai, dan mengancam kualitas politisi pada masa yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar