Mubazir. Itu alasan saya mengapa pengukuhan Wali Nanggroe harus tetap dilakukan. Setelah istana mewah yang dibangun di Lampreneuet Aceh Besar, setelah miliaran rupiah uang rakyat Aceh dikucurkan untuk mengangkat harkat dan martabat Wali Nanggroe dan setelah perjalanan menyakitkan rakyat Aceh untuk mencapai kesepahaman damai yang terealisir dalam MoU Helsinki. Selain itu juga, adanya keyakinan saya bahwa rakyat Aceh pun tidak dapat mengingkari sejarahnya sendiri, dimana Wali Nanggroe merupakan bagian dari perjalanan sejarah Aceh yang sangat erat dengan adat istiadat dan budaya Aceh yang sangat tinggi.
Keyakinan saya ini dilandasi oleh hasil diskusi-diskusi saya mulai dari kedeu-kedeu kopi hingga hotel berbintang dengan berbagai kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh yang tidak satupun menolak keberadaan Wali Nanggroe. saya berkesimpulan, akar permasalahan bukanlah gelar Wali Nanggroe melainkan berada pada sosok yang ditunjuk secara sepihak oleh para eks kombatan untuk menjadi Wali Nanggroe yaitu Malik Mahmud Al Haytar.
Sosok kontroversial ini memiliki catatan hitam yang telah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Aceh. Mulai dari aktor di balik pembunuhan tokoh-tokoh Aceh Merdeka beberapa waktu lalu, “kudeta” politik terhadap kepemimpinan MP-GAM di Stavanger Norwegia hingga figurnya yang kurang merakyat dengan masyarakat Aceh. Kurang islami kata seseorang di sebuah kedeu kopi, sehingga dianggap tidak cocok. Malik Mahmud juga diragukan kemampuannya dalam membaca al quran, terbukti dengan “skenario” penghilangan kewajiban pra syarat seorang Wali negeri syariah untuk diuji kefasihannya membaca ayat-ayat suci firman Allah oleh DPRA. bahkan seorang anggota DPRA dari fraksi Partai Aceh, Abdullah Saleh menyebut tak elok seorang Wali diuji baca quran. Berita kontroversi Wali Nanggroe yang paling fenomenal saat ini adalah usulan fraksi Aceh DPRA biaya pengukuhan Wali Nanggroe sebesar 50 M. 50 kali lebih besar daripada pelantikan Presiden RI.
Sikap dan tabiat inilah yang sebenarnya menjadi sumber antipati rakyat Aceh terhadap sosok Wali Nanggroenya sendiri. Sikap Pemerintah Aceh dan DPRA yang terlalu “menganakemaskan” Wali Nanggroe jauh lebih penting daripada persoalan-persoalan kesejahteraan rakyat. Rakyat marah karena pemerintah dan DPRA begitu arogan dan bermewah-mewah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan-kepentingan kelompoknya, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Namun demikian, bagaimanapun, pengukuhan Wali Nanggroe buat saya harus tetap terlaksana. Sebab apabila tidak, maka ratusan miliar rupiah yang selama ini dikeluarkan oleh rakyat Aceh untuk kepentingan Wali Nanggroe akan raib begitu saja tanpa pertanggungjawaban. Rakyat pun dapat menuntut kerja nyata Wali Nanggroe setelah miliaran rupiah ia habiskan untuk berbagai keperluannya. Selain itu, rakyatpun dapat menuntut pertanggungjawaban dan audit keuangan Wali Nanggroe atas berbagai kegiatannya itu, karena bagaimanapun uang yang digunakan sang Wali bukanlah uang neneknya, kakeknya, ataupun moyang sang Wali, melainkan UANG RAKYAT ACEH!
Azada
0 komentar:
Posting Komentar