blazer korea murah

Pemilu dan Pilpres 2014, Apa Pengaruhya terhadap Pemenuhan Sandang, Pangan dan Papan Rakyat Kecil?



Cuaca politik yang panas jelang 2014 ini nampaknya bukan akan membawa angin segar bagi kehidupan masyarakat. Semakin mendekati 2014 ini nampaknya hanya percetakan dan digital printing yang kebanjiran order foto caleg, capres dan beragam kepentingan pencitraan yang sengaja dipapar sebagai sampah visual di pinggir-pinggir jalan. Selebihnya, masyarakat golongan lain dan multi profesi lain hanya akan bertambah ruwet oleh hiruk pikuk politik (yang tak jelas) jelang pesta politik 2014 yang tidak akan lama lagi. Ironisnya, justru masyarakat fokus pada kekaburan-kekaburan politik tersebut. Melalui media ini, saya ingin mencoba memfokuskan kekaburan-kekaburan yang belakangan ini nampaknya makin mengemuka.


Beberapa waktu belakangan ini saya cenderung mengikuti berita khususnya dalam hal politik, (suatu hal yang sebelumnya jarang saya lakukan). Mulai dari curhat (atau lebih tepatnya keluhan) Presiden SBY tentang perlakuan media terhadap SBY dan partai Demokrat, mengenai sosok Bunda Putri, Trio Macan 2000, Wacana pencapresan sejumlah tokoh dengan beragam upayanya, mulai dari pencitraan positif sampai dengan “pemlintiran” opini masyarakat melalui subyektifitas hasil survey guna mendongkrak elektabilitas capres tertentu. Namun disini saya tidak akan membahas hal tersebut karena memang itu diluar kompetensi saya sebagai rakyat kecil yang bodoh. Saya hanya ingin menguraikan beberapa hal yang kiranya dapat bermanfaat secara langsung bagi masyarakat kecil Indonesia yang senasib dengan saya.


Pertama, kata pepatah mulutmu adalah harimaumu. Hal ini dapat kita adopsi dalam kehidupan kita sehari-hari menjadi peribahasa dengan bahasa kita sendiri perutmu adalah kerja kerasmu. Dalam pengamatan saya, apapun yang akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh para elite politik tersebut belum terlihat mereka memberi manfaat secara langsung terhadap kepentingan perut saya maupun kebutuhan hidup saya yang bersifat primer (sandang, pangan, papan). Tatkala kita menyimak dengan berbagai kiprah dari para elite politik (yang semuanya mengatasnamakan kepentingan rakyat), sebenarnya ada kesamaan muara dari segala upaya mereka yakni : meminta kita untuk menjadikan mereka wakil kita ataupun pemimpin kita. Beberapa lainnya bahkan banyak yang hanya sebuah pencitraan yang sama sekali tidak ada manfaatnya (pepesan kosong) bagi kita sebagai wong cilik. Sampai lima tahun mendatang saya bukanlah orang yang yakin pemimpin ataupun calon legislatif nanti mampu membenahi urusan primer golongan masyarakat lemah seperti saya. Tanpa kerja keras dan berjibaku sendiri, sistem (pemerintahan) belumlah akan mampu membantu meningkatkan hajat hidup kita. Masih jauh nampaknya mimpi kita tentang sarana dan prasarana menjadi lebih baik. Jamuan makan malam (gathering) bank masih akan tetap dipenuhi oleh nasabah-nasabah bank yang bermata tidak bulat (seperti saya). Pun halnya belum dapat saya pahami rakyat miskin golongan yang mana yang akan beralih dari mobil motor seharga 14 juta ke mobil “murah” yang harganya 100juta.


Kedua, kenali benar-benar calon pemimpinmu secara proporsional. Belakangan ini tentu kita sulit untuk tidak mendengar geliat dan aktifitas mereka-mereka yang mengklaim calon presiden. Mulai dari aksi penyelamatan TKI, melalui kicauan-kicauan tak jelas di twitter, melalui pengembaraan di sosial media dan sejenisnya. Namun hendaknya kita dapat menyikapi kiprah setiap calon dengan bijak dan cerdas. Ketika masyarakat tengah larut dalam demam Jokowi, saya menyarankan agar lebih dapat berpikir secara obyektif dan tidak terjebak dalam euphoria yang berlebihan, falsafah Jawa bilang “Ojo Gumunan”. Di republik ini bukan hanya Jokowi yang fenomenal, bahkan selain Jokowi masih ada capres yang hari demi hari dan menit demi menitnya hanya ngurusi tweeter dengan kicauan-kicauan yang jauh dari kepentingan mendasar masyarakat. Bahkan boleh jadi capres semacam itu tidaklah paham tentang urusan sandang pangan papan, BPJS/SJSN, tentang tatalaksana dan tata kelola birokrasi, pelayanan publik dan lain-lain selayaknya lelucon yang pernah dia tunjukkan pada acara talkshow di sebuah televisi swasta beberapa bulan lalu. Terhadap fenomena semacam itu hendaknya kita dapat lebih dapat memahami dan tidak mudah terbawa arus. Pencitraan dan popularitas sekarang ini teramat mudah dibangun melalui media social yang kian tak terbendung pengaruhnya.


Ketiga, mewaspadai dan menyadari realita bahwa jabatan adalah salah satu kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan absolut dan merupakan alat untuk menindas rakyat. Mungkin sekilas nampak amat ekstrim. Dalam dunia medis, evidence base medicine merupakan pedoman utama dalam penggunaan obat sebagai tool dalam terapi. Bukti klinis, bukti ilmiah, dipadu dengan pengalaman klinis dapat dijadikan tolok ukur yang cukup safe dalam menentukan sebuah tindakan kepada pasien. Apa maknanya? Jika merujuk pada pengalaman sejarah, rekam jejak, “bukti klinis”, berapa banyak pesakitan KPK yang notabene lima tahun lalu merupakan orang yang amat sangat dipercaya memegang amanah maupun menjadi wakil rakyat. Banyak yang menjadikan kepercayaan dari rakyat justru untuk menepuk dada seraya menghardik “Saya ini anggota DPR!!!” Banyak yang menjadikan jabatan sebagai alat untuk menginjak rakyat, menginjak pengusaha, menguasai birokrasi bahkan di level bawah bisa digunakan untuk menggertak orang lain saat antri di kantor kelurahan.


Keempat, sebaiknya kita tidak menjatuhkan pilihan pada sesuatu hal yang tidak kita yakini. Saya pribadi hingga kini belum memiliki kandidat calon, baik itu capres maupun caleg. Banyak yang menawarkan diri di pepohonan jalan dan di sudut-sudut kota maupun desa namun tidak satupun yang saya kenal. Tidak satupun yang saya lihat kiprahnya dalam dunia nyata. Banyak yang mengklaim memperjuangkan wong cilik, entah wong cilik yang mana. Banyak yang dulu mengaku jujur dan amanah ujung-ujungnya masuk bui. Nampaknya jika hingga hari H saya belum menemukan pilihan, saya memilih untuk bekerja seperti biasa. Bersama dengan 6000 nelayan yang juga merencanakan hal yang sama. Mencarikan nafkah untuk anak istri saya yang nasibnya tidak terpengaruh dengan siapapun kelak partai yang menjadi juara. Ini bukan berarti saya mengajak orang lain untuk golput. Sebagai penutup, meski demikian sebagai wong cilik saya tetap berharap terciptanya Indonesia yang lebih baik. Menjadi republik yang kue pembangunannya dapat dinikmati sampai lapisan masyarakat terkecil (red: termiskin). Wallahu a’lam.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/10/27/pemilu-dan-pilpres-2014-apa-pengaruhya-terhadap-pemenuhan-sandang-pangan-dan-papan-rakyat-kecil-605352.html

Pemilu dan Pilpres 2014, Apa Pengaruhya terhadap Pemenuhan Sandang, Pangan dan Papan Rakyat Kecil? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar