By. M. Ali Amiruddin
Gambar : Pilgrimage to Mecca / snus-news.blogspot.com
Tulisan ini bukan bermaksud menjudge bahwa setiap orang yang melaksanakan haji lebih memilih haji yang tertolak daripada haji yang diterima, akan tetapi ada banyaknya jamaah haji yang justru menjadikan perjalanan suci ini sebagai sesuatu yang sia-sia.
Haji, sebuah rutinitas ibadah tahunan mahdhoh bagi umat Islam saat ini menempati urutan pertama perjalanan suci dilaksanakan umat beragama. Sebagai perjalanan suci, haji pun menempati posisi istimewa dalam pandangan Allah SWT dan tentu saja mulia di pandangan Nabi Muhammad SAW, karena tiada sempurna umat Islam yang mampu ketika dia tidak melaksanakan haji hingga akhir hayatnya.
Tapi amat disayangkan, akhir-akhir ini ibadah haji terkesan kering dari makna spiritual, dan terkesan seperti jalan-jalan atau touring ke Mekkah sedikit sekali tampak cahaya ketaatan bagi orang-orang yang melaksanakan haji ini lantaran mereka melaksanakan haji dengan usaha yang tidak benar. Tak pelak, meskipun mereka berulang-ulang berangkat haji, akan sedikit sekali bahkan ada di antara mereka yang jauh dari agamanya lantaran semakin rendahnya perilaku lantaran tidak bertambah shaleh dan tidak pula bertambah wara’ ketika dihadapan dengan urusan dunia.
Benarkah sebagian jamaah haji memilih haji mardud ketimbang haji mabrur? Tentu jawabannya tidak, dan andaikan saya saya dan Anda mengatakan Ya tentu saja dianggap tidak berdasar dan aneh karena siapa saja yang melaksanakan haji tentu saja mengharapkan hajinya menjadi haji yang mabrur (diterima) dan bukan haji mardud (tertolak). Walaupun di antara jamaah haji tersebut tidak menyadari bahwa hakekatnya ibadah yang mereka laksanakan tidak berbuah kebaikan melainkan kesia-siaan.
Tapi apa yang saya tulis ini hakekatnya bukanlah rekayasa, hal ini didasarkan dari beberapa sisi yang mengakibatkan seorang jamaah haji kehilangan kemabruran (diterimanya) haji mereka lantaran melanggar beberapa ketentuan sebelum dan sesudah dilaksanakannya haji.
Pertama, di antara jamaah haji menganggap ibadah ini sebagai jalan-jalan (tamasya) meskipun pada kenyataannya mereka melaksanakan haji sesuai dengan kaidahnya, akan tetapi secara hakekat mereka telah kehilangan kebaikan dari pelaksanaan haji mereka lantaran dikotori oleh niat yang salah. Karena, ketika kita hendak melaksanakan haji hanya sekedar touring maka sesunggunya mereka lebih memilih haji mardud dari pada haji yang mabrur.
Kedua, sejatinya perjalanan suci dari ibadah haji ini dibiayai dengan uang yang halal, karena sebaik apapun ibadah seseorang apabila dibiayai dengan uang yang haram maka hakekatnya mereka akan mendapatkan kesia-siaan. Ada banyak orang yang bekerja berasal dari menyuap atau menyogok agar dia lolos mendapatkan pekerjaan itu. Dan anehnya, mereka yang melakukan penyuapan, baik yang menyuap dan disuap tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan amat diharamkan oleh Allah SWT, sehingga ketika suap-menyuap menjadi proses ketika hendak mencari rezeki maka hakekatnya mereka telah menipu diri sendiri.
Banyak orang bekerja karena keputusasaan ketika sekian lama bekerja tidak jua mereka dapatkan, maka menyuap adalah pilihan. Padahal proses awal yang diharamkan maka otomatis seluruh aktifitas kita dianggap sia-sia.
Begitu juga ibadah haji, jika dibiayai dengan uang yang diperoleh dari suap menyuap maka hakekatnya haji mereka akan sia-sia dan tentu saja haji mardudlah yang menjadi pilihan.
Ketiga, hakekatnya ibadah haji adalah bentuk pengabdian kepada Allah ‘Aza Wajalla dan kepadaNya lah haji itu ditujukan. Tapi ada banyak jamaah haji yang justru menipu dirinya sendiri dengan mengarapkan pujian dari orang lain sebagai keinginan untuk dihargai sebagai orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Karena keinginan inilah mereka yang ber-Haji selalu ingin dipanggil Pak Haji atau Bu Haji bahkan sebagai titel agar lebih dihormati dari orang lain dan tidak menyandarkan segala ibadahnya hanya kepada Tuhannya tapi justru sebuah harapan semu dan kosong yang mereka tujukan kepada seorang manusia (hamba). Hal ini memberikan indikasi bahwa hakekatnya mereka lebih memilih haji mardud daripada haji mabrur.
Keempat, Ibadah haji hakekatnya menjadikan pelakunya lebih wara dan tekun dalam beribadah. Tapi sangat disayangkan di antara mereka justru malah berlomba-lomba mencari kekayaan yang berlebih-lebihan, dan yang sangat disayangkan cara memperoleh uangpun penuh dengan tipudaya, berdagang dengan menipu pembelinya, pekerja yang melakukan korupsi dan tentu saja keengganan untuk membayar zakat meskipun hartanya sudah sangat berlebih-lebihan.
Dan tentu saja ada banyak jamaah ini yang melupakan hakekat haji sebagai bentuk penyatuan umat Islam, sehingga sebelum dan sesudah hajipun tidak menunjukkan makna keshalehan, rendahnya empati kepada sesama, tamaknya dengan urusan dunia, korupsi masih menjadi primadona, curang dalam perniagaan, bekerja dengan semaunya dan yang lebih parah lagi ketika mereka selalu membuat kisruh dan selalu melakukan konflik dan pertentangan daripada mencari pandangan yang sama sebagai bagian dari umat Islam.
Ada banyak hal yang menjadikan haji menjadi sia-sia tatkala sebelum melaksanakan dan sesudah melaksanakan haji justru penuh dengan kemaksiatan yang disengaja maupun berpura-pura tidak ingat bahwa perbuatan-perbuatan tersebut amatlah dilarang dalam Islam. Apalagi sebagai jamaah yang terpilih, hakekatnya hanyalah Keridhoaan dan SurgaNya lah yang menjadi tujuan.
Tapi semuanya kembali kepada setiap jamaahnya, apakah mereka memilih haji mabrur atau hanya haji mardud yang menjadi pilihan dan cita-cita mereka.
Mudah-mudahan setiap jamaah Haji mendapatkan barokah dan hidayah Allah SWT sehingga mereka selalu menautkan setiap perkara hanya kepadaNya dan tidak kepada makhlukNya. Aamiin
Wassalam.
Metro, Lampung, 25/10/2013
0 komentar:
Posting Komentar