Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Konon katanya di Indonesia ada perusahaan yang paling prosfektif yakni industri pembuatan amplop. Investasi di pabrik amplop begitu menguntungkan dan memiliki omset yang luar biasa. Konsumsi amplop di Indonesia memiliki urutan tertinggi di dunia. Benarkah demikian? Mari kita lihat realitasnya.
Birokrasi di negeri ini begitu kental dengan penggunaan amplop. Dari mulai tingkat RT sampai presiden layanan birokrasi identik dengan amplop. Indonesia adalah negeri yang memiliki kultur pemberi amplop. Mengapa segalanya mesti berdimensi amplop? Bukankah Indonesia adalah negeri mayoritas muslim yang mengajarkan keikhlasan, disiplin dan beramal soleh? Realitasnya suap dan amplop menjadi budaya yang masif di negeri ini.
Suap, korupsi dan birokrasi amplop menjadi berita keseharian dalam media massa dan realitas keseharian kita. Masyarakat melihat dan tercontohi oleh tokoh-tokoh publik yang bermain kotor dalam layanan-layanan publik, praktik demokrasi dan berbagai proyek lainnya. Dari tahun 2004 sampai 2012 tercatat 290 kepala daerah yang tersangkut korupsi. Gubernur 20 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, wakil wali kota 20 orang (Kompas, 25/10/13).
Berikut nama-nama yang menjadi contoh “keteladanan” suap dan amplop; Andi Malarangeng (proyek Hambalang), Anas Urbaningrum (proyek Hambalang), Akil Mochtar (proyek sengketa pemilukada MK) , Djoko Susilo (proyek simulator SIM), Rudi Rubiandini (proyek migas), Luthfi Hasan (proyek impor daging sapi), Angelina Sondakh (proyek Kemendiknas dan Kemenpora), Nazaruddin dan Istrinya Neneng Sri Wahyuni (proyek Hambalang, dan PLN), Zulkarnaen Djabar (proyek Al Qur’an dan laboratorium Madrasah Tsanawiah) , Emir Moeis (proyek PLTU Lampung)dll.
Sejumlah nama di atas setidaknya menjadi indikasi bahwa birokrasi dan layanan-layananan publik menjadi sarang birokrasi amplop. Hampir tidak ada dimensi layanan publik yang terhindar dari birokrasi amplop. Negeri ini memang buruk. Contoh sederhana terjadi hampir di semua daerah di Indonesia. Bila birokrat tertinggi berkunjung ke birokrasi bawahannya maka upeti amplop harus disediakan. Misal seorang pejabat pusat/daerah berkunjung maka yang di kunjungi harus mempersiapkan amplop tebal. Bila tidak dipersiapkan maka akan berdampak disharmoni dan berimbas pada karir bawahannya. Amplop telah menjadi mediasi harmonitas interelasi antar lembaga atau antar birokrasi. Padahal seorang pejabat pusat/daerah sudah memiliki dana oprasional dari negara dan jumlahnya fantastis.
Siklus “ATM” terjadi di negeri ini, birokrat tertinggi harus menerima setoran dari birokrasi dibawahnya. Ini sebuah siklus ATM yang kronis. Rakyat dan proyek layananan publik menjadi korban untuk memenuhi siklus ATM ini. Tidaklah heran berbagai proyek layanan publik dari mulai jalan raya, terminal bahkan bangunan peribadatan menjadi ajang birokrasi amplop. Sarana dan layanan fasilitas publik selalu berumur pendek, roboh, retak dan amblas. Menurut Achmad Heryawan layanan publik yang berhubungan dengan bangunan dan fasilitas umum lebih berkualitas zaman kolonialisme Belanda. Dia mencontohkan bangunan Gedung Sate yang kuat dan tahan gempa. Apakah di zaman kemerdekaan ini layanan publik lebih buruk? Apakah birokrasi pemerintah kini lebih buruk dari birokrasi kolonialisme?
Dunia birokrasi menjadi sarang suap, korupsi dan semaraknya birokrasi amplop. Padahal birokrasi sejatinya menjadi dimensi mempermudah kepentingan publik. Menurut Machfud MD Esensi dari birokrasi adalah pemerintah memberi pelayanan kepada rakyatnya. Rakyat tidak dijadikan budak dari birokrasi. Realitasnya rakyat menjadi korban dan penonton yang menyaksikan keserakahan para birokrat berkelas yang tak pernah kenyang dengan materi.
Di negeri ini amplop yang awalnya untuk mengirim surat berubah menjadi media menyelipkan uang, kelihatan sopan tapi jahat. Bahkan sekarang menggunakan dus dan tas yang besar untuk mengirimkan sejumlah uang. Bukankah tas dan dus dalam kasus Joko Susilo, Rudi Rubiandini dan Akil Muchtar sangat kontras? Suatu saat mungkin budaya suap itu akan menggunakan kontainer atau mobil bok. Sehinga istilah birokrasi amplop akan berganti menjadi birokrasi mobil bok dan birokrasi kontainer karena menyuap menggunakan mobil bok dan kontainer.
Negeri ini memang mengkwatirkan, nilai-nilai kejujuran dan keadilan tak berkutik menghadapi para petualang cinta dunia. Sumpah jabatan, janji dan komitmen awal sebelum menjabat di birokrasi hanyalah sebuah nyanyian yang kemudian sayup-sayup hilang dihempas angin kompleksitas politik dan kepentingan materi. Bukankah Akil Mochtar berjanji bila Ia korupsi berani dipotong jarinya? Bukankah Anas Urbaningrum kalau terlibat korupsi berajanji siap digantung di Monas? Bukankah semua birokrat/aparatur dinegeri ini pernah disumpah dan memiliki etika birokrasi? Bukankah semua beragama dan bertuhan?
Janji hanyalah janji, kitab suci dan keyakinan agama hanyalah topeng di KTP realitasnya ambisi dan birokrasi amplop telah menjadi agama baru dalam melakukan ritual materi (hubuddunya) yang tak pernah mengenyangkan. Selama suap, korupsi, gratifikasi, konspirasi dan birokrasi amplop masih dominan maka negeri ini akan tetap berjalan ditempat bahkan mundur jauh ke belakang. Dengan realitas birokrasi yang anomalis seperti ini, apakah anak cucu kita akan mampu menyaksikan HUR RI yang ke 100?
Melihat realitas para gubernur, kepala daerah, menteri, politisi, penegak hukum, pendidik dan masyarakat terjangkiti budaya amplop maka penulis agak khwatir, jangan-jangan tidak akan ada HUT RI yang ke 100. Bukankah birokrasi yang korup dan masyarakat yang abai pada etika moralitas kehidupan akan mengkroposi bangsa ini? Apakah kita sedang menunggu pertubuhan atau menunggu keruntuhan bangsa? Semoga negeri ini tidak ditakdirkan bernasib malang dan tak bermasa depan.
0 komentar:
Posting Komentar