Kondisi politik sekarang dengan kecendrungan multikultural, yang berorientasi kepada partikularitas membuat kebingungan dimana-mana. Disatu sisi, orang dituntut untuk melihat orang lain setara, namun dilain pihak, partikularitas seperti kultur menjadi ambigu untuk diterapkan, karena bertentangan dengan nilai-nilai universalitas.
Sebagai contoh, ekspresi partikular keagamaan. Ekspresi jilbab yang dilarang di Prancis untuk digunakan di sekolah negeri membuktikan hal tersebut. Begitu juga di Indonesia. Ekspresi keagamaan tidak bisa mentah-mentah diterima. Kasus-kasus perda yang mengatasnamakan syariah kerap dianggap mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini menjadi ambigu, karena selama politik itu mengeklusi atau mengecualikan, maka selama itu pula memunculkan ketidakstearaan.Pihak-pihak yang dikecualikan akan merasa tidak senang, dan mencari alasan-alasan ketidaksetaraan yang diterima mereka.
Diktum yang terkenal adalah apa yang dikemukakan FPI bahwa Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara setan. FPI mempertanyakan kenapa nilai-nilai identitas mereka dikecualikan tetapi tidak untuk nilai-nilai lain yang mereka kategorikan sebagai nilai setan.
Intinya, poltik global dan lokal adalah politik identitas, dimana masing-masing identitas yang berupa partikularitas diakui sebagai nilai-nilai yang harus dihormati.
Satu hal yang unik yang bisa kita lihat dari fenomena tersebut apa yang saya sebut sebagai ketidakbahagiaan. Politik identitas adalah politik yang tidak bahagia. Politik meminta pengakuan adalah politik yang kadang berujung kepada kegilaan. Ekspresi manusia Indonesia yang marah ketika budayanya diakui Malaysia menunjukkan betapa tidak bahagianya efek dari politik tersebut.
Politik pengakuan dan ingin diakui tidak terlepas dari efek globalisasi yang bisa jadi berasal dari nilai-nilai yang ditanamkan barat. Satu hal yang mulai hilang dari masyarakat Indonesia adalah politik “mengakui”.
Politik mengakui adalah antithesis dari politik barat yang mendapatkan afirmasinya dari dialektika Hegel.
Relasi Majikan-budak Hegel menerangkan bahwa 2 orang yang berinteraksi akan membentuk relasi kuasa sebagai bentuk pengakuan nilai-nilai diri dalam pertarungan identitas dan nilai-nilai partikularitas, dimana ciri independensi dan dependensi menyatu satu sama lain.
Namun, ada satu hal yang menggelitik. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa mereka harus bertarung? Kenapa mereka tidak bercinta saja? Atau kenapa mereka tidak main gaple bareng?
Interaksi yang didasari meminta prngakuan, memuncak pada imperialisme Belanda, Portugis Jepang dan Spanyol kepada Nusantara. Mereka meminta pengakuan sebagai bangsa yang unggul dan superior dibanding yang lain.
Jejak yang tersisa dari pertarungan politik pengakuan ini adalah residu politik “mengakui “ dari bangsa yang terjajah. Politik “mengakui” ini bukan politik inferior karena sudah seringnya terjajah. Politik “mengakui” adalah khas nusantara yang heterogen bahkan sebelum penjajah itu datang.
Politik “mengakui” adalah hal yang sering disalahartikan oleh budaya lain. Raja-raja Nusantara terkesan dengan bangsa asing yang datang ke Nusantara dan ingin mengambil nilai-nilai pengetahuan atau kelebihan yang bisa diadaptasi. Sesuatu yang naïf, tetapi membahagiakan. Orang lain tidak dianggap sebagai suatu hal yang ditaklukan, tetapi untuk diakui dikenal dan disinergikan. Ketika Jepang datang, harapan Nusantara untuk “mengakui” jepang sebagai saudara tua, mengalami kekecewaan. Sekali lagi, politik “mengakui” harus takluk dengan politik untuk “diakui”.
Namun dengan politik “mengakui” ini, setidaknya Nusantara lebih beradab dari bangsa lain dalam bertindak dalam pergaulan dengan bangsa lain.
Ambil contoh mengenai penyikapan mengenai isu kartun nabi dan kafe NAZI. Barat yang selalu mendasari kepada politik untuk “diakui” selalu kukuh dengan kekerasan kepala mereka. Keberatan Muslim Indonesia mengenai Nabi yang seharusnya sakral dan tidak dikartunkan, dijawab oleh mereka bahwa Muslim Indonesia harus mengakui nilai-nilai kebebasan berekpresi mereka.
Kafe NAZI malah berkebalikan. Orang-orang yang mendirikan kafe NAZI pada mulanya berasal dari politik “mengakui”. Mereka mencari tahu tentang keunikan tentara NAZI saat itu, dan lebih menitikberatkan pada permainan dibanding unsur sakralitas NAZI itu sendiri. Tingkah orang yang mendirikan kafe NAZI adalah sama seperti yang Agamben terangkan. Sama seperti anak kecil yang tidak tahu bahwa kertas yang dibuatnya untuk pesawat terbang adalah kertas akta jual beli tanah yang sakral. Mereka jelas tidak bermaksud menghidupkan kembali fasisme atau kebencian terhadap Yahudi. Mereka hanya ingin bersenang-senang dengan peralatan, lambang dan karakteristik tentara NAZI. Hal yang justru berkebalikan dengan kartun nabi yang sengaja mempermainkan yang sakral.
Karena begitu kuatnya poltik “mengakui”, maka sikap yang diambil pun adalah sikap yang ramah. Mereka yang mendirikan kafe NAZI tidak mau berlama-lama untuk berpolemik. Jika gerak mereka adalah “mengakui”, maka apa hak kita untuk mempertahankan milik orang lain. Artinya, jika kita mengakui bahwa NAZI adalah budaya eropa, dan eropa menolak terhadap prilaku NAZI apapun bentuknya, maka apa hak kita untuk bertahan kepada sesuatu yang kita akui dari orang lain.
Gerak “mengakui” adalah gerak menghormati “orang lain” sebagai yang kita akui. Gerak “diakui” bergerak kebalikannya, tidak nersahabat dan tidak membahagiakan. Betapa tidakbahagianya orang Eropa yang meminta pengakuan atas kebebasan berpendapat yang selalu digung-agungkan mereka. Betapa bahagianya orang Indonesia yang bisa tersenyum melihat orang Eropa kembali tersenyum karena kerelaan orang Indonesia membubarkan kafe NAZI.
Politik “mengakui” dalam beberapa hal mungkin bisa berdampak inferioritas. Politik “mengakui” kadang sebangun dengan plagiat, imitasi, kw, akulturasi dan politik kepo, tetapi secara tidak sadar membantu bertahannya manusia Nusantara. Kita tidak bisa membayangkan jika jaman dulu ada lembaga arbitrase mengenai masalah paten. Tetapi tulisan ini sekadar membahas hal yang baik dari politik “mengakui”. Politik yang juga sebangun dengan politik courtesy yang artinya kesopan-santunan sebagai ciri utama. Politik yang memperlakukan orang lain sebagai sumber kesenangan dan kreatifitas tanpa bermaksud menistakan apalagi menguasai yang lain. Sudah sepatutnya politik “mengakui” tetap dipertahankan, dan tidak melulu meminta pengakuan. Setidaknya, kita ingin membuka mata Hegel bahwa dua orang yang bertemu bisa saling tersenyum.
0 komentar:
Posting Komentar