Rupanya celoteh saya soal Resensi Buku DR Puspitasari (Suara Pembaruan 27 September 2013) yang saya tuangkan pada blog Kompasiana saya cukup mengundang kontroversi. Sampai-sampai, si penulis buku Saksi Kunci, eks jurnalis TEMPO Metta Dharmasaputra yang kini menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Kata Data News pun menuding saya menjadi bagian dari sebuah upaya perlawanan terhadap investigasinya terhadap Asian Agri.
(Resensi Buku Dr Puspitasari di Harian Suara Pembaruan, 27 September 2013)
Saran singkat saya, mungkin mas Metta perlu melakukan cek ke psikiater terdekat untuk mengetahui apakah mas sedang menderita Delusi atau apa, kok seenaknya menuduh seperti itu. Mas bisa cek ke kampus saya kalau penasaran dengan sosok saya.
Melihat reaksi yang begitu tajam tersebut, saya sendiri merasa cukup tersanjung, karena artinya tulisan saya, meski lebih banyak menyadur dari pandangan dosen saya dahulu Dr Maria Puspitasari dalam resensi bukunya di Suara Pembaruan, cukup menjadi pusat perhatian khalayak umum.
Ibu Ita (nama panggilan Dr Maria Puspitasari) sendiri, ketika berbincang dengan saya, mengatakan dirinya jadi was-was karena beliau memperoleh semacam nasihat dari salah seorang akademisi UI lainnya. Beliau adalah seorang sosiolog ternama berinisial T.A.T (saya enggan mengeja nama lengkapnya atas permintaan bu Ita).
Sosiolog T.A.T itu menasihati bu Ita agar jangan terlalu keras dalam mengkritisi kasus Asian Agri, apalagi melawan jurnalisme dan grup TEMPO, karena menurut sosiolog itu, ada kepentingan mafia yang lebih besar dalam memojokkan Asian Agri sebagai penjahat pajak.
Mendengar penuturan ibu Ita, saya inisiatif menanyakan kepada sosiolog T.A.T itu, apa maksudnya ada kepentingan mafia yang lebih besar di balik kasus Asian Agri?
Ia pun menjawab,
“Kamu jangan buta, Edwin Suryajaya sampai repot-repot mengeluarkan biaya Rp 100 juta untuk mengawal pengadilan Vincent yang menjadi narasumber utama kasus ini. Dan saat itu Edwin Suryajaya lagi rebutan Adaro dengan Sukanto Tanoto. TEMPO pun terlibat cukup intens dalam masalah ini, tidak hanya Metta Dharmasaputra, juga Bambang Harimurti yang saat itu kalau tidak salah menjabat sebagai Pimred TEMPO. Kemudian ada Denny Indrayana ikut turun tangan. Ini lebih dari sekedar misi nasionalisme mengejar penjahat pajak. Kasus Asian Agri ini lebih merupakan persaingan bisnis raksasa antara Edwin Suryajaya dan Sukanto Tanoto. Kamu harus hati-hati mengkritisi ini, seperti yang saya sampaikan kepada bu Ita, karena lawan kamu bicara soal triliunan rupiah, bisa hilang kamu nanti.”
Sayangnya, nasihat tersebut tidak membuat saya gentar sedikit pun. Pucuk dicinta, ulam tiba, bu Ita pun memperkenalkan saya pada Dr (Ph.D) Ferdinand T Andi Lolo dari jurusan Kriminologi UI. Dari perkenalan ini, Pak Ferdinand mengajak saya menghadiri acara Media Briefing di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat pada 25 Oktober 2013.
Beliau mengatakan, mungkin dengan hadir pada acara bertema ‘Sengkarut Pajak di Asian Agri Group, Kasus Pidana atau Administrasi?’ ini, mata saya bisa lebih terbuka dalam memahami kasus pajak Asian Agri.
Pak Ferdinand bilang, jangan khawatirkan ancaman atau apapun yang menyinggung saya soal tulisan saya soal Asian Agri. Pesan beliau, cukup tetap berpegang pada kaidah keilmuan, maka tak usah gubris tudingan dibayar atau apapun. Toh mereka tidak bisa membuktikan adanya bayaran terhadap saya. Justru bagi saya, mas Metta lah yang harus membuktikan apa betul seluruh dana Rp 100 juta dari Edwin Suryajaya itu digunakan untuk mengawal pengadilan Vincent dan tidak digunakan untuk hal lainnya sebagaimana jurnalis amplop lainnya.
Kembali ke laptop, eh, kembali ke topik. Acara di Bakoel Koffie itu dihadiri pembicara :
- Prof. Dr. Romli Atmasasmita (Pakar Hukum Pidana)
- Chuck Suryosumpeno (Ketua Satgassus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi Kejaksaan Agung)
- Yustinus Prastowo (Pengamat Pajak)
- Dr (Ph.D) Ferdinand T Andi Lolo (Kriminolog UI)
Saya pun memutuskan hadir pada acara yang dimulai sekitar pukul 14.00 WIB lewat sedikit alias ngaret-ngaret wajar ala Indonesia :D
Ada aspek menarik dalam ulasan acara ini, seperti disampaikan Prof Romli. Menurut pakar hukum pidana ini, kasus Asian Agri tidak berjalan melalui proses yang semestinya. Prof Romli mengatakan,
“Agak aneh bahwa kasus Asian Agri tidak melalui proses pemeriksaan SPT oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam mekanisme hukum yang benar, Asian Agri sebagai korporasi harus diadili terlebih dahulu melalui Pengadilan Pajak untuk menentukan apakah kekurangan pajak Asian Agri berstatus Administratif atau Pidana. Sedangkan dalam kasus Asian Agri, pemeriksaan hanya dilakukan kepada Suwir Laut atau tersangka individu dan yang lebih aneh lagi, pada keputusan Mahkamah Agung ditetapkan bahwa Suwir Laut diputus bersalah bersamaan dengan Asian Agri secara korporasi ditetapkan harus membayar denda akibat kesalahan Suwir Laut. Kenapa saya bilang aneh? Karena sepanjang kasus ini dimulai hingga diputus, Asian Agri sebagai korporasi tidak pernah diperiksa, baik oleh Pengadilan Pajak, Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung, tapi tiba-tiba dinyatakan ikut bersalah dan harus membayar denda akibat kesalahan Suwir Laut,”
Penjelasan Prof Romli ini didukung juga oleh Dr Ferdinand dan Yustinus Prastowo yang melihat dari kacamata ilmunya masing-masing, namun menyepakati bahwa ada kejanggalan dalam kasus Asian Agri.
Saya coba gambarkan disini. Berikut proses yang seharusnya dilalui oleh Asian Agri :
Pada kasus Asian Agri yang terjadi saat ini, berikut proses yang dilalui dan dinilai para akademisi sebagai kejanggalan hukum, sebagai berikut :
Nah, kira-kira demikian proses hukum yang terjadi pada kasus hukum Asian Agri. Meski saya bukan berasal dari jurusan hukum, tapi jurusan komunikasi, secara kasat mata saja bisa saya simpulkan ada kejanggalan dalam proses hukum kasus Asian Agri. Tak aneh, para akademisi macam Prof Romli, Dr Ferdinand, Dr Puspitasari, Yustinus Prastowo pun menilai ada kejanggalan dalam proses hukum kasus Asian Agri.
Mungkin itu sebabnya Prof Romli juga mengatakan bahwa pengkaitan Asian Agri dalam putusan bersalah Suwir Laut oleh Mahkamah Agung lebih merupakan Opini Hukum ketimbang Produk Hukum, karena pengkaitan tersebut hanya berupa pernyataan sepihak tanpa adanya proses pemeriksaan dan proses hukum yang benar.
Dan wajar pula Dr Ferdinand mengatakan kalau boleh jadi ada unsur politisasi terhadap kasus Asian Agri, tentunya dalam rangka menghajar Sukanto Tanoto dalam persaingannya dengan Edwin Suryajaya.
Edwin Suryajaya yang dekat dengan pemerintah, wajar saja jika memang mampu mengerahkan Denny Indrayana, Bambang Harimurti (TEMPO) dan sebagainya.
Nah, pertanyaan saya justru saya sampaikan pada Metta Dharmasaputra sebagai penulis buku investigasi Saksi Kunci, apakah mas Metta sudah memahami alur proses hukum yang harus dilalui Asian Agri sebelum membuat justifikasi sepihak bahwa Asian Agri melakukan kejahatan pidana?
Dan yang tak habis pikir, sampai kapan mas Metta mau menuding semua akademisi dibayar untuk melawan investigasinya terhadap Asian Agri?
Apakah semua akademisi yang melihat kejanggalan-kejanggalan ini terus menerus dituding melawan perjuangan mas Metta?
Ataukah dengan mudah saya katakan, justru mas Metta yang harusnya lebih melek mata sebelum menyalahkan orang lain, padahal justru kesalahan ada di pihak mas Metta sebagai jurnalis yang melakukan investigasi salah metode?
Dan tolong bantah dengan kaidah keilmuan mas, jangan pakai tudingan-tudingan, kelihatan banget tong kosong nyaring bunyinya kalau pakai cara begitu.
Saya pribadi bukan bertujuan membela Asian Agri maupun Sukanto Tanoto dari kasus pajaknya. Justru sebagai kalangan ilmuwan atau akademisi (dalam bahasa kerennya), hal-hal seperti ini yang menjadi tugas kami menelaah.
Kok malah dituding dibayar untuk melawan kebenaran?
Ketika Einstein membantah dan merevisi hukum gravitasi Newton dalam hukum relativitas khusus dan umum yang dilansirnya awal tahun 1.900-an, apakah dia bermaksud melawan kebenaran?
Tidak kan?
Tujuannya lebih untuk melihat apakah apa-apa yang sudah dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan atau tidak.
Jujur saja, dengan tudingan-tudingan mas Metta, bu Ita sampai-sampai berkomentar :
“Kok jurnalis sikapnya begitu ya, begitu mudah menuding orang lain tanpa alasan dan landasan yang faktual? Justru dengan mudahnya ia menuding demikian, bukankah terlihat bahwa ia begitu mudah membuat tuduhan-tuduhan. Lantas, apakah dengan sikap yang demikian, ia mampu mempertanggungjawabkan investigasinya? Atau dengan sikapnya yang mudah menuduh seperti itu, justru kesimpulan-kesimpulan yang diambil olehnya malah penuh dengan tuduhan dan asumsi?”
Masuk akal tanggapan bu Ita terhadap mas Metta.
Begitu mudah menuduh apa-apa yang berlawanan dengan dirinya sebagai bayaran, terlebih sebagai upaya melawan kebenaran, maka boleh diragukan kesimpulan-kesimpulannya dalam buku Saksi Kunci pun mengandung banyak sekali tuduhan dan asumsi.
Sekian dan terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar