Ditulis oleh:
Tia Prasyatiani
(mahasiswi program studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia)
Mahasiswa adalah pelaku penting dalam suatu proses perubahan. Ini bisa terlihat dari kasus pada zaman reformasi, dimana mahasiswa berhasil menduduki kantor MPR. Aksi yang dilakukan secara demonstrasi tersebut bertujuan agar pemerintah dapat mendengar aspirasi masyarakat yang dalam hal ini diwakilkan oleh mahasiswa. Mereka menuntut agar Presiden saat itu lengser dari kursinya.
Untuk menyampaikan suatu aspirasi agar didengar oleh pemerintah, sebenarnya dapat dilakukan oleh beberapa cara, seperti menulis artikel, melalui lagu, melalui gambar, hingga bertumpu pada demonstrasi. Jadi demonstrasi adalah cara akhir yang dapat dilakukan jika cara-cara sebelumnya tidak berhasil. Namun ingat, demonstrasi yang dibicarakan disini adalah demonstrasi yang terorganisir.
Saat melakukan demonstrasi, jangan pernah percaya pada provokator. Ingat pada manajemen aksi yang kita lakukan. Hal ini sering kali terbengkalai oleh para demonstran. Mereka sering terhasut oleh omongan provokator, hingga menyebabkan demonstrasi menjadi anarkis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana tingkat agresivitas mahasiswa saat melakukan demonstrasi? Dari berbagai sumber, saya mendapat suatu kesimpulan.
Apakah agresi itu? Menurut Henry A. Murray (dalam Chaplin, 1989) agresi adalah kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara jahat, menghukum berat, atau melakukan tindakan sadistis lainnya. Sedangkan agresivitas adalah kecenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan (Chaplin, 2002). Nah, bagaimana agresivitas ini dapat berkembang dalam diri mahasiswa saat malakukan demonstrasi?
Frustrasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan kerap menjadi penyebab agresi (Sarwono & Meinarno, 2009). Saat berdemonstrasi, besar kemungkinan mahasiswa akan mengalami yang namanya frustrasi, sehingga melakukan tindakan-tindakan tertentu, seperti penyerangan terhadap orang lain. Jika dihubungkan dengan jiwa mahasiswa saat melakukan demonstrasi, maka mereka yang lebih agresif adalah mereka yang merasa keinginan mereka tidak terwujudkan atau belum mendapatkan respon dari pihak yang didemo. Mereka yang terlanjur emosi akan cenderung melakukan berbagai kekerasan. Hal ini yang bisa disebabkan oleh frustrasi sehingga mereka ingin merusak dan/atau melukai objek yang ada disekitar mereka dan mereka yang ingin mendapatkan perhatian karena tidak mendapat respon atau permintaan yang tidak terpenuhi.
Selain itu, dalam situasi demikian banyak orang yang dalam keadaan psikologisnya mengalami yang namanya kehilangan identititas pribadi. Hal ini terkait dengan teori deindividuasi. Teori ini menyatakan bahwa :
1. Kondisi tertentu yang muncul dalam kelompok sering menyebabkan orang-orang mengalami suatu keadaan psikologis deindividuasi, yaitu perasaan hilangnya identitas pribadi dan munculnya anonimitas dalam kelompok
2. Hal ini mengakibatkan kendurnya kekurangan terhadap perilaku implusif serta kondisi kongnitif dan emosional lainnya, yang menyatu dengan perilaku kelompok secara beraturan.
(Sumber : Nashori, Fuad.2008.Psikologi Sosial IslamiI)
Teori deindividuasi ini dapat menjelaskan bagaimana sebuah agresivitas bisa muncul dalam kelompok demostrasi. Saat mahasiswa tengah berada dalam kelompok demonstrasi, mereka cenderung kehilangan identitas pribadi atau suatu keadaan tanpa nama (anonimitas). Saat itu, kepekaan terhadap suatu isyarat yang mereka dapat akan meningkat dan cenderung akan melakukan hal-hal negatif yang banyak dilakukan oleh provokator, seperti perusakan objek-objek yang ada. Hal ini diakibatkan oleh menurunnya rasa kontrol diri sebagai akibat dari anonimitas tadi. Saat proses anonimitas terjadi, maka kekuatan individu akan dikalahkan oleh kekuatan kelompok, sehingga mereka akan berfokus pada kejadian eksternal, yang kemudian terciptalah agresivitas dalam diri, sehingga memunculkan aksi anarkis.
Agresi bisa disebakan oleh beberapa faktor, seperti melaui visual dan verbal. Visual dapat dilihat dari agresi yang tercipta setalah mereka melihat suatu adegan. Sedangkan verbal bisa dari omongan-omongan orang tertentu. Ingat, dalam demonstrasi, pasti ada yng namanya provokator. Provokator dapat berperan penting dalam demonstrasi. Mereka menghasut mahasiswa melalui kata-kata dan kadang didukung oleh gambar yang akan meningkatkan emosi dan mengubah cara pandang mereka. Jika hal ini menyebabkan agresi, maka akan banyak korban yang dihasilkan. Padahal, jika mahasiswa tidak mendengarkan provokator, maka bisa terciptanya demonstrasi yang terorganisir. Perlu diingat, bahwa sebagian besar mahasiswa yang melakukan demonstrasi adalah mereka yang memahami etika demonstrasi.
Jadi, untuk mengetahui seberapa besar tingkat agresivitas mahasiswa adalah dengan melihat seberapa besar korban yang dihasilkan dari demonstrasi tersebut. Semakin banyak korban yang dihasilkan maka semakin besar pula tingkat agresivitas mahasiswa dalam demonstrasi.
@penapsikologi
0 komentar:
Posting Komentar