Entah karena :
- kebiasan orang tua yang selalu memberi uang saku mulai SD sampai SMA
- kebiasaan yang selalu yakin bakal dapat uang di hari lebaran
- realitas hidup yang selalu membutuhkan uang
saat ini yang sering dirasakan saat uang mulai menipis adalah 5L, . Tidak salah kalau musisi Ahmad Dani berkelakar saaat ditanya infotainment tentang ketabahannya menghadapi sang anak ‘eikiuji’ yang tak berdaya di Rumah Sakit. “yang membuat saya tenang adalah saldo rekening yang masih aman” begitu kira-kira konteksnya.
Nah, agak berbeda dari apa yang akan aku tulis ini, walaupun uang masih aman tapi kok masih 5L?
dimulai dari PERWALI di kotaku yang mulai mengadopsi KJPnya Pak Jokowi dimana semua sekolah mulai SD sampai SMA/SMK ber plat merah, mengharuskan pihak sekolah untuk tidak lagi memungut iuran apapun terkait kelangsungan PBM (Proses Belajar Mengajar). Singkat cerita intinya sekolah harus pintar-pintar mengatur keuangan yang prinsipnya adalah ‘pasca bayar’ artinya biaya yang di tanggung oleh APBD, pencairannya tidak sewaktu-waktu tapi periodik. Tentu saja sekolah-sekolah yang terbiasa siap dengan uang cash harus putar otak menyeimbangkan PBM dengan cairnya dana.
Berbeda dengan ‘adik’nya (SD dan SMP) yang sudah biasa beradaptasi dengan ke’kering’an, SMA/SMK masih terkaget-kaget dengan penggratisan SPP/Uang komite. Bahkan salah satu SMA memutuskan untuk tidak melaksanakan penyembelihan hewan kurban dengan alasan peraturan tidak membolehkan menarik uang dari orang tua murid. Walah…kok jadi tidak fokus
Kembali ke judul. di salah satu SMK mantan RSBI, minggu ini pihak top management mengadakan UTS (ujian Tengah Semester) bersama yang dalam segi pelaksanaanya berprinsip zero cost. Para guru menyikapinya dengan pro kontra. (Sebenarnya yang pro, dalam tutur katanya kontra juga). Sikap kontra dari para guru itu manusiawi sih…karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun selalu ada uang lelah atau honor perjamnya. Nilainya tidak seberapa tapi selalu di nanti-nanti. “ sudah cair belum mas, HR pengawas UTS ?” itu dulu, sekarang tidak ada lagi pertanyaan seperti itu. Jangankan HR, kopi-teh saja sudah lenyap. “uang dari mana, wong sekarang gak ada dana komite” kata panitia. Nah dalam prosesnya para guru jadi ogah-ogahan dalam mengawasi. Indikasinya :
- lebih banyak ngobrol di luar kelas
- kalau dipaksakan di kelas sering menguap (angop-bahasa jawa)
- yang orang IT: FB, BBM, Whatsapp, Tweeet, Toko Bagus
- Saya : ya menulis-lah….
Memang terlalu terburu-buru menyimpulkan semua itu dampak dari tak adanya dana operasional tapi faktanya coba kita dengar: “mbok dibikin ulangan biasa saja” (artinya ulangan dengan suasana KBM) atau “ dulu 15ribu perjam aja banyak yang absen apalagi nol puthul” dari pihak panitia “beginilah kalau dari PEMKOT belum turun” yang paling parah “ piye karep-e bos-e?” (apa sih maunya si, boss?) - jan gak nyambung blass.
Di tengah-tengah aku menulis, Aku teringat kompasioner gaek bapak tjiptadinata ngobrol dengan pak sutarji bahwa idialisme tidak membikin kita kenyang (ini kata pak sutarji dalam obrolannya). Pak Tjipta (kalau aku visualkan) menanggapi dengan manggut-manggut sambil membatin “begitulah kalau realitas di ukur dengan uang”.
dan diilhami oleh beliaulah aku memperkaya tulisan ini (hormat saya untuk panjenengan yang saya hormati dan yang inspiratif)
Kembali ke tema, kalau masalahnya uang yang bikin kita malas, mari kita berhitung gaji kita wahai para guru. Hampir semua guru sekarang ini sudah bersertifikasi (mohon maaf kalau mindset saya tentang sertifikasi sementara ini hanya gaji berlipat). taruhlah belum bersertifikasi, gaji guru berplat merah sudah diatas rata-rata.
Di kaitkan dengan UTS bersama dalam konteks di atas, honor yang diterima sebenarnya hanya 1% - 5% saja dari gaji beliau-beliau. Entah apa hebatnya honor itu sampai mengganggu kinerja. Mungkin karena sebagian menyebut uang insentif/perangsang sehingga jadi tersugesti he…he…
Okelah, apapun namanya, faktanya itu adalah uang cash, uang tunai yang selalu menggoda. Orang jawa bilang “motone ijo lek ndelik duwit” (Matanya berbinar saat melihat uang). Kira-kira kalau di ilustrasikan : Jika di jalan aku menemukan uang 10 ribu, euphorianya melebihi menemukan BG senilai 1 juta. Atau lihatlah cara cara suap menyuap sekarang ini, yang selalu membawa cash untuk di hidangkan. Dan si penerima tentu sama seperti aku euphorianya. (sama manusianya J )
Tentang gaji bulanan tadi, praktis dianggap tidak ada korelasinya dengan UTS. Gaji untuk hidup,gak boleh di otak atik. Berapapun besar gaji yang diterima, untuk operasional namanya tetep honor. Dan jangan lupa honor itu cash kalau gaji masih menunggu “and I love cash”.
(mohon maaf bila ada yang salah, karena ini postingan perdanaku. Sebenarnya aku pingin cuek seperti kompasioner bapak Sutomo Paguci yang menganggap menulis itu aktifitas alamiah sama seperti makan, minum,bab/k. dan karena aktifitas alamiah jadi tak ada yang diharapkan dari menulis kecuali plong. Tetapi karena lingkungan budaya ketimuran, tentu mengharuskan saya untuk minta maaf terlebih dulu. Trims bapak Sutomo Paguci)
Selamat sore dan salam kenal……
0 komentar:
Posting Komentar