Ilustrasi Raja Sibi memberikan matanya disaksikan oleh permaisurinya sumber www borobudur tv
Persembahan kepada Tuhan
“Apa yang dapat kupersembahkan kepada-Mu? Apa yang kumiliki sehingga dapat kupersembahkan kepada-Mu? Apa pun yang ada di sekitarku, apa pun yang melekat pada diriku, termasuk ragaku, pikiran serta perasaanku diriku ini sendiri - semuanya milik-Mu. Badanku, pikiranku, harta kekayaanku - sesungguhnya semuanya milikMu. Ya Gusti, semuanya milik-Mu. Apa yang menjadi milik-Mu, kupersembahkan kembali kepadaMu ….. Ya Gusti, sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang menjadi milikku.” (Krishna, Anand. (2007). Panca Aksara Membangkitkan Keagamaan dalam Diri Manusia. Pustaka Bali Post)
Adalah seorang raja yang mempersembahkan apa yang dipunyainya kepada rakyatnya. Dia hanya merasa sebagai perantara, hartanya adalah milik Tuhan yang diamanahkan kepadanya, sedangkan rakyatnya adalah juga manifestasi dari Tuhan. Dalam dirinyapun juga ada Tuhan yang bersemayam dan dia perlu menjaga agar Tuhan ridha dengan tindakannya. Dan harta sang raja tak pernah habis. Kita telah membaca para Bodhisattva yang telah mempersembahkan nyawanya bagi kepentingan kehidupan orang banyak, akan tetapi setelah mempersembahkan nyawanya mereka meninggal dunia. Kini kita akan diharapkan pada seseorang yang memberikan persembahan kedua matanya, dan dia rela cacat tidak dapat melihat sampai meninggal dunia. Apakah persembahan ini lebih kecil dibanding persembahan nyawa?
Brahmana Buta yang Mohon Sebuah Mata
Dikisahkan Bodhisattva yang lahir sebagai Raja Sibi yang sangat mengasihi rakyatnya. Sang raja menganggap rakyatnya sebagai para putra sendiri. Sang raja merasa berbahagia dengan memberikan hujan karunia kepada rakyatnya, mereka yang minta kepadanya akan diberi. Sang raja menjadi terkenal dan banyak orang dari luar kerajaannya menemuinya dan menemukan kebahagiaan sepulang dari sang raja. Kebaikan sang raja membuat bumi bergetar bahagia dan Sakra, Dewa Indra melihat bahwa penyebabnya adalah kebaikan Raja Sibi.
Pada suatu hari sang raja berada di singgasana didampingi permaisuri, para menteri dan para penasehatnya. Mereka dikelilingi berbagai perhiasan, baju, makanan dan lain-lainnya yang siap diberikan kepada orang-orang yang datang meminta kepada kepada sang raja. Beberapa orang pergi setelah menerima hadiah dan kemudian datanglah Sakra dengan mengambil wujud brahmana tua yang buta dan mohon sang raja memberikan sebuah matanya. Menurut sang brahmana sebuah mata cukup memadai bagi seorang bijak seperti sang raja.
Sang raja bertanya siapa yang memberitahu sang brahmana untuk meminta matanya dan sang brahmana menjawab bahwa dia bermimpi Sakra telah menyuruhnya. Mendengar bahwa permohonan tersebut mendapat perkenan dari Sakra atau Dewa Indra, sang raja sadar bahwa segala keperluan rakyatnya di bumi, termasuk hujan, musim tanam dan sebagainya adalah urusan Sakra. Sakra telah memberi kekayaan pada kerajaannya, maka dia pun rela memberikan matanya dan dia yakin proses pemberian mata tersebut dapat dilaksanakan dengan kekuatan Sakra. Sang raja kemudian berkata bahwa karena menghormati Sakra bukan hanya sebuah mata, kedua matanya akan diberikannya kepada sang brahmana.
Para menteri dan penasehat raja mohon kepada sang raja agar waspada terhadap permintaan yang tidak masuk akal. Janganlah sang raja memberikan sesuatu yang membuat sang raja cacat sepanjang hidupnya. Mereka minta kepada sang raja untuk memberikan harta berlimpah kepada sang brahmana, agar dia tidak kekurangan walaupun matanya buta.
Menerima Pemberian Tanpa Mengembalikan Adalah Pencuri
“Bhagavad Gita 3:9-13 Kecuali sebagai persembahan, segala macam perbuatan di dunia ini terikat (dengan Hukum Sebab dan Akibat). Maka berkaryalah sebagai persembahan. Kerjakan tanpa keterikatan, Wahai putra Kunti. Umat manusia ini diciptakan sebagai Persembahan, dan Sang Pencipta mengatakan pada awal penciptaan, bahwa dengan Persembahan segala kebutuhan manusia akan terpenuhi. Persembahanmu akan menjaga kelestarian alam. Alam pada gilirannya akan menjaga kelestarianmu. Dengan saling membantu akan membuatmu bahagia yang tak terhingga. Alam ini akan memberi apa yang kau inginkan sebagai pengganti persembahanmu. Tetapi bagi yang menikmati pemberian alam tanpa mengembalikan sesuatu dipertimbangkan sebagi seorang pencuri. Ia yang berkarya dengan semangat persembahan dan menikmati hasilnya, dengan cara demikian ia terbebaskan dari semua kejahatan. Mereka yang mementingkan diri sendiri, dengan cara demikian mereka memperoleh ketakmurnian.” (Krishna, Anand. (2002). Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Para Menteri, para Penasehat dan seluruh rakyat dalam kerajaan Raja Sibi sudah lama sadar, bahwa siapa pun yang telah memperoleh sesuatu tanpa memberikan pengembalian, bagi alam semesta akan dianggap sebagai pencuri. Di bawah pemerintahan Raja Sibi mereka semua adalah warga negara yang baik yang suka berbagi, mereka tidak akan menebang hutan tanpa menanamnya kembali. Mereka berpegang pada motto sang raja adalah: “menerima pemberian tanpa pengembalian adalah pencuri!”
Sang raja berkata, “Selama ini aku merasa bahwa karunia Alam Semesta yang diamanahkan lewat diriku sangat besar dan sudah seharusnya aku mengembalikannya kepada rakyat yang meminta kepadaku. Akan tetapi, semua itu hanya karunia di luar diriku. Tubuhku, seluruh organ-organ tubuhku sendiri adalah karunia yang tak ternilai, sudah seharusnya aku menggunakan seluruh organ, panca indera, tangan dan kaki serta pikiranku untuk melayani sesama sebagai pengembalian bagi karunia yang telah kuterima. Seseorang yang hanya menerima tanpa mengembalikan sesuatu adalah pencuri. Oleh karena itu aku rela memberikan kedua mataku sebagai persembahan kepada Sakra!”
Sang raja meminta tabib istana mengambil sebuah matanya dan memindahkan ke lobang mata sang brahmana. Dan semua yang hadir menjadi saksi keajaiban yang terjadi, sang brahmana bisa melihat kembali dengan penuh kebahagiaan dan sang raja dengan satu matanya bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar pada wajah sang brahmana. Akhirnya kedua mata sang raja dipindahkan kelobang mata sang brahmana dan sang raja hanya dapat mendengar desahan kebahagiaan sang brahmana.
Kedatangan Sakra Kembali
“Engkau Hyang Maha Membebaskan, bebaskanlah diriku dari rasa kepemilikan, keangkuhan, keserakahan, kebodohan, ketaksadaran, kebencian. Bebaskan diriku dari perbudakan pada panca indera. Bebaskan diriku dari keinginan akan kenyamanan dan kenikmatan jasmani. Bebaskan diriku dari segala macam belenggu yang telah menjatuhkan derajatku, menjadi hamba dunia.” (Krishna, Anand. (2007). Panca Aksara Membangkitkan Keagamaan dalam Diri Manusia. Pustaka Bali Post)
Beberapa hari kemudian, takala sang raja sedang berada di taman, Sakra datang menemui dan berkata, “Wahai Raja mintalah karunia kepadaku, akan kukabulkan!”
Sang raja menjawab, “Wahai Sakra, pemberi rejeki kepada seluruh kehidupan di bumi, aku mempunyai kekayaan dan pasukan yang kuat, akan tetapi aku sudah tidak dapat melihat orang yang berbahagia karena memperoleh apa yang dimintanya. Aku cemas dengan kondisi cacat yang kualami sehingga pada suatu kali aku akan menyesal telah mempersembahkan kedua mata, dan aku akan kembali terbelenggu oleh keinginan dunia. Oleh karena itu aku ingin kematian datang kepadaku segera!”
Karena Sakra mengulangi dengan pertanyaan yang sama, maka sang raja menjawab pelan, “aku tidak ingin membanggakan apa yang telah aku berikan, karena itu semua adalah pemberian alam semesta kepadaku. Akan tetapi kini aku hanya dapat mendengar suara orang yang berbahagia karena keinginannya dipenuhi alam semesta. Seandainya aku mempunyai satu mata, cukuplah sudah itu bagiku! Pemberian satu butir mata ternyata nilainya jauh melampaui seluruh harta yang telah kubagikan!”
Sakra dengan kekuatan ilahinya mengembalikan kedua mata sang raja dan berkata, “Pandanganmu akan menjadi sangat tajam, kau akan dapat melihat sesuatu dalam jarak ratusan kilometer dan bahkan bisa melihat apa yang ada di balik gunung!” dan, kemudian Sakra menghilang…. seluruh istana dan bumi bergetar penuh kebahagiaan.
Berkarya Bagi Seluruh Umat Manusia
Tidak semua orang bisa memberikan harta yang dimilikinya, akan tetapi dia bisa berkarya untuk kepentingan seluruh umat manusia.
“la berkarya bukan bagi dirinya sendiri, bukan bagi keluarganya saja – tetapi bagi seluruh umat manusia. Ia berkarya bagi sesama makhluk. la berkarya bagi Semesta. la tidak memikirkan hasil. Seluruh kesadaran dipusatkannya pada apa yang dikerjakannya. Sehingga hasilnya pun sudah pasti baik. Tidak bisa tidak. Maka, tidak perlu dipikirkan. la berkarya dengan semangat persembahan dan pengabdian pada Hyang Maha Kuasa. Bagi seorang Karma Yogi, Maanava Sevaa atau Pelayanan terhadap Sesama Manusia, bahkan Sesama Makhluk, adalah Maadhava Sevaa atau Pengabdian terhadap Hyang Maha Kuasa. Dia tidak beramal-saleh atau berdana-punia demi pahala atau kenikmatan surgawi. Dia melakukan hal itu karena ‘senang’ melakukannya.” (Krishna, Anand. (2007). Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan. Pustaka Bali Post)
Situs artikel terkait
http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/
http://www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
Oktober 2013
0 komentar:
Posting Komentar