Bukan rahasia jika pemerintahan SBY selama dua periode kekuasaan, selalu mendapatkan serangan dari media massa utama. Sebagian besar media massa itu dikuasai oleh politisi dan atau pengusaha yang juga politisi, yang justru berseberangan dengan SBY dalam berbagai hal. Mulai dari rebutan kekuasaan menjadi presiden, sampai rebutan khalayak untuk pemilu legislatif. Alhasil, partai penguasa yaitu Demokrat plus SBY dalam beberapa waktu bahkan sampai sekarang, menjadi bulan-bulanan media massa.
Apa implikasi dari fakta tersebut? Opini publik dan agenda setting media massa secara telak menempatkan SBY dan Demokrat sebagai pihak yang kalah. Media sukses menggiring opini publik, bahwa SBY payah dan Demokrat parah. Opini publik ini sangat dahsyat efeknya. Kerja media-media massa utama yang dipiloti oleh pengusaha dan juga politisi lawan politik penguasa sekarang, bolehlah disebut berhasil. Apalagi, para politisi di partai Demokrat tidak pandai memainkan media. Bukan karena tidak punya media, namun juga tidak piawai dalam berhubungan dengan media.
Beruntung, pada periode pertama lalu, SBY masih bertahan karena lawan-lawan politiknya tidak sepadan. Masyarakat tetap memilihnya sebagai presiden. Sekarang? Bukan waktunya SBY bertanding karena sudah tidak boleh bertanding. Sekarang saatnya Demokrat yang berkompetisi. Kondisi Demokrat sempat hancur-hancuran akibat isu korupsi. Banyak kadernya yang tertangkap KPK. Sudut pandang atau angle berita di media massa sesungguhnya bisa dua macam.
Angle Pertama, Demokrat memang bobrok karena banyak kader yang terlibat korupsi. Meski yang korupsi dan kemudian tertangkap bukan hanya Demokrat saja, melainkan juga partai lainnya.
Angle Kedua, Demokrat yang partai penguasa, berani dan jujur karena membiarkan kadernya yang terlibat korupsi ditangkap KPK. Pada masa lalu, tidak mungkin partai penguasa membiarkan dirinya dicabik-cabik seperti itu. Mereka pasti melawan dan melindungi kadernya.
Tapi, karena media massa bukan milik Demokrat dan sebagian besar dimiliki lawan politik, maka sudut pandang (angle) pertama lah yang dipilih. Fakta korup di Demokrat justru menjadi amunisi luar biasa dahsyat untuk menyerang. Ingat, media massa tidak pernah berimbang dan tidak pernah netral. Semua tergantung sudut pandang (angle) yang dimiliki para wartawannya (termasuk para pemiliknya). Pemilihan narasumber pasti disesuaikan dengan sudut pandang tersebut.
Babak pertama (2004-2009), SBY masih bisa bertahan dan bahkan menang. Menjelang akhir babak kedua ini (2009-2014), SBY nyaris terkapar. Bahkan Demokrat sudah seperti di ujung tanduk. Penguasa media sudah unggul telak. Namun, pertandingan belum selesai. Pertempuran antara SBY (Demokrat) yang tidak punya media melawan media-media milik lawan politiknya, masih berlanjut dan makin seru. Siapa yang lebih cerdas akan menjadi pemenang. Tidak ada yang bodoh dalam pertempuran ini.
SBY memang cerdas. Harus diakui. Menjelang akhir-akhir pertandingan ini, SBY melakukan sejumlah manuver untuk menghadapi media massa. Salah satu manuver itu bernama Konvensi Demokrat dalam menentukan calon presiden. Otomatis, agenda setting media-media massa, termasuk yang dimiliki oleh para politisi, berubah. Mereka mau tidak mau harus menjadikan Konvensi Demokrat sebagai bahan berita. Mau tidak mau. Dan sampai sekarang, faktanya menunjukkan bahwa berita tentang Konvensi ini relatif positif.
Namun, lawan politik dengan media-medianya juga tidak bodoh. Mereka menjadikan PPI dan Anas sebagai musuh besar Demokrat. Agenda settingnya sangat kentara. Apapun yang keluar dari mulut PPI dan Anas pasti di-blow up. Tentu seru, jika musuh SBY dan Demokrat berasal dari dalam diri mereka sendiri, bukan? Sebuah agenda setting yang cerdas. Bahkan dibumbui dengan tersebarnya SMS SBY, yang menghebohkan itu. Seru bukan?
Pertempuran akan makin seru, karena SBY dengan kecerdasannya, sudah secara terbuka meminta kadernya untuk melawan agenda setting media massa. Layak ditunggu, siapa yang lebih cerdas. SBY dan Demokratnya, atau lawan politiknya dengan media-media massa milik mereka. Opini publik akan menjadi jawabannya. Yang harus dihargai adalah bagaimana cara SBY sebagai presiden, tidak menggunakan kekuasaannya secara semena-mena, bahkan kepada media yang secara jelas-jelas selalu mendiskreditkannya. Dia pakai otak, bukan menggunakan otot dan nafsu.
0 komentar:
Posting Komentar