Andre Graff. Foto: EDL
Badan Andre Graff kurus. Ia mengenakan celana pendek dan sepasang sepatu sendal. Berlima kami berjalan di sebuah pantai berpasir putih dan berlaut bening di Lamboya, Sumba Barat. Sore itu, matahari terasa membakar kulit meski jam telah menunjukkan pukul 15 lebih sedikit.
Ketika menengok ke belakang, pria kurus itu sudah berjalan perlahan, lalu duduk di pasir. Tampaknya ada sesuatu yang tak beres pada kakinya. Dan benar! “Arteriaku bermasalah, dan ini harus dibongkar (harus dioperasi),” katanya dengan nada bercanda, namun serius.
Lalu, sambil bercanda dengan beberapa penjual ikan di pantai yang semuanya telah mengenalnya, Andre menghimpun tenaga untuk kembali berjalan. Dia tampak pincang lagi. Setelah matahari sudah mulai memerah, saya dan Andre menggunakan sepeda motor kembali ke rumah Andre yang atapnya terbuat dari ilalang.
Daerah tempat Andre “terdampar” adalah salah satu pelosok pulau Sumba di NTT. Kehidupan masyarakat masih asli dengan alam yang juga masih asli. “Saya senang di sini, justru karena berbagai keaslian di sini. Sudah sulit menemukan tempat yang seasli ini. Sumba masih sangat asli,” kata Andre.
Andre lalu berkisah tentang muasal ia “terpesona” Sumba, dan akkhirnya tertambat di sana dan tak bisa pergi lagi dari pulau asal sastrawan yang dijuluki Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi ini.
Ia lalu berkisah, sambil menghisap rokok yang dia linting sendiri. Tembakaunya dia beli di pasar Waikabubak, sedangkan kertas rokoknya, dia minta dari penduduk setempat. Dan pembungkus itu tidak lain adalah kulit jagung.
Sebuah siang yang terik pada tahun 2004, Andre yang saat itu datang ke Sumba sebagai turis menyaksikan tiga orang perempuan setengah baya dengan ember berisi air sekitar 10 liter di atas kepala, berjalan mendaki dari sebuah rawa menuju Kampung Waru Wora, Laboya, sekitar 30 km ke selatan kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, NTT. Napas mereka tersengal-sengal sebab jalan yang mereka lalui terjal dan berbatu. Udara terasa panas. Jarak antara rawa dan kampung adalah sekitar 3 km. Di rawa yang dihuni berbagai kodok itu, mereka mandi, mencuci pakaian lalu mengisi ember mereka untuk dibawa pulang. Kondisi airnya keruh!
Dengan bahasa Indonesia seadanya, André berusaha menggali informasi seputar aktivitas ketiga ibu tersebut. Loru, salah satu dari antara mereka menjelaskan bahwa hampir tiap hari ia datang menimba air di tempat itu. Jika anaknya yang masih SD sempat, dialah yang menimba air sebelum berangkat ke sekolah.
Selain pengalaman dengan ketiga ibu tersebut, André sering bertemu dengan anak-anak kecil berkulit legam tanpa alas kaki berjalan jauh menimba air beberapa kali dalam sehari.
Pengalamannya tersebut terasa sangat mengganggu batin Andre. Ketika izin plesirnya di Sumba habis pada Juli 2004 habis, André kembali ke negerinya, Prancis. Setahun dia di Prancis, Andre kembali ke Sumba, masih sebagai turis. Pada kedatangannya yang kedua ini, dia kembali melihat dengan kepalanya sendiri perjuangan masyarakat, terutama ibu-ibu dalam mendapatkan air bersih. Dia pun memutuskan untuk menjadi penggali sumur hingga hari ini. Selain sumur timba, dia juga menggunakan tenaga matahari untuk menarik air dari sumber ke air hingga ke teras rumah penduduk. Luar biasa!
Di kampung halamannya, alumni Universitas Strasbourgh ini adalah pengusa bidang pariwisata dan istruktur pilot balon panas.
Hari ini (28 Oktober), Andre sedang di Prancis. “Saya mau membereskan badan ini dulu. Namun saya sudah rindu Sumba dan teman-teman buat sumur,” katanya. “Saya akan segera kembali,” katanya singkat.
Kisah selengkapnya bisa dibaca dalam Orang-orang HEBAT; Dari Mata kaki ke Mata Hati . Di dalam buku ini, selain Andre, ada 19 sosok lain yang jiwanya seperti jiwa Andre juga….. Sudah tersedia di toko buku Gramedia, Gunung Agung, OBOR, BPK Gunung Mulia, dan lain-lain. Selamat membaca
0 komentar:
Posting Komentar